02 Maret 2021

opini musri nauli : Mental

 


Menurut kamus besar bahasa Indonesia, mental diartikan sebagai sikap batin. Mental juga diartikan sebagai watak. 


Dalam keadaan kisruh, informasi bersileweran tidak tentu, hoak menjadi-jadi, tidak jelas sikap dari berbagai pihak, maka dibutuhkan sikap diri untuk menghadapi. Termasuk juga cara menghadapinya. 


Ditengah masyarakat Melayu, ujian dan cobaan adalah bagian dari kehidupan. Cara mengukurnya kemudian dilihat dari “rekam jejak”, “pengalaman”, keturunan, nama baik keluarga besar hingga berbagai sikap cara menghadapinya. 


Tidak salah kemudian ketika memilih pemimpin kemudian dilihat dari berbagai faktor diatas. Secara samar-samar sering juga disebutkan sebagai “tuah”. 


Dalam pandangan masyarakat Jawa sering juga dilihat sebagai “bibit”, “bebet” dan “bobot”. Dalam istilah biologi dikenal “genetika”. 


Seorang “mental petarung” tidak akan pernah meninggalkan gelanggang pertempuran. Berbagai istilah seperti “pantang surut ke belakang”, “sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai”, “musuh tidak dicari. Bertemu pantang dielakkan” adalah sikap mental petarung. Menghadapi pertempuran hingga tetes darah penghabisan. 


Mental petarung diajarkan selain bentuk menjaga kehormatan diri, juga menjaga kehormatan keluarga besar dan nama baik. 


Sehingga pantangan meninggalkan gelanggang berangkat dari istilah “lebih baik berkalang tanah. Daripada berputih mata” adalah menjaga harkat dan martabat sebagai manusia. 


Ajaran leluhur yang diwariskan para nenek moyang bangsa Indonesia membuat Indonesia sebagai bangsa besar masih tegak berdiri. Menghadapi berbagai gempuran silih berganti. 


Entah berapa banyak orang yang meramalkan nasib bangsa Indonesia. Entah dengan meramalkan Indonesia akan menghadapi krisis paska tumbangnya Soeharto (lengser keprabon. Mandig Pandito). 


Bukankah masih ingat ketika Indonesia kemudian menghadapi krisis dan menyebabkan Indonesia akan berkeping-keping sebagai negara. 


Tapi proses ini kemudian dilalui dengan baik. Masa reformasi kemudian mengajarkan banyak hal. Memberikan kekuatan baru kepada Indonesia sebagai negara. 


Indonesia kemudian dikenal sebagai bangsa yang demokratis. Pemilihan Presiden dan anggota parlemen dipilih langsung oleh rakyat. Tidak ada tekanan, ancaman, rekayasa terhadap hasil pemilu. 


Parlemen begitu berkuasa. Mampu menumbangkan Presiden. 


Pers begitu bebas. Suara kritis tetap bisa disuarakan. 


Begitu juga ketika wabah corona menyerang dunia. Dunia kemudian meramalkan Indonesia akan diserang dan menyebabkan ekonomi kemudian lumpuh. Bahkan tidak segan-segan kemudian Indonesia akan “colaps”. 


Tapi apa yang terjadi ? 


Angka-angka yang dipaparkan terhadap Indonesia yang “konon” mencapai puluhan juta ternyata hanya berkisar angka Cuma sejutaan. 


Nah. Untuk mengoreksi kesalahan prediksi tentang Indonesia, tanpa malu-malu kemudian menyebutkan “Indonesia sudah terbangun hard immunity”. 


Memasuki tahun kedua wabah corona, Indonesia sudah menatap kedepan. Berbagai prahara, intrik maupun berbagai manuver yang sempat mengharu-birukan politik Indonesia kemudian mulai “melandai”. 


Bersamaan dengan semilir angin pagi. Mengabarkan sukacita kepada rakyat Indonesia. 


Lalu mengapa Indonesia mampu melewati berbagai krisis, prahara, intrik bahkan manuver selama 20 tahun terakhir ini ? 


Kolektivitas dan rasa persaudaraan yang tinggi. Masyarakat Indonesia “rela mengulurkan tangan”. Membantu saudaranya yang terpapar derita. 


Sebagai bangsa timur, rasa persaudaraan itu begitu kental. Berbagai bencana yang terjadi (entah bencana alam maupun wabah), mampu dilewati dengan baik. 


Lihatlah. Bagaimana ketika terjadi bencana. Berbagai lini kemudian membangun solidaritas. Tanpa sekat membantu saudaranya yang tertimpa bencana. 


Kekuatan solidaritas dan kolektivitas inilah yang “jarang dipotret” oleh dunia barat. Termasuk juga kalangan menengah kampus yang hanya “mempelototi” angka-angka ekonomi. 


Kekuatan solidaritas dan kolektivitas inilah yang hanya dimiliki oleh para mereka yang mempunyai mental yang Tangguh. Warisan dari leluhur nenek moyang yang masih erat diwariskan kepada generasi selanjutnya. 


Hanya orang yang mempunyai “tuah” petarung yang mampu melewati berbagai krisis. Meninggalkan para pecundang yang sibuk kalkulasi kekalahannya.