01 Juni 2021

opini musri nauli : Rajo (3)


Ditengah masyarakat Melayu Jambi dikenal seloko “alam sekato Rajo. Negeri Sekato Batin” atau “alam berajo. Negeri Bebatin. Negeri Bebatin, Luhak Berpenghulu, Kampung betuo, Rumah betengganai” atau  “Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak” Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang yang Seloko ini melambangkan alam kosmos Rakyat Melayu Jambi untuk menempatkan dan menghormati pemimpin

Namun ada juga menyebutkan “tuo kampung, tanah bejenang, rajo bepenghulu, negeri bebatin” atau seloko seperti “Sirih senampan. Keris nan sebilah. Kok tinggi pusako rajo dijuluk dengan yang sebatang. Kok rendah pusako rendah kok dengan keris nan sebilah. Kusut minta diusaikan. Keruh minta dijernihkan”,  


Kata “rajo” sebagai bentuk penghormatan terhadap pemimpin juga dikenal istilah Rajo juga dikenal sebagai pengucapan terhadap harimau. Kata ganti “Harimau” juga disebut “nenek” atau datuk. 


Sebagai “rajo” maka dia akan menunjukkan kekuasaannya untuk mengamankan wilayahnya. Sehingga setiap peristiwa konflik satwa dengan manusia, “tetua kampong” akan mudah mencari penyebab terjadinya konflik. Sehingga “ingatan, teguran” dari Rajo akan selalu menjadi peringatan kepada yang lain. Supaya dapat menempatkan “Rajo” yang berkuasa di hutan.


Sebagai “rajo”, kedatangan “rajo” ke kampung bukan sekedar hanya dipandang sebagai konflik “satwa” dengan manusia. Tapi ada sebab mengapa “rajo” turun. 


Tanda “rajo” kemudian turun ke kampung dilihat dari berbagai kesalahan manusia. Kesalahannya seperti “Gadih dak belaki”, “salah Bujang dengan gadih” atau ada “sumbang salah” ditengah masyarakat. 


“Gadih dak belaki” sering diartikan adanya perempuan yang hamil tanpa suami. Sedangkan “salah Bujang dengan gadih” sering diartikan sebagai “kesalahan muda-mudi” dalam pergaulannya. “Tidak pantas” Menurut hukum adat. 


Sedangkan “Sumbang salah” adanya perbuatan yang terjadi di kampung yang belum diselesaikan dengan adat. Baik karena belum diproses maupun masyarakat tidak mengetahui kesalahan yang terjadi. 


Selain itu juga adanya “nazar” atau “janji dikampung” yang belum ditunaikan.

Baca : Rajo (2)