Akhir-akhir ini konsentrasi publik memantau peristiwa pembunuhan anggota POLRI Memantik diskusi. Berbagai drama demi drama sempat membuat peristiwa ini sempat kelam.
Namun pelan tapi pasti, dipimpin langsung Kapolri, kemudian mengumumkan tersangka yang melibatkan “orang Penting” di Mabes Polri. Irjen (Pol) FS.
Sebagai pengumuman resmi Kapolri yang berlatar belakang reserse, publik kemudian lega. Dugaan keterlibatan “orang Penting” kemudian menjadi terjawab.
Pengumuman resmi dari Kapolri sekaligus menepis adanya “dekingan” kepada Pelaku. Justru dengan diumumkan langsung Kapolri, apresiasi terhadap institusi kemudian pulih. Publik kemudian percaya dengan pengungkapan kasus tersebut.
Didalam berbagai tayangan media massa, berbagai perdebatan kemudian muncul. Bagaimana terhadap proses hukum terhadap Bharada E, Bharada RR dan tersangka KM.
Ketiganya kemudian dituduh sebagai pelaku sebagaimana diatur didalam Pasal 338 KUHP junto Pasal 55 KUHP - Pasal 56 KUHP.
Sedangkan Irjen (Pol) FS Malah diterapkan pasal 340 KUHP junto Pasal 55 KUHP.
Didalam Pasal 55 ayat (1) KUHP diterangkan Dipidana sebagai pelaku tindak pidana (1)mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. (2) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Sedangkan pasal 55 ayat (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Sementara Pasal 56 KUHP, “Dipidana sebagai pembantu kejahatan (1) mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. (2) mereka yang mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Secara sekilas pasal yang diterapkan kepada para tersangka merupakan pasal-pasal yang lazim didalam ranah praktek peradilan di Indonesia.
Namun ketika adanya “pemikiran” Bharada E, Bharada RR atau tersangka KM adanya kemungkinan “lepas” dari proses hukum di Pengadilan maka memantik diskusi lebih jauh.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Kapolri, para tersangka kemudian dituduh melakukan perbuatan pembunuhan (Pasal 340 KUHP junto Pasal 338 KUH) yang kemudian disandingkan dengan pasal 55 KUHP junto Pasal 56 KUHP maka adalah ruang untuk membedah kasus ini lebih jauh.
Dari ilmu hukum pidana, penentuan pelaku (dader) merupakan salah salah optik untuk melihat kesalahan (schuld) dari dader. Kesalahan (schuld) yang dilakukan oleh pelaku (dader) maka terhadap pelaku (dader) dapat dimintakan pertanggungjawaban pelaku( teorekenbaardheid/criminal responsibility).
Didalam ilmu hukum pidana, Pasal 55 ayat (1) ke 1 dan pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP kemudian menetapkan empat golongan dader. Pasal ayat (1) ke 1 KUHP menyebutkan “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Sedangkan pasal 55 ayat (1) Ke 2 menyebutkan “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Orang yang melakukan sendiri tindak pidana biasa dikenal “pleger”. Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana disebut “doen pleger”. Orang yang turut melakukan tindak pidana disebut “mede pleger”. Sedangkan Orang yang dengan sengaja membujuk atau menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana “uit lokken”.
Meletakkan “pleger”, “doen pleger”, “mede pleger” atau “uit lokken” merupakan ranah teknis penyidikan yang dibuktikan didalam persidangan. Para pihak kemudian berkesempatan untuk menguji penempatan dader didalam perkara yang disidangkan.
Dari ranah penegakkan hukum, penentuan dader (penentuan peran/posisi) merupakan salah satu pembuktian yang memerlukan berbagai disiplin ilmu hukum lainnya. Pertanggungjawaban pelaku( teorekenbaardheid/criminal responsibility) dalam pendekatan tindak pidana korporasi kemudian tunduk dengan pertanggungjawaban sebagaimana diatur didalam UU Perusahaan terbatas. Begitu juga bagaimana melihat optik berbagai pertanggungjawaban lainnya seperti UU HAM (tindakan langsung dari Negara (act commission) atau pembiaran dari Negara (act of ommission).
Kesalahan menetapkan dader mengakibatkan “kesalahan orang (error en person). Kesalahan orang (error en person) sering juga disebutkan “keliru mengenai orang yang dimaksud atau kekeliruan mengenai orangnya”. Ada juga menyebutkan “disqualification in person”.
Kesalahan menetapkan dader mengakibatkan “kesalahan orang (error en person). Kesalahan orang (error en person) sering juga disebutkan “keliru mengenai orang yang dimaksud atau kekeliruan mengenai orangnya”. Ada juga menyebutkan “disqualification in person”.
Didalam teori penyertaan (deelneming), penempatan Pasal 55 KUHP junto dengan Pasal 56 KUHP kepada pelaku adalah strategi ciamik sekaligus jitu dari Penyidik Bareskrim Polri.
Ruang untuk adanya “perbuatan bersama-sama” yang kemudian ditandai dengan Pasal 55 KUHP junto Pasal 56 KUHP yang kemudian dikenal teori deelneming akan terus membuka ruang “keterlibatan” orang lain yang belum ditetapkan tersangka.
Lalu apakah dimungkinkan adanya “upaya lepas” dari proses hukum terhadap Bharada E.
