Ketika mendapatkan kabar meninggalnya Prof. Dr. Muchtar Pakpahan (aku lebih Bang Muchtar. Walaupun dalam pembicaraan kami lebih suka memanggail bang MP), seorang tokoh Buruh, seketika ingatanku berputar puluhan tahun yang lalu.
Kisah bermula ketidaksengajaan. Waktu itu sedang membongkar-bongkar lemari persiapan adikku yang hendak melangsungkan pernikahan.
Terdapat surat dari DPP SBSI. Menunjuk sebagai Koordinator Wilayah SBSI. Dilampirkan SK, AD-ART dan berbagai dokumen Organisasi. Termasuk perintah agar segera ke Jakarta.
Dari tanggal surat dan kemudian ditemukannya, ada jeda sekitar 2 bulanan. Mungkin ketika surat itu datang, ibuku belum terpikir atau kelupaan memberikan kepadaku.
Segera aku bergegas. Usai hajatan, akupun memesan tiket mobil Lorena. Kendaraan yang cukup mewah pada masanya. Seharga Rp 82.500,-
Mewah adalah ukuran saat itu dibandingkan dengan mobil IMI yang cukup Rp 20 ribu.
Sekedar perbandingan saja, Harga tiket bioskop Telanai 21 hanya Rp 2500. Ongkos angkot saja cuma Rp 250,-
Sedangkan jajanku kuliah cuma Rp 1000.
Jangan berfikir naik pesawat. Seingatku tiket pesawat bisa mencapai Rp 200 - Rp 300 ribu. Setengah harga emas 1 suku.
Atau bisa 3 x ongkos bis.
Praktis rute Jambi-Jakarta mesti kutempuh naik bus. Bahkan menjelang akhir periodeku barulah aku sempat menikmati naik pesawat.
Setelah melapor ke DPP yang masih berkantor di Tebet Dalam, Aku kemudian ditugaskan membentuk DPC-DPC. DPC waktu itu masih berbentuk Perwakilan Kabupaten/Kota. Belum mewakili Sektoral.
Menjelang kongres 1996, Bang Muchtar kemudian “roadshow” ke Sumatera. Termasuk ke Jambi.
Masih ingat dengan menaiki mobil “kebanggaan”, Daihatsu minibus, dia kemudian datang ke kantor Korwil SBSI. Waktu masih di gang-gang sempit. Rumah kontrakkan disela-sela rumah sang pemilik kontrakkan.
Menjelang magrib, dia kemudian datang. Membawa sebundel buku-buku, bendera, dokumen dan berbagai atribut.
Waktu Soeharto Sedang kuat-kuatnya. Mendirikan organisasi adalah “Mimpi”. Apalagi mendirikan organisasi buruh.
Stigma komunis begitu lekat. Berbagai atribut dilekatkan. Entah OTB (Organisasi tanpa bentuk), hantu komunisme, antek-antek PKI dan berbagai stigma sempat membuat berbagai kalangan enggan mendirikan organisasi buruh.
Belum lagi SBSI dipimpin oleh Muchtar Pakpahan. Seorang nasrani yang taat. Issu agama begitu kencang.
“Kok mau dipimpin oleh orang bukan islam”, demikian kata-kata seniorku.
Tema yang belum juga beres hingga sekarang.
Duh. Kadangkala saya jadi malu dengan anak-anak saya. Mengapa di Indonesia tema yang sama terus berulang-ulang.
“Kayak dak ado kerjaan, be, yah”, kata si Sulung heran.
Sehingga ketika saya kemudian mendapatkan mandat sebagai Korwil SBSI Jambi dan kemudian mendirikan berbagai cabang, merupakan sebuah “kenekatan”.
Namun dengan kedatangan bang Muchtar, seketika pandangan saya berubah.
Tanpa harus berapi-api, dia menjelakan dengan sistematis, hak-hak Buruh, perjuangan Buruh dan Resiko yang harus ditanggung.
Tidak terkesan sama sekali sikapnya sebagai pejuang. Apalagi seorang pahlawan.
Kata-katanya “lembut”. Kadangkala saya juga bingung. Mengapa ada orang Batak yang kata-katanya.
