30 Maret 2021

opini musri nauli : Sejarah Masyarakat Desa Simpang Rantau Gedang



Melanjutkan Desa-desa yang termasuk kedalam Marga Kembang Paseban yang berpusat di Mersam, maka kali ini kita melihat Sejarah masyarakat Desa Simpang Rantau Gedang. 


Bersumberkan kepada Buku Perjuangan Masyarakat Desa Simpang Rantau Gedang, Tim Perjuangan Hak-hak Atas Tanah Kesatuan Tani Sialang Pangkal (KTSP), disebutkan Desa Simpang Rantau Gedang adalah salah satu desa asli di Kecamatan Mersam Kabupaten Batanghari


Dari Desa Rantau Gedang kemudian dimekarkan pada tanggal 14 September 2005. Pekerjaan umum masyarakat desa adalah petani karet, petani sawit, petani holtikultura, pedagang, menyusul pegawai negeri kecil, dll.


Luas Desa Simpang Rantau Gedang adalah 6.009 KM, terdiri dari 3 Dusun dan 14 RT dengan jumlah penduduk sebayak 1.938 jiwa/475 Kepala keluarga (KK), Laki-laki berjumlah 1.003 jiwa dan perempuan berjumlah 935 jiwa. 


Adapun batas-batas Desa adalah sebagai berikut Sebelah utara berbatasan dengan Sungai Benanak Kec. Merlung Kab. Tanjabbar. Sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Batanghari. Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Ruan, Tebing Tinggi, Sungai Rengas dan Kabupaten Tebo.Sebelah timur berbatasan dengan Sengkati Baru, Sengkati Kecil, Sungai Puar dan Sungai Danglo.


Menurut cerita dari tetua dan ketua adat Desa Simpang Rantau Gedang, bahwa jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 1945 Desa Rantau Gedang telah berdiri. 


Berasal dari beberapa perantau yang diketuai oleh seorang datuk bernama Ismail. Di wilayah ini Datuk Ismail beserta anak buahnya menetap dan memberi nama daerah ini Rantau Gedang. 


Dirantau Gedang inilah mereka bertahan dan mengembangkan kehidupan dengan cara membuka kebun secara tradisional, semampu dan sebutuhnya. 


Ketika membuka lahan kebun, Datuk Ismail menemukan tiga macam barang, yaitu; 1) Tumbak Canggah Cabang Tigo, 2) Sebilah Parang, dan 3) Sebilah keris.


Adik Datuk Ismail bertanya tentang kegunaan barang-barang yang ditemukan tersebut, “Apo arti dan Gunue Bendo-bendo iko Bang”?. Datuk Ismail menjawab; “Gunoe tumbak yang bercabang tigo iko adolah sebagai kiasan bagi kito, yang berarti, canggah yang tengah harus ado kepalo kampung, canggah yang kanan harus ado imam dan canggah yang kiri berarti harus ado ketuo adat bagi kito, adopun tiang tumbak berarti kito harus berpegang teguh dengan adat yang ado. “Kjud Bti, iman sabuah”, namun kito tetap berpegang teguh pado adat, idak lapuk dek ujan, idak kekang dek panas, idak boleh diombang ambing oleh siapopun. Adopun Sebilah Keris yang Sekilan dikilani dan seseto disetoi. Adolah kias bagi kito, yang berarti kito boleh beundu maro (kita boleh berunding) dalam memecahkan persoalan yang dihadapi, maksudnyo kalo berat boleh minta ringan, kalo ringan boleh minta dilepas. Adopun guno Parang, sebagai kias bagi kito, duduk sama rendah, tegak sama tinggi, sama dirasakan kelat atau manisnyo, namun hukum tetap satu. Artinyo hukum yang harus ditegakkan tidak boleh pandang bulu. Untuk diketahui, tombak tersebut saat ini masih ada dan masih dipergunakan untuk tongkat khotbah setiap shalat jum’at dan hari raya di mesjid Istiqomah Desa Rantau Gedang.


Kemudian berkampunglah mereka disitu, membuat mesjid dari atap daun rumbai untuk ibadah warga. Lama-kelamaan orang banyak pindah atau berdatangan ke Rantau Gedang, banyak orang-orang dari daerah/kampung lain yang datang bertandang dan jarang kembali ketempat asalnya karena menikah di Rantau Gedang, hingga menjadi penduduk Rantau Gedang.


Pada awalnya, ketentuan tentang batas-batas tanah ulayat yang termasuk dalam Desa Rantau Gedang, adalah : Sebelah Darat/Sebelah Utara berbatasan dengan Bukit Bakar, Sungai Benanak dan Meranti Betebuk.


Sebelah Belakang Dusun/Sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Selang ke Pematang Rambut.


Sebelah Ulu/Sebelah Barat berbatasan dengan Pematang Rambut, Pinang Belarik, Sungai Batanghari, Nyebrang sungai ke Tanah Berbedah, ke Kayu Kedondong, Menuju ke Sungai Gadis, Terus ke Lengkok-Lengkok Kanan Sungai Rengas Langsung ke Bukit Bakar.


Sebelah Ilir/Sebelah Timur berbatasan dengan Meranti Betebuk/Kebun Jae, ke Sungai Danglo, menyebrang Sungai Batanghari ke Simpur Miang, menuju Simpang Tigo Sungai Bayur, ke Sungai Selang.


Batas-batas wilayah dimaksud diatas adalah batas-batas dari tanah adat/tanah ulayat Desa Rantau Gedang. 


Menurut ketentuan adat Rantau Gedang dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan hutan, diperbolehkan bagi setiap warga, baik warga asli maupun warga pendatang yang merantau ke Desa Rantau Gedang kemudian menjadi bagian dari rakyat Rantau Gedang, sepanjang untuk kebutuhan membuat rumah dan membuka lahan untuk berkebun. Ketentuan adat ini berdasarkan Seloko adat yang berbunyi “Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano biduk ditarik disitu galang diletakkan, dimano akar ditetak disitulah aiknyo menetes”.