20 Februari 2023

opini musri nauli : Simbol Kejujuran

 


Setelah vonis Hakim menjatuhkan 1,6 tahun kepada Richad Eliezer (Eliezer) dan kemudian Jaksa Penuntut Umum melalui Jampidum mengumumkan tidak melakukan banding terhadap putusan hakim maka dipastikan putusannya kemudian menjadi pasti/tetap (inkrach). 


Tentu saja banyak sekali catatan menarik untuk dipelajari. Misalnya argumentasi dan dalil yang menyebutkan perbuatan Eliezer dikategorikan sebagai “daya paksa” (overmacht) atau “noodweer” atau bisa juga dikategorikan sebagai “perbuatan perintah jabatan” kemudian gugur. 

Pertimbangan hakim yang cukup detail menjelaskan argumentasi tidak bisa diterapkan daya paksa” (overmacht) atau  “noodweer” dan “perintah jabatan” selain memastikan menolak juga memberikan pelajaran penting didalam kaidah hukum pidana. Terutama dihubungkan dengan pasal 48 KUHP, Pasal 49 KUHP dan pasal 51 ayat (1) KUHP. 


Jauh-jauh hari Sudah penulis perkirakan akan ditolak. 


Namun terhadap putusan Eliezer yang juga merupakan “peristiwa baru” apabila tidak dikatakan langkah berani didalam langkah penegakkan hukum kedepan. 


Catatan ini terlalu sayang untuk dilewatkan.  


Diterimanya posisi Eliezer sebagai “saksi/pelaku yang bekerjasama” (justice collaborator) didalam ranah hukum acara Pidana memberikan angin segar ditengah ketidakpercayaan publik. 


Menurut catatan penulis, baru kali ini, posisi JC diterima dan menjadi ranah yang menarik perhatian publik. 


Kalaupun sebelumnya ada posisi JC yang diterima di muka hukum, dengan alasan tidak menjadi perhatian publik, maka belum menjadi catatan penting didalam penegakkan hukum. 


Semangat untuk membongkar kejahatan dengan “melindungi” saksi korban sekaligus memberikan “ruang” kepada pelaku yang bekerjasama sudah menjadi perhatian aparat penegak hukum. 


UU Perlindungan Saksi dan berbagai Surat Keputusan bersama Penegak Hukum juga memberikan kesempatan kepada JC berperan aktif didalam membongkar kasus-kasus kejahatan yang rumit. 


Baik disebabkan kesulitan mendapatkan bukti, kejahatan canggih hingga kejahatan yang melibatkan posisi orang penting. 


Penepatan JC oleh LPSK kepada Eliezer memberikan harapan baru. Optimis baru ditengah “semrawutnya” kasus yang semula ditangkap publik cuma peristiwa biasa. “Tembak menembak” antara anggota Polri. 


Sempat ada keraguan terhadap “peristiwa sesungguhnya”. Apa gerangan yang terjadi. 


Meminjam slogan “tiada kejahatan yang sempurna”, berbagai misteri mulai tercium. 


Entah larangan “membuka peti mati”, begitu banyak perwira tinggi yang mengantarkan almarhum, sepi publikasi hingga berbagai misteri yang sempat menarik perhatian publik. 


Belum lagi “posisi” almarhum jago Tembak, almarhum bukan kidal, hingga berbagai misteri yang “seakan-akan” tertutupi di lembaga internal. 


Kecurigaan Publik semakin menguat. Ketika Konferensi Pers yang ditangkap janggal oleh publik. 


Belum lagi berbagai lembaga negara seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan bahkan “sempat’ Kompolnas yang “mengamini” peristiwa “tembak menembak”. 


Hanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang mampu secara “Jernih’ melihat kasus ini dari sudut pandang lain. 


Namun diibaratkan menabrak tembok, berbagai kejanggalan mampu ditutupi internal di Kepolisian. “Sepi” dan praktis tidak mampu diungkapkan. 


Hampir sebulan kemudian, baik karena “kejelian” dari Penyidik Mabes Polri maupun berbagai teknik investigas yang mumpuni, pelan-pelan skenario “tembak menembak” mampu diungkapkan. 


Kompolnas yang sempat “ikut tarik menarik” peristiwa “Tembak menembak”, kemudian dipimpin oleh Ketua Kompolnas yang juga Menko Polhukam menguak dari pendekatan lain. 


Belum lagi desakkan publik yang memberikan perhatian penuh sehingga perkara sedikit demi sedikit dibongkar. 


Akhirnya kasus mulai terbongkar. Tidak tanggung-tanggung. Jenderal aktif bintang dua, istri sang Jenderal, satu Ajudan dan satu Supir kemudian ditetapkan tersangka. 


Kemampuan Penyidik Mabes Polri membongkar kasus yang sempat “meredup” tidak boleh dilupakan dan diacungkan jempol. 


Namun “keberanian” dari Eliezer yang bersedia jujur mengungkapkan kasus ini, berhadapan dengan sang atasan langsung yang pangkatnya 18 kali diatasnya harus diletakkan “keberanian” luar biasa. 


Hanya manusia pilihan yang mampu mengembannya. 


Disisi lain, “menyelamatkan” Eliezer dengan meletakkan sebagai JC dalam perlindungan LPSK membuat kasus ini pelan demi pelan akhirnya terbongkar. 


Tidak tanggung-tanggung. Jenderal bintang dua, istri sang Jenderal, satu Ajudan dan satu Supir kemudian ditetapkan tersangka. 


Tidak salah kemudian disebabkan  “keberanian” dan kejujuran dari Eliezer mampu kasus ini dibongkar. 


Sikap LPSK yang berbeda dengan Komnas HAM, Kompas Perempuan sekaligus menempatkan Eliezer sebagai JC membuat kasus ini kemudian “aman” memberikan perlindungan fisik dari LPSK. 


Sekali lagi, keberanian dan kejujuran dari Eliezer yang mampu “melawan atasan’, pandangan Komnas HAM dan Komnas Perempuan semata-mata disandarkan kepada “kejujuran”. 


Keberanian untuk menyampaikan “kejujuran” tidak salah kemudian menempatkan Eliezer sebagai simbol baru kejujuran. 


Sebuah nilai yang kering di negeri.