Ketika sedang rapat untuk membahas strategi tim Pemenangan Al Haris-Sani, ditengah-tengah rapat kemudian mendapatkan kabar.
“Rektor UIN meninggal”, kata salah satu kru rapat. Kamipun sepakat. Setelah rapat kemudian melayat kerumah Dinas Rektor UIN.
Melihat Assad Isma (Asaad) yang terbaring di ruang Tengah rumah dinas Rektor UIN Sulthan Thaha Saifuddin (UIN), teringat kisah-kisah lama Bersama dengan almarhum. Menggali memori 25 tahun terakhir.
Almarhum kukenal seingatku tahun 1996. Waktu itu menjelang turun dan jatuhnya Presiden Soeharto.
Kebetulan kantor SBSI (waktu itu saya menjadi koordinator Wilayah SBSI Jambi) sering dijadikan tempat mangkal kawan-kawan mahasiswa mempersiapkan aksi. Demonstrasi hingga kejatuhan Soeharto.
Waktu itu, Almarhum masih Dosen muda. Rajin kongkow-kongkow dan sering datang ke SBSI. Terutama berdiskusi dengan mahasiswa UIN (dulu IAIN) yang menjadi “running” untuk aksi-aksi. Termasuk menggerakkan mahasiswa IAIN yang kemudian semakin membesar.
Ketenangan, rajinnya datang sekaligus kejernihan berdiskusi kemudian membuat mahasiswa rajin untuk diskusi. Selain akan mempertajam gagasan untuk disampaikan didalam orasi.
Paska turunnya Presiden Soeharto, kemudian juga almarhum aktif di Organisasi sayap NU. GP Ansor. Sebuah Organisasi yang cukup dihormati ditengah-tengah masyarakat.
Saat penulis pindah dari rumah kontrakkan, tiba-tiba telephone berdering. Alangkah kagetnya saya. Asaad sebagai “orang yang dituakan” di tempat tinggal penulis, Asaad dikenal sebagai imam Masjid. Posisinya ditengah masyarakat begitu dihormati.
Setiap malam selasa dan Malam Jumat diadakan pengajian rutin. Sekaligus pengkajian kitab. Kegiatan rutin hingga sekarang.
Ketika Pilkada di Sarolangun tahun 2011, saya kemudian diajak bergabung di Tim Pemenangan Sarolangun. Sempat sedikit adanya kekhawatiran, Asaad tidak akan memenangkan Pilkada Sarolangun. Namun sebagai sahabat dekat, apapun peristiwa yang terjadi, persahabatan lebih utama dari hanya hasil kemenangan Pilkada. Sayapun mantap kemudian memilih bersama dengan Asaad.
Usai Pilkada Sarolangun, Asaad kemudian berkonsentrasi menyelesaikan pendidikan Doktoralnya. Masa studi yang sempat terbengkalai. Penuh rutinitas keorganisasian.
Setelah meraih Doktoral (waktu itu saya juga menyaksikan ujian Terbuka di Jakarta), guru besarpun diraihnya. Sehingga lengkaplah gelar akademik. Sebuah pencapaian yang sulit diraih dari Intelektual organik. Intelektual yang sering mengikuti perkembangan dan dinamika ditengah masyarakat.
Sempat menduduki Wakil Rektor UIN, Asaad kemudian mendaftar untuk menjadi kandidat Rektor UIN. Namun namanya sempat tidak dimasukkan sebagai kandidat.
Namun “Tangan Tuhan” bekerja dengan caranya sendiri. Tiada satupun upaya manusia untuk menghalangi ketika Tuhan berkehendak.
Di Jakarta, namanya kemudian berkibar. Bahkan kemudian terpilih dan kemudian menjadi Rektor.
Ditangannya kemudian kemajuan besar diraih UIN. Selain adanya fasilitas hingga seperti hotel di UIN Telanaipura, Pembangunan besar-besaran di kampus UIN Mendalo, adanya perhatian penuh terhadap jurnalistik hingga adanya program khusus jurnalistik, perhatian Asaad terhadap aktivis tidak pernah Luntur. Berbagai teman-teman kemudian menjadi Pengajar di UIN. Sebuah capaian yang tidak mungkin dilakukan apabila rektor bukan bagian dari dunia Gerakan.
Melihat perjalanan panjang Asaad Isma, tidak salah kemudian dia dikenal ditengah masyarakat Jambi. Selain aktifnya di berbagai organisasi, sikap tolerannya dengan berbagai komunitas, menjadi benteng perlindungan tempat berbagai lintas jaringan, sikap humblenya masih dipelihara dengan baik.
Tidak salah kemudian Asaad dari manusia biasa yang kemudian kukenal sebagai Dosen muda kemudian mencapai puncak tertinggi. Meraih pendidikan dari Doktor hingga Profesor juga meraih puncak karir. Sebagai Rektor UIN. Salah satu kampus yang dihormati ditengah masyarakat.
Selamat jalan, sobat. Kisah perjalanan dan Berbagai inspirasi akan selalu kukenang.