Syahdan. Ditengah kerumuman pasar, diwarung tempat mengaso para pengelana, terdengar pembicaraan. Riuh dengan suara sang penutur.
“Kisanak, ada apa gerangan negeri Astinapura ?”, tanya sang pengelana.
“Mengapa dedemit belum juga ditaklukkan para pendekar negeri Astinapura ?”, tanya sang pengelana. Lagi-lagi heran. Wajahnya sedikit memerah. Kecapean menempuh perjalanan. Terlihat keringat bercucuran di mukanya.
“Benar, kisanak. Raja Astinapura belum jua dinobatkan. Sehingga Raja Astinapura belum dapat mengeluarkan titah. Memanggil para pendekar dari padepokan negeri Astinapura”, kata sang pemilik warung.
“Silahkan diminum dulu, kisanak”, tawar sang pemilik warung ramah. Sembari meletakkan kendi.
“Terima kisah, ki”, jawab sang pengelana sembari menegukkan air dari kendi. Wajahnya sedikit lega.
“Lalu apa yang terjadi sehingga belum juga dipanggil para pendekar untuk menaklukkan dedemit”, lanjut sang pengelana.
“Benar, kisanak. Para dubalang Raja dan punggawa kerajaan sibuk berhias diri. Mematut jubah kebesaran.
Konon kabar angin yang beredar, Mereka galau dengan jubah Mereka. Mereka khawatir jubah akan ditinggalkan di Istana. Dan hingga sekarang, Raja Astinapura belum menerima sembah. Sebagai tanda bakti, kisanak”, jawab sang pemilik warung. Wajahnya ramah.
“Bukankah para dubalang raja dan punggawa kerajaan harus tetap menunaikan tugas. Mengabaikan apakah akan diterima sembahnya atau tidak ?”, lagi-lagi sang pengelana semakin heran.
“Begitulah, kisanak. Para dubalang Raja dan punggawa kerajaan lebih mementingkan jabatan dari tanggungjawab. Mereka enggan melepaskan jubah yang sudah lama mereka kenakan”, jawab sang pemilik warung.
“Hm…”, jawab sang pengelan. Sembari tidak melanjutkan pembicaraan. Sembari menyimpan tanya.
“Kisanak, hamba hendak mengaso dulu. Badan hamba sungguh letih”, jawab sang pengelana. Sembari merebahkan diri. Memejamkan mata.
“Silahkan, kisanak”, sambut sang pemilik ramah. Kemudian meninggalkan sang pengelana.