Mengapa masyarakat mampu menjaga hutan ataupun alam sekitarnya dengan baik.
Pertanyaan demi pertanyaan itulah yang menghinggapi dan rasa penasaran.
Ketika kita telusuri lebih jauh, menggali tutur ditengah masyarakat sekaligus memadukan dengan berbagai data-data pendukung, dokument maupun berbagai buku dan peta maka dari pengetahuan masyarakat kemudian saya Belajar.
Belajar memahami mengapa mereka melindungi hutan ataupun alam sekitarnya dengan baik. Sekaligus mampu menjaga dari berbagai perkembangan zaman.
Ditengah masyarakat Melayu Jambi dikenal daerah-daerah yang memang dilarang untuk dibuka (pantang larang). Daerah yang Tetap berfungsi untuk menjaga kesinambungan alam.
Nama-nama tempat seperti “hutan keramat”, hutan puyang, “rimbo larangan”, “hutan bunian”, “hutan tadah hujan”, “hutan hantu pirau”, “rimbo sunyi” adalah tempat yang menunjukkan Daerah yang tidak boleh dibuka.
Daerah ini kemudian dikenal sebagai kawasan hutan. Dijaga dan dirawat hingga sekarang.
Nama-nama tempat ini kemudian dikenal sebagai kawasan hutan Konservasi. Baik sebagai hutan yang menyediakan cadang air (hutan tadah hujan) maupun sebagai tempat penyimpan air sungai (Kepala sauk).
Ada juga nama-nama tempat seperti “kepala Sauk”, “payo dalam”, “payo”, bento”, “Sauk” yang menunjukkan nama tempat yang sama sekali tidak boleh dipindah fungsikan (konversi). Biasanya adalah Danau atau sungai. Hanya boleh digunakan untuk mengambil ikan ataupun Sumber air.
Nama-nama tempat ini kemudian dikenal dengan gambut. Tempat suplai air dimusim kemarau. Sekaligus juga menyimpan ikan dikala mancing
Berbagai seloko-seloko seperti “Teluk sakti - Rantau betuah - Gunung Bedewo”, “Rimbo sunyi - Tempat siamang beruang putih - Tempat ungko berebut tangis” adalah seloko yang menggambarkan tempat yang memang tidak boleh dibuka.
Nama-nama tempat yang disebutkan baik melalui penamaan tempat maupun melalui seloko adalah kawasan yang memang tidak boleh diganggu, dirusak, dialihfungsikan maupun dipindahkan menjadi kawasan lain. Seperti untuk pertanian maupun Perkebunan.
Nama-nama tempat itulah yang menjadi tiang penyangga ataupun kawasan hutan yang relatif masih terjaga baik.
Cara pandang terhadap alam sekitarnya kemudian mengajarkan kita. Bagaimana cara Pandang masyarakat terhadap alam sekitarnya.
Mereka mampu belajar dengan alam, menyesuaikan dengan alam. Termasuk membaca tanda-tanda dari alam.
Dari merekalah kita kemudian belajar. Bagaimana masyarakat Melayu Jambi memandang hutan dan alam sekitarnya.
Pengetahuan dari alam sekitarnya adalah “guru” kehidupan yang mengajarkan setiap ilmu pengetahuan. Sebagaimana sering Diungkapkan dan dikenal didalam seloko Minangkabau “Alam takambang jadi Guru”.
Dan tugas kita kemudian Belajar, menuliskannya dan terus mewarisi kepada generasi yang akan datang.