(Refleksi
Makna “Kesetiaan” cinta seorang Manusia)
HABIBE
dan AINUN. Demikian sebuah judul film melodrama yang heboh di putar
di berbagai bioskop Century Twenty One.
Sebagai
film melodrama, ingatan dan pandangan penonton beragam. Ada yang
menceritakan bagaimana kesetiaan seorang Habibie yang hanya mengenal
seorang Perempuan. Seorang yang menginspirasi seorang Habibie Muda
untuk “membuat” pesawat terbang. Seorang lelaki yang selalu
disamping seorang perempuan hingga “ajal” menjemputnya. Kisah
yang menarik di zaman sekarang. Persis kisah-kisah “romantisme”
seperti “Sang Cinderalla”, Romeo dan Juliet
(William Shakespeare), Cleopatra dan Mark Antony, Napoleon dan
Josephine. Atau Adam dan Hawa maupun Epos Ramayana, Rama dan
Shinta
Harus
diakui, setiap penulis menaiki pesawat terbang dan memandang sirip
pesawat terbang, penulis akan selalu teringat dengan Habibie.
Habibie
kemudian memperkenalkan teori Teori Crack
Progression. Habibie-lah yang kemudian menemukan bagaimana rambatan
titik crack itu bekerja. Perhitungannya sungguh rinci, sampai pada
hitungan atomnya. Oleh dunia penerbangan, teori Habibie ini lantas
dinamakan crack progression. Dari sinilah Habibie mendapat julukan
sebagai Mr. Crack. Tentunya teori ini membuat pesawat lebih aman.
Tidak saja bisa menghindari risiko pesawat jatuh, tetapi juga membuat
pemeliharaannya lebih mudah dan murah.
Dalam
berbagai publikasi disebutkan, teori ini berangkat dari problema
sirip pesawat terbang. Kulit luarnya bisa saja terlihat halus mulus
tanpa cacat. Tapi siapa tahu, sisi dalamnya keropos. Ketidakpastian
inilah yang dihadapi industri pesawat terbang sampai 40 tahun lalu.
Pemakai dan produsen sama-sama tidak tahu persis, sejauh mana bodi
pesawat terbang masih andal dioperasikan. Akibatnya memang bisa
fatal. Pada awal 1960-an, musibah pesawat terbang masih sering
terjadi karena kerusakan konstruksi yang tak terdeteksi. Kelelahan
(fatique) pada bodi masih sulit dideteksi dengan keterbatasan
perkakas. Belum ada pemindai dengan sensor laser yang didukung unit
pengolah data komputer, untuk mengatasi persoalan rawan ini.
Titik rawan kelelahan ini biasanya pada sambungan antara sayap dan badan pesawat terbang atau antara sayap dan dudukan mesin. Elemen inilah yang mengalami guncangan keras dan terus-menerus, baik ketika tubuhnya lepas landas maupun mendarat. Ketika lepas landas, sambungannya menerima tekanan udara (uplift) yang besar. Ketika menyentuh landasan, bagian ini pula yang menanggung empasan tubuh pesawat. Kelelahan logam pun terjadi, dan itu awal dari keretakan (crack).
Titik
rambat, yang kadang mulai dari ukuran 0,005 milimeter itu terus
merambat. Semakin hari kian memanjang dan bercabang-cabang. Kalau
tidak terdeteksi, taruhannya mahal, karena sayap bisa sontak patah
saat pesawat tinggal landas. Dunia penerbangan tentu amat peduli,
apalagi saat itu pula mesin-mesin pesawat mulai berganti dari
propeller ke jet. Potensi fatique makin besar.
Pada
saat itulah muncul anak muda jenius yang mencoba menawarkan solusi.
Usianya baru 32 tahun. Postur tubuhnya kecil namun pembawaannya
sangat enerjik. Dialah Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, laki-laki
kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936.
Dan
di fim ini cuma sekilas menggambarkannya.
Terlepas
berbagai pendapat yang berbeda mengenai film ini, harus diakui, film
ini hanya menceritakan perjalanan cinta seorang manusia bernama
Habibie – Ainun. Tanpa dibumbuhi berbagai fiksi yang seharusnya
“memperkuat” cerita film. Film ini hanya dokumenter yang
“dikemas” entertainment. Walaupun pesannya cukup besar, namun
film ini hanya meninggalkan kesan. Kisah cinta sejati manusia biasa.