19 Juli 2024

opini musri nauli : Putusan Praperadilan Pegi Setiawan Dilihat Didalam Regulasi Peraturan Perundang-Undangan

 


Beberapa waktu yang lalu, Pengadilan Negeri Bandung telah menerima permohonan praperadilan yang diajukan pemohon Pegi Setiawan (PS). Sebelumnya PS telah ditetapkan sebagai tersangka didalam kasus Pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon. PS ditetapkan sebagai tersangka oleh Mapolda Jawa Barat. Kasus yang menghebohkan Indonesia. 


Didalam Putusannya mencantumkan proses penetapan tersangka dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. Selanjutnya menyatakan tidak sah tindakan termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka. Dan kemudian menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri pemohon oleh termohon.


Untuk melihat putusan praperadilan PS maka harus menggunakan berbagai norma-norma hukum. Norma hukum yang digunakan pasal-pasal didalam KUHP, penggunaan pasal yang ditetapkan kepada PS dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. 

Pertama. Melihat putusan terhadap permohonan praperadilan yang tegas menyatakan proses penetapan tersangka dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum maka harus dilihat bagaimana mekanisme KUHAP mengaturnya. 


Didalam KUHAP, mekanisme praperadilan diatur didalam Pasal 77 KUHAP. Didalam Pasal 77 KUHAP menegaskan “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang : a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;, b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 


Apabila mekanisme praperadilan diatur didalam Pasal 77 KUHAP, maka secara hukum, penetapan tersangka tidak diatur didalam KUHAP. Sehingga KUHAP tidak memberikan ruang mekanisme praperadilan. 


Namun didalam perkembangannya, Pasal 77 KUHAP tidak semata-mata hanya mengatur tentang “sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan”. 


Praperadilan juga pernah memeriksa mengenai barang bukti. Padahal mengenai barang bukti sama sekali tidak diatur didalam Pasal 77 KUHAP. Namun mekanisme ini dapat ditempuh setelah Hakim kemudian memberikan pemaknaan mengenai barang bukti yang tidak sah berdasarkan Pasal 82 ayat 1 huruf b KUHAP. 

Kedua. Mekanisme praperadilan mengenai penetapan tersangka dimulai didalam perkara Nomor : 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pemohon adalah Bachtiar Abdul Fatah mengajukan permohonan praperadilan terhadap Kejaksaan Agung yang telah menetapkan tersangka oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Korupsi. 


Didalam pertimbagannya, Pengadilan Negeri Jakarta menegaskan “termohon tidak dapat membuktikan tentang adanya minimal dua alat bukti yang sah untuk dijadikan dasar menetapkan pemohon sebagai tersangka. 


Dengan demikian maka Hakim yang menyidangkan perkara kemudian memberikan perluasan makna yang berkaitan dengan penangkapan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bandingkan dengan Pasal 20 KUHAP yang menegaskan “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini.


Dengan demikian maka perkara Nomor : 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak semata-mata berkaitan dengan “berdasarkan bukti permulaan yang cukup (pasal 17 KUHAP)” atau “terdapat cukup bukti”. Namun langsung merujuk dua alat bukti sebagaimana diatur didalam Pasal 184 KUHAP. 


Pengajuan Praperadilan juga Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Pemohon adalah Komisaris Jenderal Polisi Drs. BUDI GUNAWAN, SH., Msi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. 


Didalam pertimbangannya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan “proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik KPK berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 telah dinyatakan tidak sah. Dengan demikian maka Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon pun harus dinyatakan tidak sah “. Pertimbangannya adalah ketika adalah Komisaris Jenderal Polisi Drs. BUDI GUNAWAN, SH sebagai Deputi Kapolri
Bidang Sumber Daya Manusia yang merupakan unsur pembantu pimpinan dan
pelaksana staf, dan bukan aparat penegak hukum, karena jabatan Karo Binkar
tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tugas-tugas penegakan hukum. Maka tidak termasuk kedalam sebagai Aparat Penegak Hukum dan atau Penyelenggara Negara.

Sehingga berdasarkan Putusan Perkara perkara Nomor: 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel maka mekanisme penetapan tersangka adalah terobosan melewati dari pemaknaan sempit mekanisme praperadilan sebagaimana diatur didalam pasal 77 KUHAP. Dan sudah menjadi yurisprudensi di Pengadilan. 


