07 Juli 2023

opini musri nauli : Izin dan Sertifikasi

 


Akhir-akhir ini tema tentang Al-Zaytun yang bergabung Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) (selanjutnya disebutkan sebagai Al Zaytun) memang menarik dan memantik polemik. 


Terlepas dari persoalan yang menghebohkan tentang persoalan berkaitan dengan ritual ibadah yang memantik polemik yang menjadi Kajian dari ilmu fiqh Islam, ada persoalan yang justru luput dan bahkan menjadi pembelajaran kedepan. 


Tentu saja membicarakan Fiqh Islam seperti tentang Mazhab yang sudah dikenal didalam literatur Islam seperti empat Mazhab yang sudah lama dikenal didunia Islam (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali). Keempatnya merupakan peletak dasar. 


Baik ditinjau dari pendekatan simantik (mantik), asbabul Nuzul (sejarah) maupun penafsiran (tafsir). Keempatnya sudah diakui oleh berbagai ulama (jumhur ulama). 


Kekuatan dan kelebihan para Imam dapat dilihat didalam karya-karyanya (kitab) yang telah dihasilkan. 


Menurut data berbagai sumber disebutkan, Imam Imam Hanafi dapat dilihat didalam karya-karya besar seperti Al-Jami' Ash-Shaghir (dituliskan muridnya Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani), kitab Al-Mausuah Al-fiqhiyah Al-Muqaranah : At-Tajrid (karya Al- Imam Al-Quduri), Kitab Al-Mabsuth (Dituliskan As-Sarakhsi). Tidak salah kemudian Imam Hanafi ditempatkan sebagai imam dan peletak dasar Mazhab yang dihormati. Mazhab yang Masih hidup di dunia. 

Imam Maliki adalah Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadis, serta pendiri Mazhab Maliki. Ia menyusun kitab Al Muwaththa’. Didalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun. Kitab Al Muwaththa adalah salah satu kitab  terkenal yang masih menjadi Rujukan membaca kitab-kitab klasik. Dan menjadi kurikulum wajib diajarkan di pesantren-pesantren. 


Sedangkan Imam Syafi'i telah mengarang kitab sebanyak 113 kitab. Salah satu ulama paling produktif disebabkan metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian. Mazhab Syafi’i adalah mazhab yang populer. 


Bandingkan  Imam Hambali yang telah menghasilkan berbagai kitab. Seperti Kitab Al Musnad (karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari 27 ribu hadits), Kitab al-‘Ilal,, Kitab al-Manasik, Kitab az-Zuhd. 


Tentu saja membandingkan karya-karya yang telah dihasilkan dapat disejajarkan dengan para Imam telah berguru. Sekedar contoh, Imam Hambali berguru, jumlahnya lebih dari 228 guru, 

Imam Hanafi 4000 orang guru dan Imam Maliki yang berguru ke 900 ulama (300 dari kalangan tabi'in sedangkan 600 lagi dari kalangan tabi' tabi'in)


Atau Imam Syafi’i berguru di Mekkah (Muslim bin Khalid Az zandji, Ismail bin Qusthantain, Sofyan bin ‘Ujainaj, Sa'ad bin Abi Salim Al Qaddah, Daud bin Abdurrahman Al ‘Athar, Abdul  Hamid bin Abdul Aziz), Madinah (Imam Malik bin Anas/Pendiri Madzhab Maliki, Ibrahim Ibnu Sa'ad Al Anshori, Abdul Aziz bin Muhammad Ad Darurdi, Ibrahim Ibnu Abi Yahya Al Asaami, Muhammad bin Said, Abdullah bin Nafi), Yaman (Mathraf bin mazin, Hisyam bin abu yusuf qadli shan’a, Umar bin abi salamah/pendiri madzhab auza’i, Yahya bin Hasan/pendiri madzhab leits), Irak (Waqi' bin Djarrah, Humad bin usamah, Ismail bin uljah, Abdul wahab bin abdul majid, Muhammad bin hasan, Qadhi bin yusuf). 


Dengan melihat kitab yang dihasilkan dan bergurunya para imam Pendiri 4 mazhab meletakkan Mereka sebagai ulama yang tetap menjadi Rujukan hingga kini. 


Kitab-kitab klasiknya hingga kini belum mampu ditandingi para ulama sekarang. Baik dengan banyak guru mereka tempat belajar hingga kitab yang dihasilkan. 

Tidak heran kemudian Mazhab Hanafi ddi Pakistan, India, China, Turki dan sekitarnya. Mazhab Maliki Afrika Utara (Libia, Tunisia, Aljazair, Maroko, Spanyol). Mazhab Syafi'i mayoritas dipakai umat Islam di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand.  Dan Madzab Hambali digunakan umat Islam di Saudi Arabia dan menjadi mazhab resminya.


Lalu, bagaimana cara memandang persoalan berkaitan dengan fiqh dan Tafsir yang kemudian dilakukan oleh Al-Zaytun yang sering diperagakan Pimpinan Al-Zaytun ?. 


Entah dengan tema “Perempuan bisa menjadi Imam Sholat”, tafsir “berlapang-lapang” untuk menafsirkan dan kemudian diterapkan didalam Sholat atau kemudian mengaku “mazhab Soekarno” yang kemudian menjadi polemik. 


