19 September 2023

opini musri nauli : Hak Milik dan Izin


Akhir-akhir ini, Berbagai konflik sosial semata-mata berangkat dari optik dari Kacamata berbeda. Slogan negara yang mengaku “negara memiliki hak untuk mengatur” justru berhadapan dengan berbagai regulasi hukum di Indonesia. 


Didalam konstitusi, termaktub jelas “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Namun tafsiran ini kemudian dikembangkan menjadi Hak menguasai negara dalam paradigma “hak menguasai negara” yang dikenal “domein verklaring”. 


Makna ”dikuasai oleh negara” (Hak Menguasai Negara/HMN) sangat berbeda dengan prinsip domein verklaring dalam Agrarische Wet.


Dalam implementasinya, MK berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 012/PUU-I/2003 kemudian merumuskan (1) mengadakan kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4) pengelolaan (beheersdaad) dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad).

Begitu hakikinya makna ”dikuasai oleh negara” yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3) 1945 merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi Indonesia. M. Hatta merumuskan sebagai ”sosialisme Indonesia”. Dan itu yang membedakan konstitusi Indonesia dengan negara-negara liberalisme.


Makna ”dikuasai oleh negara” yang telah diberi tafsiran oleh MK, kemudian kemudian diterjemahkan secara langsung oleh UUPA.


Atau dengan kata lain, UUPA mengatur tentang berkaitan dengan keagrarian di Indonesia, sedangkan UU sektoral hanya mengatur tentang komoditi semata tanpa mempunyai kewenangan mengatur yang berkaitan dengan keagrarian. Misalnya UU Kehutanan berwenang mengatur tentang komoditi mengenai kayu tanpa membicarakan tentang status tanah, UU Perkebunan membicarakan komoditi tanaman perkebunan (sawit, karet, kakao) tanpa membicarakan tentang hak tanah.


Selain itu konsep “domein verklaring” sudah tegas dihapuskan berdasarkan UUPA. Sehingga selain MK sudah merumuskan “hak menguasai negara”, penggunaan prinsip Hak menguasai negara dipadankan dengan Domein verklaring adalah paradigma yang keliru. 


Didalam memaknai UUPA, UUPA harus ditempatkan sebagai UU Payung (umbrella act). Apapun yang berkaitan dengan tanah, Rujukan yuridisnya tetap mengacu UUPA. 


Lalu bagaimana dengan izin (konsesi) yang diberikan kepada investor (pelaku Usaha) yang didalamnya kemudian terdapat hak milik ? 


Menurut UUPA, Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Dan Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. UU HAM juga memastikan dengan menggunakan kata Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya. Selain juga UU HAM menegaskan “Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. 


Sehingga menggunakan irisan UUPA dan UU HAM maka hak milik adalah hak terkuat atas tanah. Demikian hakekat Hak milik


Lalu bagaimana dengan izin (konsesi) yang diberikan kepada investor (pelaku Usaha) ? Berdasarkan konsep hukum, istilah izin adalah memperkenankan, memperbolehkan, tidak melarang. Sehingga menggunakan kata “berkenan”, memperbolehkan”, tidak melarang” adalah proses yang semula “belum berkenan”, belum boleh dan dilarang. Biasa  dikenal juga “dispensasi” atau “pembolehan” 


Dalam derajat terhadap tanah, terhadap tanah selain tetap merujuk UUPA, maka izin justru bukanlah hak. Izin adalah proses sebelumnya (belum berkenan, belum boleh dan dilarang) kemudian menjadi izin (tidak dilarang, dibolehkan). Dan terhadap proses izin tetap memerlukan “persetujuan” dari pihak lain. 


Bandingkan dengan hak milik yang tidak memerlukan proses persetujuan dari pihak lain. 


Sehingga derajat antara Hak milik tentu saja tidak dapat dikalahkan oleh izin. Sehingga dipastikan terhadap izin yang telah diberikan namun kemudian diatasnya terdapat hak miliknya, maka izin tidak dapat mengalahkan hak milik. 


Paradigma masih menghinggapi dan masih terkesan didalam membaca berbagai konflik ditengah masyarakat. 


Kadangkala dibumbui dengan Sertifikat tanah yang dijadikan dasar untuk menolak hak milik. 


Secara umum, konsepsi sertifikat tanah adalah proses pendaftaran tanah. Sertifikat juga menjadi bukti terkuat didalam pembuktian mengenai tanah. Sehingga didalam pembuktian, sertifikat adalah bukti yang dapat meyakini didalam proses hukum. Demikian esensi PP No. 24 tahun 1997.


Namun menggunakan penafsiran berbeda/terbalik (penafsiran a contrario), terhadap pemilik tanah (hak milik) yang tidak mendaftarkan tanah (tidak mempunyai sertifikat) tidak dapat dikategorikan “tidak mempunyai hak atas tanah. 


Sehingga proses pendaftaran (mekanisme hukum administrasi) tetap tidak juga mampu mengalahkan esensi hak milik. 


Selain itu  secara prinsip - walaupun ada sertifikat - hak milik tanah tetap tidak bisa dikalahkan dengan sertifikat. Apabila pemilik tanah mampu membuktikan kekuatan hak terhadap tanah - walaupun pihak lain mempunyai sertififkat - namun sang pemilik tanah tetap mendapatkan perlindungan hukum. Sehingga sang pemilik sertifikat mampu dikalakan. 


Mekanisme ini lazim didalam praktek Pengadilan. Berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung Sudah menegaskan yang menyebutkan “Meskipun  sengketa  terjadi akibat Surat Keputusan Pejabat, tetapi perkara menyangkut pembuktian hak milik atas tanah gugatan harus terlebih dahulu ke Pengadilan Umum karena merupakan Sengketa Perdata".


Sehingga kekeliruan paradigma selain masih menggambarkan kesalahan didalam memaknai “hak menguasai negara”, “domein verklaring”, “sertifikat” mengakibatkan berbagai konflik sosial masih terjadi di Indonesia.