07 Maret 2023

opini musri nauli : Asas Res Judicata Pro Veritate Habetur


Didalam Literatur sering disebutkan asas Res Judicata Pro Veritate Habetur. 


Prinsip hukum res judicata pro veritate habetur dengan arti “putusan hakim harus dianggap benar”. 


Sebagai seorang hakim yang bertugas memutuskan perkara maka Hakim adalah profesi yang independen dalam bernalar. 


Independensi ini harus tetap dijamin. Walaupun hakim kemudian tergabung didalam Majelis Hakim. 

Terhadap pandangan yang berbeda dengan pandangan hakim sekaligus kemudian diputuskan berbeda dengan pandangannya, namun hakim tetap harus mengutarakan pandangannya. 


Sikap tegas dan mempertahankan pandangannya sekaligus berbeda dengan putusan yang hendak diambil, maka haruslah tetap dipertahankan. 


Mekanisme ini dikenal dissenting opinion (contrariety of opinion) dan  concurring opinion. 


Dissenting opinion (contrariety of opinion) adalah pandangan berbeda dengan putusan. Sedangkan Concurring opinion pandangan hakim walaupun memiliki keputusan yang sama namun memiliki  alasan atataupun  pertimbangannya. 


Dalam praktek di dunia hukum dissenting opinion (contrariety of opinion) dan  concurring opinion tetap dimasukkan ddalam putusan. Sehingga dapat dibaca oleh para pencari Keadilan. 


Baik dissenting opinion (contrariety of opinion) dan  concurring opinion adalah gambaran “pertarungan pemikiran” para hakim sebelum memutuskan perkara. 


Dengan demikian selain memperkaya pertimbangan hakim (ratio retenti) sebelum menjatuhkan putusan sekaligus memberikan pelajaran kepada masyarakat luas. 


Lalu dimana salahnya penerapan asas ini ? 


Mengapa bangsa Indonesia kemudian begitu keras bereaksi ? 


Apa yang menyebabkan kepanikan luar biasa yang kemudian “mengemas” hakim kemudian keliru, sesat bahkan kemudian “menuduh” memasuki kamar yurisdiksi yang bukan kewenangannya, Lampaui Kompetensi dengna mengutip berbagai dasar hukum seperti Pasal-pasal didalam UU Pemilu yang mengatur tentang kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 


Sebagian juga menyatakan Cacat hukum yang fatal menyebabkan sebuah putusan tidak dapat dilaksanakan (non-executable)


Tentu saja kemudian “menggiring” untuk Melapor ke Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Agung dan kemudian bertebaran “meme” yang kemudian menguliti berbagai kehidupan Majelis Hakim. Termasuk menyoroti harta kekayaan di LHKPN. 


Sebagai sebuah putusan Pengadilan, maka putusan hakim haruslah dianggap benar (asas Res Judicata Pro Veritate Habetur). 


Dan penghormatan terhadap putusan - walaupun kemudian mengagetkan - harus diberi apresiasi dan diletakkan sebagai putusan. 


Terlepas saya tidak setuju terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili perkara Partai Prima, namun saya memberikan apresiasi yang setinggi-tinggi setelah mengabulkan gugatan Partai Prima. 


Tentu saja berbagai argumentasi terhadap penolakan gugatan Partai Prima telah  disampaikan oleh para pihak dimuka persidangan. Dan tentu saja hakim telah mempertimbangkan didalam putusannya. 


Tanpa harus memasuki wilayah substansi, ketika para ahli kemudian juga tidak setuju namun sama sekali "kering" untuk menangkisnya. 


Kalaupun ahli hukum berpendapat (yang kemudian dikenal sebagai doktrin) namun tingkat derajat kebenaran hukumnya jauh dibawah dari Putusan Hakim (vonis). 


Namun disisi lain, Rasa salut juga saya sampaikan kepada para advokat yang mampu memperjuangkan kepentingan hukum "hak politik" partai politik. 


Dan rasa hormat juga saya sampaikan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang "jernih" telah memutuskan perkara. tanpa memikirkan harus "tidak populer" ditengah masyarakat. 


Bukankah adagium "biarpun langit runtuh, keadilan harus ditegakkan". 


Lagipula langit belum runtuh. Masih ada upaya hukum lagi. 


Sudah saatnya maka gunakan seluruh potensinya untuk mempersiapkan materi didalam "materi banding" di tingkat banding. Jangan cuma cuap-cuap di media massa. Tapi kering substansi.


Terlepas putusan (vonis) belum inkracht (belum mempunyai kekuatan hukum mengikat) dan Masih ada upaya hukum, namun ada pesan khusus dari peristiwa ini. 


Siapapun "sama dimata hukum (equality before the law)“. 


Termasuk Presiden sekalipun. Apalagi cuma KPU. 


Demikianlah dogma yang menjadi intisari dari negara Indonesia yang memilih "negara hukum” (rechtstaat).