Apakah Pimpinan Al-Zaytun Sudah membaca berbagai kitab empat mazhab ?  Apakah kapasitas Pimpinan Al-Zaytun sudah mumpuni untuk mengeluarkan fatwa ? 


Bukankah Zakariya bin Yahya pernah bertanya, “Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang hingga bisa menjadi mufti?  Apakah cukup seratus ribu hadits? Dia menjawab, “Tidak cukup”. Hingga akhirnya ia berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits?” dia menjawab. “Saya harap demikian”.


Tentu saja menjadi tidak equal membandingkan antara 4 mazhab dengan upaya yang dilakukan oleh Pimpinan Al-Zaytun berkaitan dengan fiqh dan Tafsir (“Perempuan bisa menjadi Imam Sholat”, tafsir “berlapang-lapang” untuk menafsirkan dan kemudian diterapkan didalam Sholat, mazhab Soekarno”)


Atau apakah Pimpinan Al-Zaytun cukup mumpuni untuk membicarakan “Perempuan bisa menjadi Imam Sholat”, tafsir “berlapang-lapang” untuk menafsirkan dan kemudian diterapkan didalam Sholat, mazhab Soekarno”. 

 

Namun didalam melihat persoalan dan polemik yang terjadi tentu saja tidak terlepas dari proses perizinan dan Sertifikasi yang dihasilkan. 


Sebagai lembaga yang mengusung tema agama, tentu saja perizinan diperlukan sebagai “filter” agar para murid (santri) tidak sia-sia sekolah disana. Sekaligus menjadi “filter” agar pemahaman yang sudah kuat diakar literatur (baik metodolog, ketelitian maupun akar dari persoalan agama) tidak kemudian terjebak ditangan orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kapasitas sebagai lembaga pendidikan dan mengusung tema Agama. 


Disinilah peran negara memberikan izin pendidikan terhadap penyelenggara pendidikan pesantren. 


Didalam UU No. 18 Tahun  2019 Tentang Pesantren dan Peraturan Menteri Agama No. 31 Tahun 2020 telah diatur tentang Kurikulum dan memiliki kompetensi ilmu agama Islam.

Kompetensi ilmu agama tentu saja mempunyai latar belakang pendidikan, kemampuan penguasaan ilmu agama dan sertifikat pendidikan. 


Nah, melihat adanya peran negara didalam memberikan izin kepada Pesantren apabila disandingkan dengan kurikulum maka Pemerintah dapat “mencabut” izin terhadap pesantren yang tidak sesuai dengan kurikulum yang diajarkan di Pesantren. 


Mekanisme yang sedang dilakukan menarik untuk kita tunggu. Apabila ternyata kurikulum yang diajarkan sama sekali tidak sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan, maka Pemerintah harus tegas untuk mencabut terhadap Pesantren yang “petantang-petenteng” mengajarkan ajaran yang jauh dari kaidah-kaidah yang telah menjadi maqom diajarkan di Pesantren. 


Begitu juga apabila para guru ataupun Pengajar yang mengajarkan materi yang jauh dari kompetensi ilmu agama yang Sudah baku di kalangan pendidikan Islam, sudah mestinya sertifikasi harus dicabut. 


Termasuk Pemerintah juga harus tegas menyatakan sang pengajar/guru sama sekali tidak mempunyai kompetensi. Sehingga masyarakat tidak “tersesat” didalam ajaran yang diajarkan oleh guru/pengajar yang tidak mempunyai kompetensi. 


Sebenarnya di berbagai kesempatan saya telah menawarkan pemikiran. Agar pendirian pesantren harus tunduk kepada UU No. 18 Tahun  2019 Tentang Pesantren dan Peraturan Menteri Agama No. 31 Tahun 2020. 


Dengan demikian mekanisme “izin” dan “Sertifikasi” harus diseleksi ketat. Sehingga tidak merugikan para santri atau orang tua yang seringkali malah terjebak dengan simbol-simbol ataupun “kedok’ yang justru sama sekali jauh dari kompetensi materi dasar-dasar keislaman. 


Mekanisme “izin” dan “sertifikasi" sama sekali tidak berkaitan dengan hak untuk menyelenggarakan “lembaga penyelenggara pendidikan pesantren”. 


Tentu saja hak untuk mendirikan “lembaga penyelenggara pendidikan pesantren” tidak tertutup dengan UU No. 18 Tahun  2019 Tentang Pesantren dan Peraturan Menteri Agama No. 31 Tahun 2020. 


Namun pemberian izin dan Sertifikasi harus diberikan setelah memenuhi persyaratan berdasarkan 

UU No. 18 Tahun  2019 Tentang Pesantren dan Peraturan Menteri Agama No. 31 Tahun 2020. 


Dengan momentum inilah, Sudah saatnya Pemerintah harus tegas sekaligus menjadi filter untuk menyelesaikan persoalan ini dengan tuntas. Sekaligus menjadi evaluasi terhadap keberadaan pesantren yang berjumlah 30 ribu (Kemenag, 2021). 


Terutama Pesantren yang kasat mata menyebarkan kurikulum dan diajarkan oleh guru yang tidak mempunyai kapasitas dan Sertifikasi sebagai Pengajar. 


Advokat. Tinggal di Jambi