Terlepas dari dinamika yang melatarbelakangi sikap Menteri KLHK, Siti Nurbaya Bakar (SN) yang melarang peneliti asing Eric Meijaard dkk masuk ke dalam kawasan konservasi di Indonesia menuai polemik.
Entah darimana “asal usul” atau “Asbabun Nuzul”, “koor” kemudian berkumandang. Mereka yang menolak terhadap sikap Menteri SN menyebutkan sikap Menteri SN “anti saint”. Dan kemudian mereka yang mendukung malah dituduh “pendukung anti saint”.
Sikap berkebalikan yang mendukung peneliti asing yang mengagungkan “pejuang saintis” dan menjunjung tinggi kebebasan akademik. Lengkap dengan dalil “hasil penelitian” harus dilawan dengan “penelitian”. Persis membacakan kitab suci yang mengagungkan ilmu pengetahuan.
Jauhkan sementara tentang polemik riset orang utan yang dilakukan oleh peneliti asing Eric Meijaard.
Untuk sementara abaikan ketentuan yang mengatur tentang penelitian yang tidak melibatkan peneliti dalam negeri sebagaimana diatur didalam UU No. 11 Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas).
Polemik yang terjadi biarlah itu menjadi kajian akademik kampus yang ribet. Dan “sekali lagi” mengagungkan ilmu pengetahuan.
Dari ranah terpisah, alangkah banyak sekali contoh-contoh yang justru membuat dan membikin justru kaidah akademik dipertanyakan.
Tapi marilah kita lihat sekeliling kita.
Berbagai kampus terkenal di Indonesiapun yang sering berikrar “kampus Rakyat”, “pusat studi ekomomi Rakyat” ataupun entah apa namanya yang mengikrakan “dekat dengan Rakyat” sering kali “mengagungkan ilmu pengetahuan” justru membuat ilmu pengetahuan menjadi “menari gading”.
Mereka Belajar tentang ilmu pengetahuan dari masyarakat. Dari Rakyat yang terbukti handal didalam mengelola lingkungan.
Menyiapkan point demi point. Mempelajari setiap detail. Menyiapkan berbagai pertanyaan. Namun justru menemukan kesemuanya dari Rakyat itu sendiri.
Mereka Belajar dari Rakyat. Sekali lagi dari rakyat.
Kelebihan mereka adalah “menjawab persoalan” menggunakan teori-teori rumit agar “terkesan” Intelektual dan akademik.
Padahal dengan jawaban sederhana dari rakyat itu sendiri, berbagai pertanyaan berkaitan dengan lingkungan justru enteng dijawab.
Tapi mereka pongah. Mereka “terkungkung” dengan teori yang Njlimet dan kemudian “diakui” adalah ilmu pengetahuan mereka sendiri.
Tiba-tiba saya tersentak. Bagaimana mungkin, sumber ilmu pengetahuan dari Rakyat itu sendiri namun justru “diakui” sebagai sumber ilmu pengetahuan mereka sendiri.
Dari pendekatan etika, apakah pantas, ketika mereka menemukan sumber ilmu pengetahuan dari Rakyat itu sendiri namun “menjadikan” sebagai ilmu pengetahuan dan milik mereka sendiri.
Lalu dimana nurani mereka ? Apakah pantas mereka mengagungkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari Rakyat namun mengabaikan sang pemilik ilmu pengetahuan ?
Dan yang justru mengerikan tidak saja mengakui sumber ilmu pengetahuan dari Rakyat, namun justru menjadikan ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai “copy right”. Hak Intelektual milik sang Peneliti itu sendiri.
Bahkan tidak tanggung-tanggung. Tanpa malu-malu kemudian mengemas menjadi “produk bisnis” yang kemudian dijual kembali ke Rakyat.
Semisal “pengolahan tertentu”. Dengan alasan “klise” menggunakan laboratorium kampus, mengemas menjadi produk jadi. Dan kembali “menjual” kembali ke Rakyat. Sang pemilik ilmu pengetahuan itu sendiri.
Bukan mengajarkan teknik pengolahan yang “berdaya guna” yang justru diajarkan “gratis” kepada Rakyat.
Atau Rakyat itu sendiri menyiapkan bahan baku. Kemudian “mereka mengolah”. Tanpa malu-malu mereka kemudian menjual kemasan. Dihitung sebagai “Asset ekonomi”. Termasuk ongkos kirim. Dan menjual dengan Rakyat.
Entahlah. Sudah banyak cerita tentang itu.
Dan momentum sikap Menteri KLHK, Siti Nurbaya Bakar (SN) yang melarang peneliti asing (Baca termasuk juga Peneliti Indonesia) adalah “muara” dari kegelisahan saya. Kalaupun tidak mau disebutkan sebagai kegelisahan publik. Kegelisahan yang Sudah lama saya rasakan.
Sembari menyaksikan “polemik” sikap Menteri SN, Marilah kita jadikan ilmu pengetahuan yang berangkat dari masyarakat nusantara sebagai pemilik ilmu pengetahuan.
Dan terus “berteriak” kepada mereka yang kemudian menjadikan ilmu pengetahuan dan pemilik pengetahuan dari Rakyat sebagai pengetahuan yang menjadikan mereka sebagai “menara gading”.
Dan mengembalikan kepada sang penutur sejati. Rakyat sebagai pemilik pengetahuan itu sendiri.
Advokat. Tinggal di Jambi