Berbeda dengan keberaniannya. Suara menggelegar. Tidak ada kesan takut sama sekali dengan aparat yang sering membubarkan acara SBSI.
Kedatangan seorang Doktor hukum yang rela “roadshow” ke berbagai Daerah seketika kemudian membuyarkan pandanganku tentang sikap dan pandangan tentang intelektual.
Meminjam istilah “Gramsi”, Intelektual yang kemudian berdiri bersama masyarakat kemudian dikenal sebagai “Intelektual organik”.
Berbeda dengan “Intelektual” yang berdiri di menara gading. Berteriak dari kampus tapi tidak mau peluhnya bersama Rakyat. Yang kemudian dikenal sebagai “Intelektual mekanik”.
Sejak itu, aku tinggalkan segala atribut. Meninggalkan berbagai kenyamanan. Membenamkan diri kedalam berbagai persoalan yang terjadi ditengah masyarakat.
Kisah-kisah heroik kemudian menjadi “makanan” sehari-hari di SBSI. Entah dengan “rapat dibubarkan’, diangkut ke Polresta, didatangi berbagai instansi, ditelephone, disantroni rumah, ditakut-takuti.
Dukungan dari berbagai pihak relatif sepi. Kampus waktu itu belum bergerak. Mereka masih sibuk dengan urusan kampus.
Organisasi lainpun terdengar jauh. Tema-tema advokasi masih jauh dari kata “mendukung”.
Saya kemudian “membenankan diri” ditengah-tengah rumah-rumah kontrakkan Buruh. Mempelajari strategi untuk mendirikan berbagai simpul-simpul organisasi.
Namun bergabung dan mendapatkan suntikan adrenalin langsung dari Bang Muchtar melupakan resiko yang terjadi di Lapangan.
Hampir setiap kesempatan, ketika saya di Jakarta, saya kemudian diajak. Entah menghadiri di berbagai kesempatan dimana Bang Muchtar menjadi pembicara ataupun cuma sekedar menjadi peserta.
Jaringan kemudian mulai terbangun. Saya kemudian berkenalan dengan Mas Teten (yang kemudian menjadi Kepala KSP dan Menteri Koperasi), Munir (yang terkenal sebagai aktivis HAM), Bambang Widjojanto (Mantan Pimpinan KPK), Dianto Bachriadi (Bina Desa), Desmon Mahesa (anggota parlemen) Pius Lustrilanang.
Berbagai kesempatan untuk “menimba ilmu” di forum nasional mulai dirasakan.
Saya kemudian “ikut cawe-cawe” dan nongkrong di PDI. Termasuk menjelang penyerbuan kantor PDI (yang kemudian dikenal kudatuli - kerusuhan 27 Juli 1996).
Masa itu, SBSI - PDI dan NU dikenal sebagai Organisasi yang lantang menyuarakan ketimpangan orde baru. Bang Muchtar, Gusdur dan Megawati dikenal sebagai tokoh oposisi yang jelas dengan bersebarangan dengan Soeharto.
Berbagai teman-teman bahkan banyak yang kemudian merapat ke PDI (Kemudian PDIP) paska reformasi. Menjadi bagian dari proses panjang di PDIP.
Atas dukungan dari Deddy Mawardi (Seknas Jokowi) yang berteman akrab dengan Budi Susilo (Korwil Lampung) saya kemudian dibukakan pintu. Bertemu dengan Imam Masfardi (Deputi Walhi).
Deddy Mawardi, Budi Susilo dan Imam Masfardi dikenal sebagai “geng Rode”. Rombongan demokrasi. Sebuah jaringan yang terkenal di Yogya.
Diruangan Imam Masfardi kemudian saya diperkenalkan dengan Mas Jamet. Dan kemudian mendapatkan mandat untuk mendirikan Walhi Jambi.
Walhi Jambi kemudian berdiri tanggal 18 Agustus 1998. Beberapa bulan setelah “lengser keprabon. Mandig pandito” Soeharto dari singgasana kekuasaan.
