Tema yang lain yang menarik perhatian sekaligus mengganggu nalar publik adalah ketika menyodorkan nama Cawapres yang berusia muda. Disebutkan sebagai Anak muda yang dibawah usia 40 tahun. Tema ini menggelinding sekaligus menjadi daya magnit untuk meraih dukungan dari generasi Z dan kaum milenial.
Tanpa malu-malu, tema usia muda kemudian disandingkan dengan para Pemimpin bangsa seperti Soekarno, Hatta, Syahrif, Tan Malaka, Panglima Soedirman dan tokoh-tokoh bangsa (founding father) lainnya.
Benar. Soekarno menjadi Presiden berusia 44 tahun. Dan Hatta berusia 43 Tahun. Namun jangan dibandingkan usia ketika menjadi Presiden maupun wakil Presiden apabila dihitung di masa Pergerakan Kemerdekaa.
Tahun 1930, Soekarno berusia 29 Tahun Sudah dijatuhi hukuman empat tahun penjara, yang dijalani di penjara Sukamiskin. Atau Hatta berusia 25 Tahun Sudah dipenjara.
Bersama-sama dengan Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Abdulmadjid Djojoadiningrat ditangkap oleh Kolonial Belanda dengan tuduha keterlibatan Partai Komunis yang dikait-kaitkan dengan Semaun (Pemberontakan Komunis 1926-1927).
Usia Ali Sastroamidjojo lebih dari Hatta (setahun). Sehingga sejak masa muda keterlibatan didalam Pergerakan Kemerdekaan sudah mengetental. Dan terus berjuang dengan para pemuda Indonesia.
Lalu bagaimana dengan “alasan Anak muda” kemudian disandingkan dengan tokoh-tokoh bangsa ? Ya, tidak equal-lah.
Kalaupun tidak equal dengan mengatakan “setiap zaman maka setiap generasi berbeda”, lalu bagaimana mengukur sikap kepemimpinan sekaligus melihat rekam jejaknya.
Didalam tradisi kepemimpinan kerajaan, sejak usia muda (12 tahun), seorang pangeran memang dididik ilmu kanuragan. Dipisahkan dari Keluarga dan kemudian digembleng agar menjadi Kerajaan.
Begitu juga para ulama. Sejak usia dini (paling banter setingkat SMP berusaia 12 tahun) Sudah “disapih” di Pesantren. Selain ilmu agama, justru ilmu kepemimpinan juga diajarkan. Selain mandiri juga mendidik perilaku sesuai dengan tantangan zaman.
Secara umum, seorang calon Pemimpin sejak dini kemudian dipersiapkan. Entah mengikuti berbagai organisasi (Pramuka, panitia 17-agustus), mengikuti organisasi kepemudaan ataupun organisasi khas anak muda (seperti Tarang taruna). Sehingga berbagai Organisasi itu kemudian “menggembleng” tradisi kepemimpinan sejak dini.
Sehingga sejak dini (terlepas dari berbagai latarbelakang) yang kemudian menggembleng sikap kepemimpinan, organisasi hingga menyiapkan tradisi kepemimpinan dengan baik.
Cara inilah kemudian dikenal sebagai “rekam jejak”. Jejak panjang yang dapat diikuti untuk melalui proses yang panjang.
Namun apabila “rekam jejaknya” sama sekali tidak diikuti ataupun rekam jejaknya sama sekali tidak panjang, maka sikap kepemimpinan ataupun tradisi kepemimpinan yang dilalui anak-anak muda Indonesia akan kemudian “sirna”. “Patah Arang” kalau istilah Melayu Jambi.
Mereka akan “patah Arang” melihat jalan pintas yang ditempuh oleh segelintir orang yang mengambil proses panjang yang dilalui oleh Anak muda lain.
Selain akan menimbulkan persepsi yang keliru yang menempatkan “orang pilihan” yang memotong jalan juga sama sekali tidak mendidik. Dan menimbulkan kelesuan dari anak-anak muda yang telah mengalami proses panjang.
Sudah saatnya “real demokrasi” dikembalikan kepada koridor. Mengembalikan semangat demokrasi yang menempatkan “orang-orang terbaik” yang menjadi Pemimpin nasional.
Tentu saja dengan hati nurani kemudian memilih “orang-orang terbaik” yang pantas memimpin Republik Indonesia.