Dipidananya seseorang tidak cukup hanya apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Prof. Sudarto merumuskan, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana
Prinsip diatas adalah suatu adagium atau maxim yang sudah lama dianut secara universal dan telah menjadi asas dalam hukum pidana, “geen straft zonder schuld”, “nulla poena sine cupa”, “actus non fait reum”, “nisi mens sit Rea”, “Ohne schuld keini strafe”, “an act does not make a person legally guility unless the mind is legally blamewarthy.
Didalam KUHP dapat dilihat didalam rumusan pasal 44, 48 sampai dengan pasal 55 KUHP. Rumusan pasal ini mengatur tidak dapat dipidananya seseorang yang kemudian dikenal dengna istilah (strafuitsluitingsgronden)
Kemudian ditegaskan “tiada pidana tanpa kesalahan”, yang kemudian dirumuskan “tiada seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat bukti pembuktian yang sah menurut UU mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Dengan melihat berbagai teori yang telah dikembangkan dan menjadi doktrin dalam ilmu hukum dan berbagai ketentuan yang berkaitan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, maka unsur “barang siapa (nijk)” yang sering disalah rumuskan oleh penegak hukum (baik Jaksa Penuntut umum maupun Hakim)menimbulkan persoalan dalam pembuktian.
Dari ranah inilah, pengadilan merupakan salah satu tempat, bagaimana berbagai pemikiran aliran hukum dan berbagai teori dan ketentuan yang berkaitan dengan unsur “Barang siapa (nijk)” selalu ditunggu dalam berbagai putusan.