Di Walhi saya kemudian bertemu dengan Longgena Ginting, Chalid Muhammad, Emmy Hafid (ketiganya kemudian menjadi Direktur Walhi), Arimbi dan berbagai orang Walhi yang kemudian memegang jabatan penting dikemudian hari.
Berbagai kesempatan bertemu dengan berbagai kalangan di nasional membuat perjuangan mendampingi buruh (kemudian banyak juga terlibat dengan masyarakat dalam masalah Tanah) membuka cakrawala dan wawasan baru.
Ternyata resiko didalam perjuangan dibandingkan dengan teman-teman didaerah lain belumlah apa-apa. Masih jauh dari kata “heroik”.
Ini yang membuat saya ketika menakhodai SBSI sama sekali tidak tergoyahkan. Dan Tetap melewati krisis dengan baik.
Ketika reformasi terjadi, berbagai teman-teman kemudian memilih berduyun-duyun ke Partai, saya kemudian memilih “menyepi”.
Membuka kantor Hukum sekaligus mengasah ilmu hukum. Ilmu yang sempat sedikit terlantar.
Pertimbangan memilih “menyepi” semata-mata didasarkan kepada kebutuhan kedepan. Bagaimanapun ketika sistem politik, sistem ekonomi maupun pranata sosial semakin baik, maka “gagasan”, ide’, cita-cita harus diimplementasikan. Dan dibutuhkan gagasan bernas untuk mewujudkannya.
Setelah “menyepi” 10 tahun lebih, saya kemudian “kembali” bertanggungjawab terhadap ketidakadilan yang masih terjadi disekitar saya.
Tanpa harus meninggalkan dunia praktisi hukum, saya kemudian bergelut kembali. Walaupun kadangkala cuma sekedar 2-3 lembar dokumen. Memberikan dukungan kepada kawan-kawan yang membutuhkan.
3-4 tahun yang lalu, saya kemudian bertemu kembali Bang Muchtar. Kembali “membenahi” SBSI. Dia kemudian datang ke Jambi. Mengajak kembali mengurus SBSI Jambi.
Dengan tulus saya sampaikan. “Abang membuka tabir saya kemudian bertemu dengan jaringan nasional. Saya kemudian memilihnya.
Hampir semua pengurus SBSI Jambi adalah kader-kader terbaik. Mereka berjumpa didalam jaringan saya. Saya lihat mereka mengurus SBSI dengan baik. Dan saya sudah komit dengan mereka.. Tidak mungkin lagi mengurusi organisasi.
Saya percaya dengan mereka, bang”, kataku lembut.
Terlihat wajahnya sedikit kekecewaan. Dan aku membayangkan pasti dia tidak menyangka aku sama sekali tidak mau terlibat di SBSI.
Namun selama 4 hari di Jambi, aku temani. Bertemu dengan DPC-DPC, pengurus Pabrik dan Relawan yang mau membantu SBSI.
Aku memilih duduk diluar. Sama sekali tidak terlibat cawe-cawe.
Setelah selesai urusan, aku antar ke bandara. Sambil memeluk, Aku bisikkan.
“Abang Tetap abangku. Salah Satu orang kuhormati”, kataku pelan. Praktis tidak terdengar.
“Iya. Aku hormati pilihanmu. Tetap dukung abang, ya”, kataku.
“Iya, bang. Pastiku”, kataku.
Terasa betul pelukannya. Terbayang wajah letih. Gurat-gurat wajahnya menampakkan kelelahan.
Aku merasakan. Setelah lama tidak bersua, aku belum memberikan apa-apa.
Dan akhirnya Aku mendapatkan kabar. Dari group WA Exponen SBSI 1992-1998. Group SBSI di Pengurusan Bang Muchtar.
Terlihat teks “Berita duka..Telah meninggal dunia di rumah skt siloam bpk prof DR.mucthar pakpahan SH.MH Ketua umum DPP (KSBSI)”. Jam 22.45.
Selamat Jalan, bang..
Meminjam istilah mas Didik (Mojokerto). “Tanpa jasamu, aku bukanlah apa-apa. Dan bukan juga siapa-siapa”.
Namamu terpatri dihati Buruh di Indonesia.
Baca : Selamat Jalan, bang MP