05 September 2023

opini musri nauli : Problematika Yuridis Putusan Kasasi Sambo

 


Disaat Mahkamah Agung didalam Perkara Pidana Nomor perkara 813 K/Pid/2023 yang menerima kasasi dari Ferdy Sambo (mantan Perwira Tinggi Polri) kemudian memutuskan dan mengubah dari Hukuman Mati menjadi seumur hidup, berbagai polemik kemudian menarik perhatian publik.


Secara sekilas, tidak ada yang istimewa perubahan Pidana mai menjadi Pidana seumur hidup. Bersama-sama dengan penjara 20 tahun penjara, ketiganya termasuk kedalam genus pidana pokok yang dapat dikategorikan sebagai pidana yang berat. 

Namun yang menarik adalah pertimbangan Hakim di tingkat kasasi sebelum menilai putusan. Sebuah pengetahuan sekaligus pelajaran untuk mempersiapkan menghadapi penerapan KUHP (UU No. 1 tahun 2023 Tentang KUHP) yang akan berlaku 3 tahun kedepan (1 Januari 2026). 


Didalam pertimbangannya, disebutkan “Bahwa dengan memperhatikan tujuan dan pedoman pemidanaan menurut ilmu hukum pidana, serta politik hukum pidana nasional paska diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHPidana bahwa pidana mati dipandang sebagai pidana khusus, bukan lagi sebagai pidana pokok, sehingga semangat politik hukum pemidanaan di Indonesia telah bergeser dari semula berparadigma retributif/pembalasan/lex stalionis menjadi berparadigma rehabilitatif yang mengedepankan tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, pemasyarakatan/ rehabilitasi, penyelesaian konflik/pemulihan keseimbangan, penciptaan rasa aman dan damai serta penumbuhan penyesalan Terpidana, maka dengan mengingat seluruh rangkaian terjadinya peristiwa pembunuhan berencana yang dilakukan Terdakwa terhadap Korban Nofriansyah Yosua Hutabarat perlu dilihat kembali secara jernih, arif dan bijaksana dengan mengedepankan asas obyektifitas dan proporsionalitas kesalahan Terdakwa terhadap perbuatan yang telah dilakukan, sehingga penjatuhan pidana kepada Terdakwa dalam perkara a quo haruslah betul-betul mempertimbangkan berbagai aspek baik filosofis, sosiologis dan normatif hingga dirasakan adil dan bermanfaat, tidak hanya bagi korban/keluarganya, tetapi juga bagi Terdakwa dan masyarakat pada umumnya dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kepastian hukum yang berkeadilan. 


Apabila melihat pertimbangan Hakim di tingkat kasasi, maka adanya pergeseran paradigma Paradigma Rettibutif/pembalasan/lex stalionis menjadi Rehabilitatif.  Kemudian  Asas obyektifitas dan proporsionalitas. Dan  Tujuan Pemidanaan  yang mengedepankan tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, pemasyarakatan/ rehabilitasi, penyelesaian konflik/pemulihan keseimbangan, penciptaan rasa aman dan damai serta penumbuhan penyesalan. 


Namun hakim di tingkat kasasi ternyata adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam musyawarah Majelis Hakim dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat. 


Alasannya mengenai pidana yang dijatuhkan oleh Judex Facti (straftmaacht) merupakan kewenangan Judex Facti yang tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi. Dan penilaian terhadap hasil pembuktian adalah kewenangan judex facti. Sehingga keduanya sama sekali tidak tunduk di tingkat kasasi. 


Atau dengan kata lain, mengenai pidana (straftmaacht) maupun penilaian hasil pembuktian sama sekali tidak termasuk kedalam materi di tingkat kasasi. 


Kedua prinsip ini Sudah jamak di berbagai putusan Kasasi (yurisprudensi). 


Namun yang menarik perhatian penulis adalah penggunaan UU No. 1 Tahun 2023 (KUHP). 


Pertimbangannya yang menyebutkan “paska diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHPidana” yang menjadikan “Paradigma Rettibutif/pembalasan/lex stalionis”, “Asas obyektifitas dan proporsionalitas”, “Tujuan Pemidanaan” sebagai pertimbangan Hakim kasasi justru menimbulkan problematika secara yuridis. 


UU No. 1 Tahun 2023 tegas menyebutkan “Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan”. Sehingga dengan demikian maka KUHP (UU No. 1 Tahun 2023) belum dapat diberlakukan. 


Apabila menilik ketika UU No. 1 Tahun 2023 ditetapkan tanggal 2 Januari 2023 maka KUHP mulai berlaku tanggal 2 Januari 2026. 


Dengan demikian maka menimbulkan problematika yuridis menggunakan pertimbangan hukum dengan mendasarkan kepada dasar Hukum kepada UU yang belum diberlakukan. 


Sehingga hakim kasasi ternyata tidak menggunakan dasar hukum yang benar.  Atau dengan kata lain, Hakim kasasi belum dapat menggunakan KUHP terbaru sebagai pertimbangannya. 


Berdasarkan KUHAP maka Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan upaya perlawanan luar biasa (PK/Herziening) di tingkat PK dengan alasan hukum telah terjadinya kekeliruan penerapan hukum.