04 November 2021

opini musri nauli : Catatan Hukum Pengelolaan Gambut di Jambi


Kebakaran massif di Jambi sejak 1997 hingga sekarang menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat. Tahun 2015, selama tiga bulan ditutupi asap. Hingga Oktober 2015, berdasarkan citra satelit, terdapat sebaran kebakaran 52.985 hektar di Sumatera dan 138.008 di Kalimantan. Total 191.993 hektar. Indeks mutu lingkungan hidup kemudian tinggal 27%. Instrumen untuk mengukur mutu lingkungan Hidup dilihat dari “daya dukung” dan “daya tampung”, Instrumen Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, penggunaan “scientific” dan pengetahuan lokal masyarakat memandang lingkungan hidup.

Kebakaran kemudian menyebabkan asap pekat. Menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. NASA memperkirakan 600 juta ton gas rumah kaca telah dilepas akibat kebakaran hutan di Indonesia tahun ini. Jumlah itu kurang lebih setara dengan emisi tahunan gas yang dilepas Jerman.


25,6 juta orang terpapar asap dan mengakibatkan 324.152 jiwa yang menderita ISPA dan pernafasan lain akibat asap. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) melampaui batas berbahaya. Bahkan hingga enam kali lipat seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. 12 orang anak-anak meninggal dunia akibat asap dari kebakaran hutan dan lahan. 4 balita di Kalteng, 3 orang di Jambi, 1 orang di Kalbar, 3 di Riau dan 1 orang di Sumsel. 


Kualitas udara yang sangat berbahaya juga mengakibatkan anak-anak terpaksa diliburkan dari sekolah. Di Riau, 1,6 juta anak-anak sekolah diliburkan. Di Jambi sudah dua bulan diliburkan. Bahkan di Sumsel, pemerintah baru meliburkan sekolah walaupun status ISPU sudah sangat berbahaya. Penerbangan terganggu di Kalbar dan Sumsel. Bahkan lumpuh di Riau, Jambi dan Kalteng. 


Kelima daerah kemudian menyatakan “darurat asap” sehingga diperlukan upaya Negara untuk memadamkan api selama tiga bula lebih. 


Kebakaran dapat mengakibatkan kerusakan fungsi lingkungan, menimbulkan kerugian bagi masyarakat, bangsa, dan negara serta polusi asap akan mengganggu hubungan regional dan internasional. Malaysia sudah menyampaikan nota protes kepada Indonesia. Singapura melalui National Enviroment Agency (NEA) melayangkan gugatan terhadap lima perusahaan terbakar yang terdaftar di Singapura. 


Entah mengapa tahun 2019 kebakaran kembali berulang. Ditempat yang sama dan mengakibatkan jumlah korban yang terus bertambah. Data dari Dinkes menyebutkan hingga September 2019, jumlah korban ISPA sudah mencapai 64.147 orang. Angka mengerikan dibandingkan tahun 2015. 


Disatu sisi, Polda Jambi sudah menyatakan 12 perusahan yang menyebabkan kebakaran. Sedangkan menurut KLHK, 7 perusahaan telah disegel. 6 adalah perusahaan yang terletak digambut. Perusahaan yang terbakar kembali setelah tahun 2015. 


Lalu dimana problema kebakaran 2019. Apakah pemberian izin digambut yang kemudian menyebabkan kebakaran yang menjadi persoalan ? 


Tanggungjawab perusahaan yang beraktivitas diareal gambut merupakan konsekwensi dari “pemegang izin’. Sebagai perusahaan yang bersedia beraktivitas digambut, maka selain pengelolaan yang harus tunduk dengan mekanisme yang telah diatur didalam regulasi negara, juga harus mempunyai peralatan yang mendukung. Baik peralatan pencegahan maupun peralatan penanggulangan. Mekanisme inilah yang menjadi materi didalam pemeriksaan dalam proses hukum. 


