Di desa Rantau Bidaro, terdapat lahan pertanian berupa sawah, luasnya mencapai 30 hektar tetapi yang dikelola masyarakat sekarang ini sekitar 15 Hektar dan yang berhak menanam di lahan tersebut adalah keturunan nenek 4, yaitu kalbu Rendah, kalbu Solok, kalbu Cabul dan kalbu Talang, yang kesemuanya sudah dibedakan lokasi masing-masing. Kalbu Rendah sebelah ilir, kalbu solok sebelah tengah, kalbu cabul sebelah atas dan kalbu talang sebelah atas juga.
Nenek mamak sering disebutkan sebagai penghulu. “Pamit ke penghulu” adalah Seloko terhadap kegiatan yang dilakukan diwilayah kekuasaan Dusun harus sepengetahuan pemangku Adat. Sebagai pemangku adat, ditandai dengan “Alam sekato Rajo. Negeri sekato Batin.
Atau “Alam Berajo, Rantau Berjenang, Negeri Bebatin, Luhak Berpenghulu, Kampung betuo, Rumah betengganai” atau “Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.
Seloko ini melambangkan alam kosmos Rakyat Melayu Jambi untuk menempatkan dan menghormati pemimpin.
Ada juga menyebutkan “Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak, Hutan yang dibuka harus sepengetahuan Penghulu dalam rapat Adat.
Yang ditandai dengan Seloko “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.
Penempatan nenek mamak ditandai dengan seloko “Datang nampak muko. Pegi nampak punggung”. Masyarakat diluar Desa apabila hendak membuka rimbo, maka harus tinggal selama 3 tahun setelah itu harus melaporkan kepada tuo tengganai dan nenek mamak.
Prosesi selanjutnya “Nasi Putih Air jernih”. Setelah tinggal selama 3 tahun dan melaporkan kepada tuo tengganai dan nenek mamak, maka diadakan rapat untuk menyampaikan maksud untuk membuko rimbo.
Sedangkan untuk Masyarakat Desa dimulai dari Orang luar yang hendak tinggal di Desa Sungai Keradak, maka minimal 6 bulan tinggal di Desa. Setelah 6 bulan, barulah menghadap ke nenek mamak dan tuo tengganai untuk meminta izin membuka rimbo. Tradisi ini kemudian dikenal dengan “Nasi Putih Air Jernih, Kelapo Sekok, selemak semanis. Setelah menghadap nenek mamak dan tuo tengganai, maka diadakan rapat kenduri. Didalam rapat kenduri, maka barulah dapat diizinkan untuk membuka rimbo. Rimbo yang telah dibuka, menjadi haknya.
Membuka rimbo gedang haruslah meminta izin dari nenek mamak, dalam konteks sekarang adalah Kepala Desa. Hutan yang masih tersisa boleh saja digarap menjadi ladang umo atau kebun karet jika ada izin dari Kepala Desa sebagai pemimpin tertinggi. Model yang lain adalah pemberian Tanah.
Selain lain seperti “Bungo emping, merupakan pungutan pajak untuk setiap hasil panen. Misalnya seperti pada saat kenduri dilakukan pungutan terhadap hasil panen untuk nenek mamak. Pada saat itu juga dikumpulkan zakat padi. Bungo “Emeh” merupakan pungutan pajak yang dilakukan untuk setiap pungutan hasil tambang emas (mendulang).
Selain itu juga dikenal menarik “cukai” atau “penyerahan hasil buruan”. Hewan buruan yang diperoleh penduduk maka diberikan 5 canting dagingnya diberikan untuk kepala adat, kalau mendapatkan Rusa diberikan 1 gantang dagingya untuk kepala adat. Demikian juga mendapatkan ikan, burung, kancil dan sebagainya.
Sedangkan penduduk luar dusun, kalau penduduk dari luar dusun yang mendapatkan kijang atau rusa maka daging paneh untuk nenek mamak setempat.
Istilah “Nenek Mamak” sering dilekatkan dalam “jenjang adat”. Setiap persoalan yang timbul, maka diselesaikan dengna hukum adat. Dimulai dari tuo tengganai dan apabila tidak diselesaikan maka diselesaikan nenek Mamak. Terhadap kesalahan maka diselesaikan setiap jenjang adat. Baik dari kesalahan yang sanksinya ringan hingga sanksi yang berat.
Dimulai dari Tegur sapo berupa ayam satu ekor dan beras segantang. Kemudian Tegur pengajar berupa kambing 10 ekor dan beras 20 gantang. Guling batang berupa denda satu ekor kerbau dan beras seratus gantang.
Tegur Sapo diberikan terhadap pelanggaran seperti Membuka lahan kebun orang yang sudah dimiliki. Dan Orang luar yang mengambil hasil hutan tanpa izin kepala Desa. Setelah dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke pihak keamanan.
Sedangkan Guling Batu terhadap pelanggaran seperti Membuka tempat yang dilarang., Orang luar membuka hutan tanpa izin dari pihak tuo tengganai, nenek mamak dan membuka hutan tanpa rapat kenduri.
Baca : Nenek