Menyebut nenek moyang dengan istilah “puyang”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak tertulis kata puyang, tapi Poyang. Poyang dalam arti kata benda adalah leluhur, nenek moyang atau datuk Poyang. Dalam Kesusateraan Melayu Klasik, Poyang berarti dukun atau pawing. Jadi kata Poyang ini berubah menjadi puyang karena dialek dan logat.
Ia berasal dari sebuah kepercayaan pada Dewa-dewa yang diyakini menguasai alam raya, yakni Dewa Langit dan dewa Bumi. Maka dapatlah kita fahami kenapa cerita rakyat tentang puyang-puyang seringkali dibumbui dengan keheroikan, keghaiban, kesaktian, orang yang suci, mempunyai kekuatan tertentu melebihi yang lain, menguasai sesuatu benda, atau bahkan menjelma dalam bentuk benda mati dan benda hidup lainnya. (Lihat .D. EL Marzdedeq. Parasit Aqidah: Perkembangan agama-agama kultur dan pengaruhnya terhadap Islam di Indonesia
Sehingga untuk menggantikan nenek moyang masyarakat lebih suka menyebutkan sebagai kata “puyang”.
Kedatanganpun Puyang beragam. Ada yang menyebutkan dari Pagaruyung, Jawa Mataram, Jawa Majapahit, Arab atau Turki, Indrapura dan Kerinci. Seloko seperti “Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung atau Tegak Tajur, Ilir ke Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau membuktikan hubungan kekerabatan yang kuat antara masyarakat di hulu Sungai Batanghari dengan Pagaruyung.
Di Marga Jujuhan mengaku Sejarah “Puyang” berasal dari tutur yang dikenal “Raja gagak hitam. Raja Gagak kemudian mempunyai keturunan yang dikenal Tapak Malenggang, Tapak Tembaga dan Tapak Kudung. Tempat ini dikenal sebagai Putra Angek Garang sebagai Raja Pagaruyung”.
Begitu juga Marga didalam Luak XVI (Marga Serampas, Marga Sungai Tenang, Marga Peratin Tuo, Marga Tiang Pumpung, Marga Renah pembarap dan Marga Senggrahan) yang mengaku sebagai ”kerinci rendah”. Perumpamaan kata Kerinci Rendah menunjukkan ”hubungan kekerabatan dengan Kerinci” namun berada di dataran di bawah wilayah Kerinci.
Sedangkan Marga Tiang pumpung, Marga Renah Pembarap dan Marga Senggrahan mengaku ”serampas rendah”. Menunjukkan hubungan kekerabatan dengan Marga Serampas dan mendiami di daerah Tiang Pumpung, Renah Pembarap dan Senggrahan. Makna ini kemudian ditandai dengan Seloko ”tanah pembarap”. Masyarakat yang tinggal di serampas namun kemudian mendiami di wilayah dibawahnya berdasarkan anjuran ”Raja Tanah Pilih”. Tanah Pilih adalah ”kerajaan di Jambi” sebelum menunjukkan kerajaan Jambi.
Menurut penuturan masyarakat di Mandiangin, Dusun Rangkiling juga mengaku keturunan dari Serampas.
Di Marga Sumay mereka menyebutkan “Datuk Perpatih Penyiang Rantau”. Sedangkan di Semambu mereka menyebutkan “Datuk Perpatih Tumenggung Penyiang Rantau”. Di Suo-suo mereka mengenal “Pangeran Singo”
Di Marga Batin Pengambang menyebutkan “nenek semula Jadi”. Nama ini hidup di berbagai desa didalam Marga Batin Pengambang.
Sedangkan di Marga Sungai Tenang ada yang menyebutkan sebagai keturunan “Sutan Geremung”. Nama ini juga hidup di Renah Pelaan yang mengaku sebagai keturunan dari adik Sutan Geremung yaitu Siti Berek.. Di Koto 10, mereka menyebutkan “Tumenggung Mulo Jadi. Sedangkan di Tanjung Alam mereka mengaku keturunan “raja Tiangso”. Rajo Tiangso dan Depati Pamuncak dianggap sebagai “pemangku” dari keturunan di Pungguk 9. Sedangkan di Tanjung Benuang mereka mengaku keturunan dari “Nenek Malano Kuning”. Sedangkan Di Dusun Kotobaru berasal dari “Depati Suka Derajo”
Advokat. Tinggal di Jambi