Sedari awal, problema kebakaran terutama diareal gambut adalah problema pemberian izin diareal gambut. Regulasi yang masih membolehkan pengelolaan gambut (PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016, Permen LHK No. 15,16,17/2017, Permentan No. 5/2018) tidak mampu mencegah kebakaran yang terus berulang. Lalu apakah regulasi yang tidak dipatuhi ? Atau memang ada problema pengelolaan gambut yang masih menyisakan persoalan ? 


UU No. 32/2009 sudah mewanti-wanti. Gambut kemudian diletakkan sebagai kawasan unik (ecosystem essensial). Sebagai kawasan unik maka gambut haruslah diperlakukan “khusus”. Tidak dapat disandingkan dengan model pengelolaan dengan entitas lain seperti “minyak, panas bumi, sawit, hutan”.  


Turunan UU No. 32/2009 seperti PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016 kemudian menegaskan. Pasal 9 ayat (2) kemudian menyebutkan fungsi gambut. Yakni fungsi lindung dan fungsi budidaya. Pasal 9 ayat (4) PP No. 71/2014 kemudian menyebutkan kategori gambut lindung seperti kedalaman 3 meter lebih, terdapat plasma nutfah spesifik dan spesies yang dilindungi. 


Usia BRG berakhir 2020 seperti mandat No 1/2016 yang tegas mengatur itu, kala itu, berbagai skenario terhadap nasib BRG muncul.


Menilik semangat dari Pemerintahan Jokowi yang masih memandang pekerjaan pemulihan gambut harus lanjut, termasuk capaian yang hendak diraih, Perpres No 120/2020 merupakan angin segar. Dengan pelaksanaan percepatan pemulihan gambut lanjut, maka pemulihan dapat memperbaiki kehidupan lingkungan jadi lebih baik.


Tidak hanya mengatur di sektor gambut, wewenang Badan Restorasi Gambut justru diperluas. Tak hanya pemulihan gambut, juga mangrove.


Kalau membicarakan gambut dan mangrove memang menarik perhatian publik di Indonesia terlebih mengaitkan itu dengan berbagai kebakaran, terutama yang masif terjadi di Sumatera dan Kalimantan.


Capaian restorasi gambut seluas 780.000 hektar (88%) dari total restorasi gambut di luar konsesi dan terlibat 109 perusahaan perkebunan seluas 442.000 hektar (79,6%), maka menjadi tanggungjawab multistakeholder. Pekerjaan memulihkan gambut, juga mangrove masih banyak. Semangat politik hukum pemulihan harus lanjut.


Semangat Politik Hukum harus dilanjutkan. Tugas untuk melakukan pemulihan gambut (termasuk diareal konsesi) maka diimbangi dengan amandemen Pasal 30 ayat 1, Pasal 31 A, Pasal 44  PP No. 57 Tahun 2016. 


Yang dapat dilakukan adalah para pemangku kepentingan (multistakeholders) dapat melakukan berbagai pekerjaan. 


Pemerintah Daerah (dibaca Pemerintah Provinsi Jambi dan Pemerintah Kabupaten/) berdasarkan regulasi setelah ditetapkan sebagai daerah kebakaran, dapat memaksa pemegang izin untuk melaksanakan pemulihan. Baik memaksa dengan menghadirkan pemegang izin dimuka persidangan, menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan pemulihan gambut maupun memaksa negara untuk melaksanakan pemulihan gambut kepada pemegang izin.

Selain itu Pemerintah Kabupaten dapat mengusulkan daerah-daerah yang sering terjadinya kebakaran yang menurut masyarakat adalah wilayah lindung/konservasi gambut dijadikan sebagai kawasan lindung/konservasi gambut. 


Mekanisme ini dapat dimasukkan usulan perubahan tata ruang gambut. Sekaligus dapat mengusulkan kepada Pemerintah (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia) agar ditetapkan sebagai tata ruang kawasan konservasi/lindung. 


Sehingga kebakaran yang massif terjadi seperti tahun 2013, 2015 dan 2019 dapat diatasi.