Ditengah-tengah semakin optimis melandainya angka covid 19, pusat-pusat perbelanjaan yang sudah Terbuka, dapat dilakukan ibadah di bulan Ramadhan seperti taraweh namun perang Rusia-Ukrania yang menyita perhatian publik tidak dapat dihindarkan.
Perhatian dunia dalam kisruh Perang Rusia-Ukrania menyita perhatian paska perlawanan dunia menghadapi pandemi covid 19.
Diluar dugaan negara-negara (barat) seperti Amerika Serikat dan Eropa yang tergabung di NATO, sebagian besar Rakyat Indonesia malah justru memberikan dukungan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin (Putin).
Ditengah hujatan dan menempatkan Putin sebagai “penjahat perang” dan “sang aksesor”, Putin Malah ditempatkan sebagai “Hero War”. Sebuah paradok ditengah-tengah kecaman dunia.
Terlepas dari sikap Pemerintah Indonesia dalam Deklarasi PBB atas invasi Rusia di Ukrania, dukungan Rakyat Indonesia memang menarik perhatian.
Rakyat Indonesia yang justru jauh dari negara “Beruang Putih” mempunyai ingatan sejarah yang panjang dengan Rusia (dulu Uni Sovyet).
Bandul politik yang digagas oleh Soekarno “Jakarta-Moskow” dan “Jakarta-Peking” kemudian menempatkan Indonesia kemudian dituduh “condong ke kiri”. Salah satu alasan Amerika kemudian “dituduh” mengkudeta Soekarno.
Indonesia kemudian memainkan politik dengan “ciamik”. Dengan dukungan persenjataan militer dan dukungan dari Rusia, keunggulan Indonesia kemudian “berhasil” menggertak Belanda. Sehingga Belanda kemudian “mundur teratur” dalam percaturan politik di Papua (dulu Irian). Indonesia berhasil kemudian menetapkan Irian kemudian menjadi bagian dari Indonesia.
Ditengah-tengah berkecamuk Perang Rusia-Ukrania, keanggotaan Rusia dalam forum G-20 mulai dipersoalkan.
Cara “kekanak-kanakkan” dan “mudah merajuk” bangsa Barat yang hendak menendang keanggotan Rusia dari forum G-20 mulai mengemuka.
Berbagai seruan dari anggota G-20 yang tergabung NATO mulai mengusik Rusia. Dan kemudian “Membujuk” Jokowi agar tidak mengundang Putin di pertemuan G-20, November 2022.
Peran Jokowi sebagai Presiden G 20 kemudian ditunggu. Bagaimana cara politik Jokowi memainkan peran sebagai Presiden G-20 terhadap “desakkan” agar tidak mengundang Putin.
Namun yang sering dilupakan, cara ciamik Jokowi memainkan bandul politik Sudah terbukti kehandalannya.
Menurut saya, persoalan Rusia-Ukrania dan sikap “kekanak-kanakkan” dan merajuk anggota G-20 yang tergabung NATO bukanlah menjadi beban yang berat bagi Jokowi untuk menghadapinya.
Sikap resmi Pemerintah Indonesia sudah jelas. Indonesia Tetap mengundang Seluruh anggota G-20.
Sebagai “tuan rumah” yang baik, posisi Jokowi sebagai Presiden G-20 tentu saja melambangkan sikap politik Indonesia dalam pandangan “politik bebas-aktif”. Salah satu tema dan mandat konstitusi.
Sebagai sikap “politik bebas-aktif” tentu saja ditandai dengan “Posisi” Jokowi yang tidak mau di intervensi dalam persoalan kedaulatan negara merdeka.
Pandangan Pemerintah Indonesia yang menempatkan forum G-20 adalah forum ekonomi. Bukan forum yang “mengadili” anggota yang terlibat dalam urusan politik.
Sebagai forum yang “prestise”, dengan modal sebagai negara yang diperhitungkan dalam kancah Asia-Pasifik”, posisi Indonesia tidak bisa diremehkan.
Cara “Ciamik” Jokowi ditandai dengan sikap anggun Jokowi memainkan politik bebas-aktif. Posisi sebagai Presiden G-20 tentu saja tidak akan diikuti “sikap boikot” dari anggota G-20 yang tergabung NATO.
Bak bidak Catur, Jokowi mempunyai strategis didalam menyelesaikan kekisruhan.
Menghadapi sikap anggota G-20 yang tergabung NATO yang kekanak-kanakkan dan mudah merajuk tentu saja dihadapi dengan Sikap “sabar” dan tidak “grasa-grusu”.
Cara ini pernah dihadapi Jokowi dengan Tenang ketika kisruh KPK-Polri atau ketika Jokowi jadi Walikota saat “memindahkan PKL Solo”.
Dengan perhitungan matang, hati-hati mengedepankan pendekatan dari hati ke hati maka setiap orang harus dihormati.
Tidak dapat dipungkiri, cara pandang alam kosmopolitan masyarakat Jawa terhadap kepemimpinan mengutamakan prinsip “kerukunan” dan sikap hormat kepada alam, pencipta, leluhur, guru, orang tua, agama, bangsa dan negara. Frans Magnis Suseno lebih suka menyebutkan “selaras dalam hidup bermasyarakat”.
Sikap “sabar” dan tidak “grasa-grusu” ditandai dengan Pemerintah Indonesia mengutuk sikap agresi Rusia di Ukrania namun disisi lain Tetap mengundang Rusia di forum G-20 tentu saja akan memberikan pandangan politik yang obyektif.
Rusia Tetap menempatkan Indonesia sebagai Sahabat yang Setia disaat negara barat yang mengutuknya.
Sebagai Pemimpin yang telah menerapkan Sikap “sabar”, tidak “grasa-grusu” dan Tetap
Menerapkan prinsip “kerukunan” maka diharapkan “Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangestuti.
Pandangan Jokowi tentang tentang “Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangestuti pernah disampaikan saat kisruh KPK-Polri.
Terlepas dari mandat konstitusi yang menempatkan Indonesia sebagai negara “bebas-aktif”, cara Jokowi menghadapi sikap kekanak-kanakkan dan mudah merajuk dari anggota G-20 yang tergabung NATO akan membuktikan “kenegarawan” besar Jokowi sebagai Pemimpin dunia.
Jokowi tentu saja menawarkan pemikiran konsep Politik Indonesia “bebas-aktif”. Sebagai padanan menghadapi bandul dunia yang sudah meninggalkan satu hegemoni.
Dan kita akan menyaksikan lakon yang ciamik dimainkan Jokowi.
Saya yakin, anggota G-20 yang tergabung NATO tidak akan mau meninggalkan momentum yang akan ciamik Jokowi mainkan di forum G-20.