Ketiga. Kedua Putusan Pengadilan yang berkaitan dengan penetapan tersangka adalah melihat dan menghubungkan sah atau tidaknya penetapan tersangka dan upaya paksa tidak hanya “berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur didalam Pasal 17 KUHAP atau Pasal 20 KUHAP. Namun tetap bersandarkan kepada dua alat bukti sebagaimana diatur didalam Pasal 184 KUHAP. 


Keempat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 menegaskan “Pasal 77 huruf A KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. 


Dengan demikian maka Pasal 77 KUHAP memberikan ruang untuk dilakukan mekanisme upaya praperadilan penetapan tersangka. 


Kelima. Mekanisme ini yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Bandung yang didalam pertimbangannya menyebutkan, pemohon PS sebagai tersangka oleh Penyidk Polda Jawa Barat tidak didahului dengan pemeriksaan PS. 


Pemeriksaan kepada tersangka diwajibkan dan harus bersandarkan kepada minimal 2 (dua) alat bukti (Pasal 184 KUHAP). Prosedur dan mekanisme memeriksa tersangka telah tegas diatur didalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014. Dengan demikian maka penetapan tersangka tanpa dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu kepada PS, maka penetapan tersangka menjadi tidak sah. 


Dengan demikian terhadap putusan Perkara Nomor 10/Pid.Pra/2024/PN.Bdg yang diajukan oleh pemohon Pegi Setiawan (PS) bukanlah peristiwa yang baru. Sehingga sama sekali tidak ada keanehan yang terjadi. 


Namun yang menarik justru didalam Putusan yang menyebutkan “menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri pemohon oleh termohon


Dengan menjatuhkan putusan yang amarnya kemudian menyebutkan “tidak sah segala keputusan” namun kemudian diikuti “atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut”, maka pandangan hakim didalam perkara ini menarik ditelusuri (Ratio decidendi). 


Untuk memperdalam pemikiran hakim didalam memutuskan perkara, maka berbagai putusan kemudian ditempatkan sebagai cara memaknai hakim didalam melihat aturan normative. 


Bahkan Hakim didalam menafsirkan peraturan perundang-undangan kemudian begitu rigit dan ketat yang biasa dikenal sebagai Original intent (Tekstual meaning). Mekanisme penafsiran hukum menggunakan penafsiran “grammatical” (makna harfiah/letterlijk). Makna ini kemudian sering disebutkan sebagai “Bouche de la loi”. Hakim adalah corong dari undang-undang. Pandangan ini kemudian dikenal positivisme. Tokoh yang kemudian dikenal sebagai Immanuel Kant dan Montesquieu. 

Dengan demikian maka apabila Hakim tetap bersandarkan menggunakan Pasal 77 KUHAP, : 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014, maka Pengadilan Bandung cukup mengabulkan permohonan dari pemohon yang memutuskan “menyatakan tidak sah tindakan termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka”. Sehingga perkara yang diajukan hanya berkaitan dengan penetapan tersangka PS. Sehingga hakim hanya dibenarkan untuk mengadili perkara yang diajukan. 


Namun Hakim tidak hanya memutuskan ““menyatakan tidak sah tindakan termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka” kemudian diikuti kemudian “tidak sah segala keputusan” namun kemudian diikuti “atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut”. 


Dengan demikian maka Pengadilan Negeri Bandung tidak semata-mata menyatakan tidak sah didalam perkara praperadilan yang diajukan pemohon. Namun justru kemudian kembali menegaskan agar Mapolda Jawa Barat tidak dapat dibenarkan lagi untuk menetapkan penetapan selanjutnya. 


Sehingga Hakim tidak semata-mata menyatakan penetapan PS sebagai tersangka tidak sah namun justru memberikan kepastian hukum kepada PS dari penetapan tersangka. 


Putusan Hakim selain “menyatakan tidak sah tindakan termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka” yang kemudian diikuti “tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut” menempatkan pandangan hukum sebagai hukum yang progresif. Jauh melampaui putusan hakim yang terjebak dengan dogma

Bouche de la loi” (Hakim adalah corong dari undang-undang). 


Putusan Hakim menjadi muara dari solusi penegakkan hukum. Sehingga Putusan Hakim tidak semata-mata memberikan keadilan kepada para pencari hukum. Tapi Putusan Hakim dapat memberikan jalan keluar dari kejumudan dunia hukum yang sering terjebak dengan dogma positivism. Sehingga Putusan pengadilan adalah benteng keadilan yang didampakan para pencari keadilan. 


Sehingga tidak salah kemudian Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 10/Pid.Pra/2024/PN.Bdg menempatkan Pengadilan sebagai garda terdepan sebagai pelopor dunia hukum.