08 Januari 2021

opini musri nauli : Driver

 



Ketika berencana menempuh perjalanan darat Jambi – Denpasar, tidak terbayang begitu jauh rute yang hendak ditempuh. 


Melihat aplikasi google map – aplikasi popular untuk memandu perjalanan, saya membayangkan perjalanan akan ditempuh Jambi – Padang PP x 2. 


Ya. Jambi – Denpasar dengan jarak tempuh 1977 km. 


Ya. Jambi – Padang diperkirakan jarak tempuh 518 km. Padahal rute Jambi – Padang adalah rute yang paling rutin ditempuh. 


Entah mengunjungi kedua putraku yang sekolah di Padang Panjang. Atau rute mudik yang saban tahun ditempuh. 


Sehingga membayangkan rute sekitar 2000 km hanya sekedar Jambi – Padang PP x 2. 


Rute Jambi – Padang adalah rute yang padat. Selain menempuh perjalanan bertemu mobil yang memuat batubara sehingga mengakibatkan kemacetan juga sering ditemukan jalan berlubang. Cukup parah. 


Sedangkan Jambi – Denpasar so dipastikan menempuh jalan tol. Hanya Jambi – Palembang yang masih menggunakan jalan lintas timur. Jalur yang padat dan sedang mengalami perbaikan. 


Sedangkan Palembang (dikenal tol Jakabaring) langsung ke Pelabuhan penyeberangan (Pelabuhan Bakauheni). 


Tol kemudian dilanjutkan jalur Jawa dari Tol Merak ke Surabaya hingga ke Probolinggo. Dengan jarak 970 km. 


Nah. Dari Probolinggo sampai penyeberangan Ketapang (Banyuwangi) masih menggunakan jalur yang lama. Masuk kota, macet dan so pasti memakan waktu.. Sehingga walaupun Cuma 140 km dapat ditempuh 5 jam lebih. 


Ketelitian membaca jalur adalah gambaran bagaimana jarak yang harus ditempuh, strategi waktu untuk berjalan hingga berbagai persiapan yang matang. 


Namun membaca sikap Pemerintah yang sering berkonsentrasi arus mudik dan arus balik, so pasti sepanjang perjalanan dipastikan pelayanan akan diberikan maksimal. 


Entah, SPBU yang ready 24 jam, pengisian nitrogen untuk ban, posko-posko taktis dari setiap Polsek atau tim patroli yang terus memutar diaerahnya. 


Nah, berdasarkan pertimbangan itulah, beban menempuh jarak 2000 km bukanlah menjadi hambatan. 


Dengan mengukur Jambi – Padang, kubayangkan perjalanan ke Denpasar akan mulus. Sehingga dapat dikejar untuk bertemu keluarga. 


Namun perjalanan dijalan sering tidak diduga. Ketika memasuki Palembang, justru terjebak macet. 


Bayangkan. 30 km menjelang Palembang, justru harus ditempuh 3 jam. Dan itu tentu saja menghabiskan energi. 


Berangkat Jam 10 pagi, jam 3 malah sudah di Sungai Lilin. 


Padahal Sungai Lilin ke Betung tinggal 30 km. Dan dari Betung ke Palembang tinggal 80 km lagi. Waktu yang ideal paling-paling 2 jam. 


Sehingga memasuki Palembang sudah menunjukkan jam 8 malam. 


Sekali lagi, menempuh perjalanan yang belum dilalui selain membosankan, setiap KM kok makin jauh. 


Nah. Tidak salah, kemudian, kesempatan untuk istirahat malah mampir di Walhi Lampung. Jam sudah menunjukkan jam 02.00 wib tiba di Walhi Lampung. 


Setelah bergegas bangun pagi, menempuh Kotabaru (tol keluar dari Bandar Lampung), Kotabaru – Bakauheni kemudian dapat ditempuh 1,5 jam. Menyeberang Bakauheni -Merak. 


Menjelang 30 km masuk Jakarta, barulah ditentukan rute ke Surabaya. 


Perjalanan jauh menempuh rute Jawa mengingatkan rute jalan yang dibangun Daendels. Yang menggunakan kerja paksa membangun jalur Anyer – Panarukan. 


Anyer dikenal termasuk kedalam wilayah Banten. Sedangkan Panarukan dikenal dekat Situbondo atau wilayah Provinsi Jawa Timur. Wilayah ini kemudian dikenal jalur pantura. Atau Daendels. 


Pantura dikenal dengan istilah Pantai Utara Jawa. Jalur yang paling sibuk, padat dan tiap tahun menjadi perhatian arus mudik dan arus balek setiap menjelang Lebaran. 


Namun untuk rute Anyer  - Panarukan relatif menempuh jalur pantura. Sedangkan untuk rute tol Jawa membelah tengah Pulau Jawa. 


Selain rute Daendels (rute Pantura) dikenal Jalur selatan. Jalur selatan dikenal jalur maut. Istilah Jalur Nagreg adalah jalur maut yang sering meminta korban. 


Sehingga pilihan membangun tol Jawa yang membelah pulau Jawa dapat memberikan konstribusi jalur alternatif apabila langsung ke Timur Jawa. Dan tidak terjebak dengan arus Pantura yang terkenal padat. Atau menempuh Jalur selatan yang terkenal maut. 


Menempuh perjalanan Jambi – Denpasar PP adalah pengalaman panjang sebagai “Driver”. Jalur yang mengingatkan ketika mudik dari Jambi – Padang, Bukittingi, Batusangkar, Payakumbuh, Pasaman, Bonjol, Padang Sidempuan. Dan pulangnya menempuh jalur Pantai Timur Sumatera. Menyusuri dari Pekanbaru Jambi. 


Atau jalur dari jalan tengah Sumatera (dikenal Jalan Lintas Sumatera). Dan diakhiri menyusuri Pantai Timur Sumatera yang dikenal sebagai Lintas Timur. 


Atau pas mudik sebelumnya. Menempuh jalur Jambi – Padang, Painan, Muko-muko, Bengkulu. 


Atau jalur yang ditempuh Lintas Sumatera (lintas tengah Sumatera) dan diakhiri Lintas Barat Sumatera. 


Kadangkala saya berfikir. Mengapa menempuh perjalanan darat hingga sejauh itu. 


Ah. Mungkin juga karena kebanyakan orang batak terkenal sebagai “driver’. 


Meminjam istilah seorang teman. Genetika orang batak memang Driver. Genetika yang tidak mungkin hilang walaupun dia sendiri kemudian tidak menjadi driver. 


Namun ketika diperlukan, genetika tetap melekat pada dirinya. Sehingga menempuh perjalanan darat sejauh apapun, melekat genetika yang tidak mungkin hilang.