Di Indonesia, Pengadilan HAM pernah memeriksa dan mengadili perkara Tiga kasus lain yang sudah selesai yakni kasus Timor Timur tahun 1999, kasus Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Abepura 20005 dari 15 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat berada di bawah penanganan Kejaksaan Agung.
12 Perkara yang belum diselesaikan, 8 kasus terjadi sebelum adanya UU HAM. Kedelapan kasus tersebut adalah Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, Oeristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.
Sedangkan empat kasus lainnya yang terjadi setelah terbitnya UU Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.
Didalam Pasal11 dan Pasal12 UU Pengadilan AdHock HAM, memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung Sebagai penyidik.
Baik didalam proses penangkapan dan penahanan. Jaksa Agung juga bertindak sebagai penuntut umum. Walaupun UU Pengadilan Ad Hock HAM memberikan wewenang kepada Jaksa Agung sebagai penyidik6
UU Kejaksaan kemudian menempatkan Kejaksaan untuk berwenang untuk melakukan penyidikan.
Makna ini kemudian dipertegas didalam UU No. 11 8 Tahun 2021.
Penerapan asas ini kemudian dikenal asas Lex Specialis derogate Lex Generalis terhadap hukum acara yang menempatkan Polisi sebagai 9 Penyidik sebagaimana diatur didalam KUHAP .