“Yah, adab lebih tinggi dari ilmu”, kata sang bungsu ketika baru memasuki pesantren. 3 tahun yang lalu.
Sambil tersenyum dia begitu gembira menyampaikan kaidah yang didapatkan dari Pesantren. Akupun tersenyum ketika dia menyampaikannya.
Entah mengapa ingatanku seketika melayang 3 tahun yang lalu. Ketika si bungsu baru masuk Pesantren menceritakan tentang ilmu yang didapatkannya. Tentu saja ingatan melayang untuk melihat keadaan sekarang ini.
Entah mengapa, di forum paling terhormat, sang songong “menertawakan” sang Profesor yang ilmunya tiada diragukan. Berbagai ahli hukum begitu menghormatinya.
Para akademisi begitu kagum dengan teori hukum dan politk yang begitu kental dan menjadi pegangan para akademisi di Indonesia.
Dengan kejeniusannya, sang Profesor mampu “meluluhlantakkan” teori usang tentang hukum dan kemudian meletakkan dimensi politik mendukung teorinya.
Diibaratkan ilmu, teori ini mampu menerangkan keadaan hukum yang semrawut di Indonesia. Dengan kejeniusannya, teori ini mampu bertahan hingga kini. Bahkan semakin menancapkan kekuatannya hingga sekarang.
Di ranah praktek hukum, sang Profesor meniti Karir yang tidak boleh diremehkan. Hanya segelintir manusia Indonesia yang mampu meraih jabatan di tiga Cabang kekuasaan. Legislatif (menjadi anggota DPR-RI), Eksekutif (Menteri Pertahanan dan Menko Polhukam) dan Yudikatir (Menjadi Ketua MK).
Setiap pernyataannya lengkap dengan segudang ilmu pengetahuan. Setiap langkahnya diikuti dengan norma, asas bahkan berbagai nilai yang dapat dijadikan pembelajaran.
Bahkan tidak tanggung-tanggung. Hanya segelintir orang yang mampu berbicara banyak di Gedung DPR-Ri. Kandang yang ditakuti siapapun yang menghadiri rapat-rapat di DPR.
Berbagai pernyataannya mampu berhadapan dengan para pendekar hukum yang selama ini begitu jumawa di Kandang DPR.
Lalu apakah forum sepenting dan terhormat ini, ada seorang “songong” yang begitu tengil “mempermainkannya” ?
Tidak salah kemudian, berbagai hujatan kemudian begitu menggema. Si Anak songong yang “mempermainkan” Sang Profesor Jauh dari kata adab. Sungguh-sungguh tidak pantas forum sepenting dan terhormat ini begitu “mengejek”, “ngenyek” bahkan tidak tangung-tanggung. Mengejek berbagai jawaban dari sang Profesor.
Tentu saja dibutuhkan analisis yang tajam untuk menanyakan, menangkis bahkan menjawab berbagai tema yang ditawarkan oleh sang panelis.
Namun kemudian sang putra songong kemudian “mempermainkan”, mengejek justru meletakkan forum ini menjadi “Sampah”.
Saya harus menelaah, apakah setiap pertanyaan dari sang putra songong mengandung pertanyaan, jawaban, bantahan ataupun menjawab argumentasi yang dipaparkan.
Namun bukan menjawab substansi, dengan gaya “kurang ajar” kemudian mempermainkan sang Profesor.
Gaya itu sama sekali tidak ditemukan didalam debat-debat apapun. Berbagai pertemuan yang kemudian harus diimbangi debat didalam berbagai forum-forum Organisasi yang pernah saya ikuti, cara-cara ini sama sekali tidak pernah dilakukan. Bahkan sang lawan debat harus tetap menempatkan dan menghargai lawan debat sebagai mitra diskusi.
Lalu dimana letak adabnya ? Apakah bangsa Indonesia harus jatuh dengan sikap pongah, songong dan tengil yang ditampakkan oleh generasi muda ?
Apabila lihat sejarah bangsa Indonesia, perdebatan Hatta- Soekarno, Hatta - Syahrir, Agus Salim - Hatta ataupun korespondesi tokoh-tokoh bangsa, perdebatan mereka begitu tematik. Berbagai tema yang membuat mereka harus berbeda pandangan begitu tajam.
Berbagai dokumen Sebelum kemerdekaan dan kemudian merumuskan UUD 1945 begitu tajam, sistematis dan berbeda justru akan memperlihatkan kekayaan intelektual lahir dibalik UUD 1945. Saya justru membayangkan bagaimana begitu tajam perdebatan diantara diantara para tokoh.
Tentu saja saya berharap di forum debat Pilpres 2024 dapat dinikmati sebagai pendidikan politik.
Namun apa daya. Harapan itu sirna.
Meminjam cerita dari si bungsu, sungguh begitu terasa.
Jangankan adab yang mesti ditunjukkan. Ilmu yang dipaparkan ternyata “kosong”.