Dalam KUHAP diatur hak para pihak untuk melakukan perlawanan hukum terhadap putusan hakim (vonis) yang kemudian dikenal dengan istilah upaya hukum. Keberatan terhadap putusan hukum baik terhadap penerapan hukum, maupun pemidanaan.
KUHAP sendiri juga mengatur tentang upaya hukum biasa (banding maupun kasasi)maupun upaya hukum luar biasa (Peninjauan kembali/herziening)
Dalam kajian filsafat, bahan untuk diajukan dalam upaya hukum lebih rumit. Sebagai negara yang menganut negara hukum (rechtstaat) berangkat dari prinsip dari negara Eropa kontinental, maka menurut kajian filsafat hukum harus tunduk kepada aliran pemikiran positivisme. Artinya keadilan telah ditentukan didalam UU. Hukum adalah UU. Itu pelajaran penting dari aliran positivisme.
Dalam berbagai dokumen disebutkan, hakim tidak berwenang untuk menafsirkan “keadilan” dari suatu UU. Kewenangan untuk menafsirkan “keadilan” merupakan ranah legislatif sebagai pembuat UU. Sebagai pembuat hukum. Maka secara prinsip, hukum adalah UU. Diluar UU tidak mengenal hukum. Hukum harus tertulis. Begitulah beberapa prinsip dari aliran pemikiran positivisme.
Namun perkembangannya, Indonesia juga mengadopsi sistem diluar sistem hukum Eropa kontinental. Indonesia kemudian mengenal pertanggungjawaban korporasi (Rechtpersoon), pertanggungjawab mutlak (strict liabily), hak gugat kelompok (class action), hak gugat organisasi (legal standing), sebuah prinsip yang dikenal dalam sistem Anglo Saxon. Bahkan Indonesia mengenal Yurisprudensi (putusan hakim yang kemudian diikuti hakim lain). Semuanya dikenal dalam sistem hukum Anglo saxon.
Dari ranahnya, kemudian upaya hukum yang dilakukan pihak yang keberatan terhadap putusan hakim. Alasan mengajukan keberatan terhadap putusan hakim (baik banding, kasasi, Peninjauan kembali) inilah kemudian dilihat dari penerapan hakim terhadap suatu perkara yang tengah disidangkan.
Alasan yang sering digunakan adalah apakah hakim telah mempertimbangkan fakta-fakta yang terbukti dimuka persidangan telah tepat diterapkan pasal yang dituduhkan. Atau apakah hakim telah menerapkan ketentuan yang berlaku terhadap terdakwa.
Sebagai ajaran positivisme, maka hakim kemudian berangkat dari tafsiran silogisme. Pasal-pasal yang dituduhkan kepada terdakwa merupakan premis mayor. Sedangkan fakta-fakta merupakan premis minor. Dengan melihat premis mayor terhadap terhadap terdakwa dengan premis minor, apakah telah tepat.
Dengan menggunakan alat ukur premis mayor dan premis minor, apakah pertimbangan hukum (legal reasing) tidak terpengaruh diluar persidangan ? Apakah faktor diluar persidangan yang merupakan hal yang mempengaruhi hakim (dependent) sebelum dijatuhkan vonis. Apakah dependent bisa diatasi hakim sehingga hakim tidak terpengaruh (independent) ?
Belum lagi bagaimana hakim menerapkan alat bukti, atau pembuktian apabila dilihat dari kesalahan (schuld), pertanggungjawaban pidana, pemidanaan ?
Atau, apakah pemidanaan yang dijatuhkan tidak boleh melebihi kesalahan yang dilakukan terdakwa.
Apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan ?
Belum lagi hukum acara formal yang tidak boleh dilanggar. Misalnya wajib didampingi penasehat hukum sebagaimana pasal 54 dan pasal 56 KUHAP.
Berbagai pertanyaan disampaikan merupakan bahan untuk mengajukan upaya hukum (baik upaya hukum biasa maupun luar biasa). Pada tingkat banding, maka hakim kemudian memeriksa fakta (judex factie). Sedangkan pada tingkat kasasi maupun peninjauan kembali, hakim memeriksa penerapan hukum (judex factie).
Begitu banyak yang dapat dijadikan bahan untuk mengajukan upaya hukum. Sehingga tidak salah, apabila banyak perkara yang kemudian diajukan upaya hukum. Baik oleh Jaksa penuntut umum maupun terdakwa.