Didalam Hukum Pidana,KUHP kemudian merumuskan alasan menghilangkan sifat tindak pidana (Straf-uitsluitings-gronden) atau “wederrchtelijkheid” atau “onrechtmatigheid” dan memaafkan si pelaku (“feit d’xcuse”). Biasa juga disebutkan sebagai alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Lihatlah didalam pasal pasal 44 (orang gila), pasal 45 KUHP anak dibawah umur agar dikembalikan kepada orang tuanya, Pasal 48 KUHP (keterpaksaan /overmacht), Pasal 49 ayat (1) KUHP (mempertahankan dirinya atau orang lain (noodweer) dan 50 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) KUHP (orang yang menjalankan perintah undang-undang/ perintah jabatan).
Lalu apakah dimungkinkan Bharada E yang kemudian sudah ditetapkan sebagai “Justice Collabolatur” dapat dimungkinkan “lepas demi hukum” sebagaimana disuarakan oleh Prof. Mahfud dan para Ahli hukum pidana lain ?
Lalu apakah sudah tepat adanya pemikiran dari Ahli hukum pidana yang kemudian menempatkan Bharada E memenuhi kategori Pasal 48 KUHP (keterpaksaan /overmacht) ?
Didalam berbagai yurisprudensi, Pasal 48 KUHP lebih sering dicontohkan peristiwa “kapal tenggelam”. Ada 3 orang yang kemudian terapung di Tengah laut. Namun hanya ada satu pelampung.
Maka orang yang kemudian mengambil pelampung kemudian menyebabkan dua rekannya kemudian meninggal karena tenggelam maka tidak dapat dipidana.
Melihat contoh yang dipaparkan oleh Yurisprudensi maka kategori Pasal 48 KUHP kemudian diterapkan kepada Bharada E menjadi tidak tepat.
Begitu juga adanya pemikiran “lepas demi hukum” kepada Bharada E yang “diperintah” oleh Irjen FS kemudian dapat diterapkan Pasal 50 ayat (1) KUHP (Perintah jabatan) ?
Lagi-lagi konstruksi pemikiran ini kurang tepat. Walaupun Irjen FS mempunyai wewenang untuk pimpinan yang dapat memerintahkan anggotanya (baca Bharada E Dkk) untuk menembak, namun perumpamaan itu kurang tepat.
Perintah Irjen FS walaupun karena jabatannya dapat memerintahkan untuk menembak, namun bukan berkaitan dengan tugasnya.
Irjen FS bukankah komandan dari regu Tembak untuk melaksanakan tugasnya.
Pasal 50 ayat (1) KUHP sering dipadankan dengan regu Tembak dalam eksekusi hukuman mati. Para penembak jitu yang ditugaskan untuk melaksanakan eksekusi “walaupun menembak kemudian mengakibatkan kematian” tidak dapat diproses hukum.
Irjen FS bukankah komandan dari regu Tembak untuk melaksanakan tugasnya. Sehingga walaupun Irjen FS adalah komandan dari Bharada E dkk namun tugas “menembak” bukanlah bagian dari perintah jabatan sebagaimana yang dimaksudkan dengan pasal 50 ayat (1) KUHP.
Dengan demikian maka seluruh alasan hukum “alasan menghilangkan sifat tindak pidana (Straf-uitsluitings-gronden) atau “wederrchtelijkheid” atau “onrechtmatigheid” dan memaafkan si pelaku (“feit d’xcuse”) sebagaimana diatur didalam Pasal 48 KUHP (keterpaksaan /overmacht), dan Pasal 50 ayat (1) KUHP.
Yang dapat dilakukan adalah terhadap Bharada E yang kemudian sudah ditetapkan sebagai “justice collabolator” adalah dapat memberikan pertimbangan kepada JPU agar dapat memberikan hukuman yang layak.
Dan kita tentu saja berterima kasih kepada Bharada E yang mampu membuka kotak tambora. Sekaligus memberikan apresiasi kepada Kabareskrim yang dapat menjalankan tugasnya untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Karena kasus pembunuhan yang telah terjadi adalah kasus yang Sederhana. Sebagaimana sering dipaparkan Teori Locard Exchange adalah teori yang menerangkan “setiap kontak yang terjadi akan meninggalkan jejak”. Teori ini kemudian dikenal dan menjadi adagium “Setiap kejahatan meninggalkan jejak.
Selain itu seperti “adagium” Tidak ada kejahatan yang sempurna” adalah amunisi yang memberikan keyakinan kepada kepolisian untuk membongkar kejahatan pembunuhan.
Atau Teori klasik Canter & Donna. Pelaku adalah “orang yang paling dikenal sang korban”.
Teori Locard Exchange (setiap kontak yang terjadi akan meninggalkan jejak) atau Teori klasik Canter & Donna (Pelaku adalah “orang yang paling dikenal sang korban”) justru mampu membongkar setiap kejahatan pembunuhan yang paling rumit sekalipun.
Seperti pembunuhan terhadap Hakim PN Medan yang kemudian direkayasa “mobil jatuh di jurang”. Atau kasus pembunuhan di Mendahara Ilir yang dikemas dengan “kebakaran”.
Atau Kemampuan membongkar kasus pembunuhan merupakan prestasi kepolisian yang diperhitungkan. Kasus “Sianida”, Pembunuhan Engeline dulu sempat dituduhkan kepada ayah korban ternyata terbukti ibu angkat korban. Kasus “mutilasi” dan kasus bom Bali 2002.
Saya percaya kinerja Kepolisian didalam mengungkapkan kasus pembunuhan. Teori-teori klasik kriminologi semakin kokoh dalam setiap kasus pembunuhan.
Advokat. Tinggal di Jambi