25 Januari 2013

opini musri nauli : Habibie dan Ainun


(Refleksi Makna “Kesetiaan” cinta seorang Manusia)

HABIBE dan AINUN. Demikian sebuah judul film melodrama yang heboh di putar di berbagai bioskop Century Twenty One.

Sebagai film melodrama, ingatan dan pandangan penonton beragam. Ada yang menceritakan bagaimana kesetiaan seorang Habibie yang hanya mengenal seorang Perempuan. Seorang yang menginspirasi seorang Habibie Muda untuk “membuat” pesawat terbang. Seorang lelaki yang selalu disamping seorang perempuan hingga “ajal” menjemputnya. Kisah yang menarik di zaman sekarang. Persis kisah-kisah “romantisme” seperti “Sang Cinderalla”, Romeo dan Juliet (William Shakespeare), Cleopatra dan Mark Antony, Napoleon dan Josephine. Atau Adam dan Hawa maupun Epos Ramayana, Rama dan Shinta

Harus diakui, setiap penulis menaiki pesawat terbang dan memandang sirip pesawat terbang, penulis akan selalu teringat dengan Habibie.

Habibie kemudian memperkenalkan teori Teori Crack Progression. Habibie-lah yang kemudian menemukan bagaimana rambatan titik crack itu bekerja. Perhitungannya sungguh rinci, sampai pada hitungan atomnya. Oleh dunia penerbangan, teori Habibie ini lantas dinamakan crack progression. Dari sinilah Habibie mendapat julukan sebagai Mr. Crack. Tentunya teori ini membuat pesawat lebih aman. Tidak saja bisa menghindari risiko pesawat jatuh, tetapi juga membuat pemeliharaannya lebih mudah dan murah.

Dalam berbagai publikasi disebutkan, teori ini berangkat dari problema sirip pesawat terbang. Kulit luarnya bisa saja terlihat halus mulus tanpa cacat. Tapi siapa tahu, sisi dalamnya keropos. Ketidakpastian inilah yang dihadapi industri pesawat terbang sampai 40 tahun lalu. Pemakai dan produsen sama-sama tidak tahu persis, sejauh mana bodi pesawat terbang masih andal dioperasikan. Akibatnya memang bisa fatal. Pada awal 1960-an, musibah pesawat terbang masih sering terjadi karena kerusakan konstruksi yang tak terdeteksi. Kelelahan (fatique) pada bodi masih sulit dideteksi dengan keterbatasan perkakas. Belum ada pemindai dengan sensor laser yang didukung unit pengolah data komputer, untuk mengatasi persoalan rawan ini.

Titik rawan kelelahan ini biasanya pada sambungan antara sayap dan badan pesawat terbang atau antara sayap dan dudukan mesin. Elemen inilah yang mengalami guncangan keras dan terus-menerus, baik ketika tubuhnya lepas landas maupun mendarat. Ketika lepas landas, sambungannya menerima tekanan udara (uplift) yang besar. Ketika menyentuh landasan, bagian ini pula yang menanggung empasan tubuh pesawat. Kelelahan logam pun terjadi, dan itu awal dari keretakan (crack).
Titik rambat, yang kadang mulai dari ukuran 0,005 milimeter itu terus merambat. Semakin hari kian memanjang dan bercabang-cabang. Kalau tidak terdeteksi, taruhannya mahal, karena sayap bisa sontak patah saat pesawat tinggal landas. Dunia penerbangan tentu amat peduli, apalagi saat itu pula mesin-mesin pesawat mulai berganti dari propeller ke jet. Potensi fatique makin besar.
Pada saat itulah muncul anak muda jenius yang mencoba menawarkan solusi. Usianya baru 32 tahun. Postur tubuhnya kecil namun pembawaannya sangat enerjik. Dialah Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, laki-laki kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936.
Dan di fim ini cuma sekilas menggambarkannya.

Terlepas berbagai pendapat yang berbeda mengenai film ini, harus diakui, film ini hanya menceritakan perjalanan cinta seorang manusia bernama Habibie – Ainun. Tanpa dibumbuhi berbagai fiksi yang seharusnya “memperkuat” cerita film. Film ini hanya dokumenter yang “dikemas” entertainment. Walaupun pesannya cukup besar, namun film ini hanya meninggalkan kesan. Kisah cinta sejati manusia biasa.