16 Agustus 2023

opini musri nauli : Tafsir “Bajingan dan Tolol”

 


Menelisik tema hangat suasana politik akhir-akhir ini, ujaran dan kata “bajingan” dan “tolol” memantik polemik. 


Sebagian kemudian menganggap kata-kata ini lebih tepat dikategorikan sebagai “penghinaan”. Namun sebagian lagi kemudian menempatkan sebagai “kritikan”. Sebagai “bentuk akhiran” dari kritikan tajam terhadap Pemerintahan. 


Secara harfiah, menurut kamus besar Bahasa Indonesia, arti kata “bajingan” adalah penjahat atau pencopet. Bajingan dapat diartikan kata-kata kurang ajar yang berisikan makian. 

Sedangkan kata tolol adalah sangat bodoh atau bebal. 


Secara kasatmata dan tidak memerlukan penafsiran, memadukan kata “bajingan” dan “tolol” dengan kritikan sama sekali tidak tepat. Kata-kata berisikan makian, umpatan tentu saja tidak relevan apalagi dikaitkan dengan kinerja Pemerintahan. 


Sebagai bentuk kritikan, tentu saja berbagai penilaian terhadap jalannya pemerintahan adalah bagian dari negara demokrasi. 


Menggunakan kata-kata seperti “tidak becus” ataupun “tidak memihak rakyat” adalah bentuk dan akumulasi dari kritik. 


Namun ketika penggunaan kata dan  kemudian harus “berujung” makian yang sama sekali tidak menjadi bagian dari kritikan adalah bentuk “lompatan” (jumping conclusion) yang sama sekali susah dipadankan. 


Sehingga tidak relevan menempatkan kata-kata “bajingan” dan “tolol” adalah kritikan terhadap kinerja Pemerintah (menggunakan definisi menurut kata resmi). 


Disisi lain, umpatan, makian ataupun disebutkan penghinaan kepada Presiden menimbulkan problema hukum. 


Pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden (hatzakai artikelen) yang diatur didalam KUHP Sudah dicabut oleh MK. 


Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006 kemudian menghapuskan penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden (baca pasal 134 KUHP, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP). 


Didalam pertimbangannya, MK menegaskan, simbol-simbol Kepala Negara yang kemudian “terhina” adalah perwujudan dari negara “terjajah” sebagai perwujudan sikap kolonial Belanda yang mengatur Pasal-pasal KUHP untuk melindungi martabat Ratu Belanda. 


Sikap ini diambil yang berbeda dengan negara Thailand ataupun Jepang. 


Lebih lanjut didalam pertimbangannya, MK menegaskan, simbol-simbol Kepala Negara (baca Presiden/Wakil Presiden) haruslah ditempatkan sebagai manusia. Sehingga terhadap penghinaan Presiden/Wakil Presiden kemudian ditempatkan “sebagai manusia”. Yang kemudian ditempatkan sebagai pengaduan absolut (klacht delict). 

Sehingga terhadap “Presiden/Wakil Presiden” yang kemudian merasa terhina maka dapat menjadi pihak korban dan bertindak pelapor. 


Dengan dasar pertimbangan itulah kemudian, MK kemudian mencabut pasal-pasal yang berkaitan dengan “penghinaan” Presiden/Wakil Presiden didalam KUHP. Dan menempatkan “penghinaan Presiden/Wakil Presiden” didalam pasal-pasal penghinaan biasa (Pasal 310 KUHP). 


Namun “entah” bagaimana ceritanya. Norma ini kemudian kembali diadopsi didalam KUHP terbaru. 


Dan sikap resmi Pemerintah yang ditandai dengan argumentasi hukum Wamenkumham yang “mendalilkan” Presiden/Wakil Presiden harus dikategorikan sebagai “delicht aduan (klacht delict). Bukan “delicht biasa” sebagaimana putusan MK. Sehingga secara umum, argumentasi Wamenkumham dapat dimengerti. 


Namun apabila ditelisik argumentasi putusan MK yang mendasarkan “semangat” untuk menempatkan Indonesia negara hukum (Rechtstaat) dan “membuang jauh-jauh” sikap kolonial dan kemudian tegas menghapuskan pasal-pasal Mengenai penghinaan Presiden dan Wakil Presiden secara total dan kemudian mengembalikan sebagai “penghinaan” biasa dan kemudian menempatkan “penghinaan biasa” didalam Pasal 310 KUHP justru kontraproduktif dengan argumentasi yang dipaparkan Wamenkumham. 


Sehingga tidak salah kemudian sikap resmi Pemerintah yang tetap “memasukkan” Penghinaan Presiden/Wakil Presiden didalam KUHP (terbaru) walaupun dengan argumentasi dari “delik biasa” menjadi “delik aduan” justru bertentangan dengan konstitusi. 


Atau dengan kata lain, argumentasi yang dipaparkan oleh Wamnekumham adalah “kemunduran” demokrasi dan justru bertentangan dengan pertimbangan putusan MK. 


Lalu bagaimana melihat persoalan yang Tengah heboh dan menjadi polemik dan menarik perhatian nasional ? 


Secara pribadi, penulis keberatan umpatan “bajingan” dan tolol adalah bagian kritik. 


Namun mengembalikan semangat “penghinaan Presiden/Wakil Presiden” sebagai “penghinaan Presiden/Wakil Presiden” (walaupun dengan alasan delict absolut) dan Kembali “menghidupkan” Pasal-pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden didalam KUHP sendiri merupakan kemunduran dan bertentangan dengan konstitusi. 


Sehingga selama sang terhina (Presiden Jokowi) tidak “mempersoalkannya” baik dengan cara “tidak melaporkannya” maupun sama sekali tidak berkeinginan untuk menanggapinya, maka tidak perlulah “energi bangsa” untuk menanggapinya. 


Lalu bagaimana adanya keberatan sebagian masyarakat dengan cara mendatangi berbagai kantor Polisi daerah dan kemudian seluruh laporan polisi diambilalih oleh Mabes Polri ? 


Tanpa harus mengganggu proses penyidikan, penulis masih menunggu. Bagaimana cara polisi untuk menghadapinya dan kemudian pasal apa yang tepat dikenakan ? 


Mari kita tunggu lakon selanjutnya. 



Advokat. Tinggal di Jambi