Akhir-akhir ini, Presiden Jokowi menangkis seruan berbagai pihak agar tidak terlibat di berbagai kampanye Presiden/Wakil Presiden. Dengan memaparkan Pasal-pasal di UU Pemilu, Presiden Jokowi menyampaikan adanya hak untuk berkampanye di Pilpres 2024.
Secara umum, pengaturan tentang kampanye yang dilakukan oleh Presiden/Wakil Presiden diatur didalam Pasal 281 dan Pasal 299. Pasal 281 ayat (1) huruf a kampanye Pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil Walikota harus memenuhi ketentuan (a) Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan huruf b menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Dan tidak lupa Presiden Jokowi memaparkan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyebutkan “Presiden dan wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye”. Sedangkan didalam ayat (2) disebutkan Pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota partai Politik mempunyai hak melaksanakan kampanye.
Apabila menggunakan tafsiran gramatikal (memaknai dari kata-kata) sebagaimana diatur didalam Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu, maka “Presiden/Wakil Presiden” mempunyai hak untuk melaksanakan kampanye”. Sehingga tema hukum yang menjadi diskusi adalah “melaksanakan kampanye”.
Dari posisi ini, keyakinan Presiden Jokowi untuk terlibat kampanye di Pilpres 2024 “seakan-akan” menemukan momentum.
Namun apabila pasal ini dimaknai secara lebih mendalam dan menggunakan pendekatan penafsiran Metode Interprestasi historis (maksud dari makna pasal ini dilihat dari sejarahnya), Metode interpretasi (penafsiran secara sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal didalam UU Pemilu), maka maksud dari Pasal ini ditujukan untuk “Presiden/Wakil Presiden” yang mengikuti sebagai Calon Presiden/Wakil Presiden.
Kata-kata ini tegas dimaksudkan sebagai Calon Presiden/Wakil Presiden yang ditandai dengan kata-kata “hak melaksanakan kampanye”. Bukan “mengikuti kampanye”.
Apabila dilekatkan Presiden Jokowi yang mengikuti Pilpres 2019 sebagai Calon Presiden, maka Pasal 281 dan terutama Pasal 299 ayat (1) menemukan momentumnya. Presiden Jokowi sebagai Calon mempunyai hak melaksanakan kampanye dan tidak perlu cuti dan meninggalkan tugasnya sebagai Presiden.
Namun momentum itu berbeda dengan tahun 2024. Presiden Jokowi tidak lagi menjadi peserta Pilpres 2024. Sehingga “memaknai” Melaksanakan kampanye tidak relevan dijadikan dasar hukum untuk mengikuti Presiden.
Dengan demikian maka memaknai pasal 299 sebagai “kartu as” atau “kartu tol”, Presiden Jokowi untuk melaksanakan kampanye menjadi tidak tepat.
Tahun 2024, posisi Presiden Jokowi tidak lagi “melaksanakan kampanye”. Tapi “ikut kampanye”.
Sebuah ranah dan makna yang terpisah dan jauh dari Pilpres 2019 dan Pilpres 2024.
Atau dengan kata lain, keinginan Presiden Jokowi untuk “melaksanakan kampanye” tidak lagi terdapat didalam diri Presiden Jokowi ketika memaknai Pasal 299 UU Pemilu.
Dengan demikian, kesalahan tafsir didalam Pasal 299 UU Pemilu agar Presiden Jokowi “boleh kampanye” sama sekali berdasar.
Sehingga Presiden Jokowi tidak dibenarkan lagi “melaksanakan kampanye”. Dan tidak juga dibenarkan untuk mengikuti kampanye.
Demikian makna pasal 299 UU Pemilu.
Advokat. Tinggal di Jambi