Syahdan. Terdengar suara kegundahan resi dipertapaan. Suaranya menggumam tiada arti.
Bak wangsit diterima para pendekar, segera para pendekar padepokan bergegas menemui resi dipertapaan.
“Tuanku resi. Kami mendapatkan wangsit. Mengapa hatimu gundah gulana ?”, tanya sang pendekar tertua. Wajahnya gelisah. Tanda tidak nyaman dengan keadaan dari sang Resi.
Sang resi menghentikan tapanya. Sembari membalikkan badannya, kemudian bertemu dengan para pendekar.
“Wahai para pendekar padepokan. Kegelisahan hatiku, hingga kini berbagai mantra kesaktian padepokan belum juga kutuliskan didalam kitab. Padahal kitab ini diperlukan oleh murid-murid padepokan untuk merapal mantra. Menjaga negeri Astinapura”, kata sang resi gelisah. Suara Kecil. Nyaris tidak terdengar.
“Apa yang mesti hamba lakukan, wahai resi. Agar Resi dapat melanjutkan menuliskan kitab”, tanya sang pendekar.
“Sepertinya hingga dua purnama yang akan datang. Hamba belum mampu menuntakan menuliskan kitab. Hamba masih menunggu titah dari dewata. Sembari melanjutkan tapa brata.
Semoga alam Semesta merestuinya”, kata sang resi sembari membalikkan badannya. Melanjutkan tapa brata.
“Baiklah, tuanku. 2 orang para pendekar akan menjaga tuanku. Mengurusi segala kebutuhan tuanku. Agar tuanku dapat menyelesaikan kitabnya”, sembah sang pangeran. Sembari bergegas turun dari pertapaan. Kembali ke padepokan.