05 April 2021

opini musri nauli : In dubio pro reo

Begitu besar kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada Hakim untuk memutuskan sebuah perkara. Putusan Pengadilan bisa menentukan ”nasib” seseorang. Hukuman mati, hukuman seumur hidup, hukum sekian tahun penjara. Begitu juga terhadap hak milik dapat dirampas, disita oleh negara.


Begitu besar kekuasan hakim itulah, kemudian hakim diharapkan bertindak arif dan bijaksana sebelum memutuskan sebuah perkara. Hakim harus melihat berbagai sisi. Untuk kepentingan hukum, untuk kepentingan masyarakat dan nasib terdakwa itu sendiri.


Oleh karena itu hakim diharapkan dapat memutuskan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Sebagaimana irrahnya, Demi Keadilan), dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan memberikan pelajaran hukum kepada siapapun.


Ada asas yang penting sebelum memutuskan perkara. Biasa dikenal in dubio pro reo diartikan sebagai “jika ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal haruslah diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa”. 


Asas in dubio pro reo sendiri sudah sering digunakan Mahkamah Agung (“MA”) untuk memutus perkara, di antaranya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 33 K/MIL/2009 yang salah satu pertimbangannya menyebutkan bahwa ”“asas IN DUBIO PRO REO yang menyatakan jika terjadi keragu-raguan apakah Terdakwa salah atau tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi Terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan.”


Selain itu, MA juga pernah berpendapat mengenai hubungan antara hukum acara pidana dengan asas in dubio pro reo pada Putusan Mahkamah Agung No. 2175/K/Pid/2007 yang salah satu pertimbanganya menyatakan: “…sistem pembuktian di negara kita memakai sistem “Negatief Wettelijk“, yaitu keyakinan yang disertai dengan mempergunakan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang; Hal ini dapat terlihat pada Pasal 183 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), yang berbunyi sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya“


Pertimbangan Putusan yang sama juga menyebutkan: “Suatu asas yang disebut “IN DUBIO PRO REO” yang juga berlaku bagi hukum pidana….. Asas ini tidak tertulis dalam Undang-Undang Pidana, namun tidak dapat dihilangkan kaitannya dengan asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” (“Geen Straf Zonder Schuld“) atau “Anwijzigheid van alle Schuld‘ yang sudah menjadi yurisprudensi konstan dan dapat diturunkan dari Pasal 182 ayat (6) KUHAP”


Sedangkan Pasal 182 ayat (6) KUHAP sendiri menyebutkan “Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:

  1. putusan diambil dengan suara terbanyak;
  2. jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.”

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut dapat kita ketahui bahwa penerapan asasin dubio pro reo sejalan dengan pengaturan Pasal 183 dan Pasal 182 ayat (6) KUHAP.Pasal 183 KUHAP mengharuskan hakim yang hendak menjatuhkan putusan pidana untuk memperoleh keyakinan berdasarkan alat bukti bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.


Sedangkan, Pasal 182 ayat (6) KUHAP mengatur keadaan bila proses pengambilan putusan dalam musyawarah majelis hakim tidak dicapai hasil pemufakatan bulat, dan tidak dapat diambil putusan berdasarkan suara terbanyak (karena pendapat anggota majelis hakim berbeda-beda), maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. 


Jadi, praktiknya asas in dubio pro reo ini digunakan bila hakim berdasarkan alat bukti yang ada masih memiliki keragu-raguan mengenai bersalah atau tidaknya terdakwa. Bila hakim masih memiliki keraguan mengenai bersalah atau tidaknya terdakwa, maka berlaku Pasal 183 KUHAP yang melarang hakim menjatuhkan pidana bila berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia tidak memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.