19 September 2023

opini musri nauli : Kerajaan Jambi yang Otonom

 


Didalam pengembaraan membaca berbagai dokumen - entah literatur, karya ilmiah, jurnal bahkan makalah-makalah, penulis menemukan penerapan Hukum Adat di Jambi juga  Hukum Adat yang berlaku di Minangkabau. Dengan tentu saja beberapa perubahan, perbedaan dan penyesuaian. 


Bahan ini penulis temukan. Entah berapa banyak yang menuliskannya. Penulis bahkan menemukan hingga 20 tulisan. Bahkan didalam sebuah pertemuan, tanpa ragu-ragu sang pemateri meyakini peserta forum untuk menerima argumentasinya. Sehingga paradigma menempatkan Kerajaan Jambi dibawah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung begitu kuat. 

Tentu saja sebagai Kajian sejarah, Kerajaan Pagaruyung pernah menguasai sebagian besar Pulau Sumatera. Termasuk Jambi. Bahkan cerita rakyat seperti Dara Jingga - Dara Petak, Putri Pinang Masak dan Putri Mayang Mengurai melengkapi cerita itu. Termasuk hubungan politik Kerajaan Pagaruyung dengan Kerajaan Majapahit pada masa Agama Hindu. 


Sebagai Kerajaan Pagaruyung yang begitu besar, tentu saja pengaruhnya mampu hingga berbagai Nusantara. Cerita rakyat tentang para Datuk yang begitu populer hingga terdengar di Timur Indonesia. 


Namun menjelang Abad XV, Datuk Paduko Berhalo sebagai Raja Jambi telah memantapkan Kerajaan Jambi Darussalam. Kekuasaanya kemudian langsung berbatasan dengan Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Palembang Darussalam. Kekuasaan ini semakin mantap dipimpin Rangkayo Hitam hingga Sultan Thaha Saifuddin yang kemudian ditumbangkan kolonial Belanda 1907. Sehingga praktis sejak Abad XV hingga 1907, Kerajaan Jambi Darussalam begitu eksis. Berbagai dokumen sejarah telah membuktikan. 


Didalam buku Prof. Dr. S Budhisantoso, dkk, Kajian Dan Analisa Undang-undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi, jelas sekali berbagai Undang-undang Piagam yang mengatur Hukum Adat Kerajaan Jambi. Termasuk batas-batas wilayah, gelar, norma-norma (pasal-pasal), tatacara penyelesaian dan sanksi terhadap pelanggaran Hukum Adat. Dokumen ini masih tersimpan rapi di berbagai museum. 


Selain itu sejak abad XV, telah dipastikan batas kekuasaan antara Kerajaan Jambi Darussalam dengan Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Palembang Darussalam. 


Batas Kerajaan Jambi Darussalam dengan Kerajaan Pagaruyung kemudian dikenal didalam Tembo Durian takuk Rajo. Sedangkan Kerajaan Jambi Darussalam dengan Kerajaan Palembang Darussalam dikenal Sialang Belantak Besi.


Tembo Jambi - Sumbar yang dikenal Durian Takuk rajo juga dikenal didalam Tembo Pagaruyung yang disebutkan sebagai “Dari Durian Ditakuak Rajo”. Sehingga dipastikan tembo (batas) Jambi - Sumbar selain dikenal di Jambi juga disebutkan didalam Tembo berbahasa Minangkabau “Dari Sikilang Aia Bangih - Hinggo Taratak Aia Hitam - Dari Durian Ditakuak Rajo -Hinggo Aia Babaliak Mudiak”. Dengan demikian batas antara dua Kerajaan Sudah lama ditetapkan (Tembo). 


Selain itu Kisah dan cerita ini Masih hidup ditengah masyarakat. Baik batas Jambi dengan Sumbar maupun batas Jambi dengan Sumsel. Tembo ini Masih terpatri jelas. Baik didalam dokumen-dokumen sejarah Jambi maupun sejarah Pagaruyung. 


Bahkan Kerajaan Jambi Darussalam dan Kerajaan Palembang Darussalam pernah bersama-sama kemudian menyerang Kerajaan Johor (1673). Sehingga tidak salah kemudian Barbara Andaya menyebutkan hubungan Istimewa antara Jambi dan Palembang sebagai Hidup Bersama - Sumatera Tenggara (Abad XVII - XVIII). 


Sebagai Kerajaan, Belanda kesulitan menaklukkan Jambi. Belanda pernah “trauma” dengan penyerbuan rakyat Jambi di Muara Kumpeh yang menewaskan Kepala Dagang VOC, Sybrandt Swart. “Penyerbuan” ini kemudian membuat Raja Jambi, Sultan Sri Ingalago kemudin ditangkap dan dibuang ke Batavia dan ke Pulau Bangka.


Hukum Adat Jambi juga berbeda dengan Hukum Adat Sumbar dan Hukum Adat Palembang. Didalam buku Sejarah Sosial Jambi – Jambi sebagai Kota Dagang telah diatur Hukum Adat Jambi kemudian dijelaskan Hukum Adat Jambi. Seperti Induk Undang, Pucuk Undang Nan Delapan, Anak Undang nan Dua Belas, Sendi Undang yang kemudian dikenal Teliti dan Undang-undang Hukum adat Jambi. Hukum Adat inilah yang Masih digunakan dalam praktek sehari-hari ditengah masyarakat Jambi. 


Sedangkan Hukum Adat Palembang telah ditetapkan Ratu Sinuhun didalam Kitabnya yang kemudian dikenal sebagai Simbur Cahaya (1630)


Dengan demikian maka secara yuridis sejak abad XV, Kerajaan Jambi begitu Otonom. 


Selain itu didalam sistem kekerabatan dan pewarisan sama sekali jauh berbeda dengan sistem kekerabatan dan pewarisan yang berlaku di Minangkabau ataupun didalam Kerajaan Pagaruyung. 


Sejak dikenal Margo (Marga dalam dialek Jambi), sistem kekerabatan ditetapkan menjadi sistem kekerabatan teritorial. Bandingkan dengan Sumbar yang mengenal sistem kekerabatan geneologis yang menganut sistem matrilinial. 


Walaupun pengaruh Minangkabau dikenal di Uluan Sungai Batanghari, namun hukum yang berlaku tetap berlaku Hukum Kerajaan Jambi. 


Sehingga paradigma menempatkan Jambi sebagai bagian ataupun dibawah kekuasaan Pagaruyung menjadi tidak relevan. 


Advokat. Tinggal di Jambi