18 Desember 2025

opini musri nauli : Pemimpin Bersama Rakyat: Tangisan Sang Penjaga di Tengah Puing Bencana

 


Gelombang air bah telah surut, namun yang tersisa hanyalah pilu dan puing. Data bencana berbicara dalam bahasa yang dingin: ribuan rumah hancur, puluhan ribu warga mengungsi, dan infrastruktur vital luluh lantak. Nanggaro Aceh Darussalam diserang habis-habisan oleh amukan alam, meninggalkan luka menganga yang membutuhkan dekapan dan uluran tangan.

Di tengah lanskap kehancuran yang kelabu, muncullah sosok pemimpin yang menolak beranjak dari medan juang. Sebagai Gubernur, beliau tidak memilih ruang kantor yang hangat, apalagi meninggalkan rakyatnya sendirian menatap langit yang muram. Dengan rompi BPBD yang kotor oleh lumpur dan peluh, beliau berjalan kaki, menyusuri genangan air, memanggul karung-karung logistik—seperti yang terekam dalam potret epik ini. Ia bukan sekadar mengatur; ia berada di sana, menjadi bagian tak terpisahkan dari penderitaan dan perjuangan rakyatnya.

Respon Cepat di Tengah Keterbatasan

Bahu Tempat Rakyat Bersandar

Memang, sorot mata nasional sempat tertuju pada Aceh. Pemerintah pusat mengirimkan beberapa menteri, membawa janji dan rencana pemulihan. Namun, dalam hitungan jam pertama bencana, yang paling mendesak bukanlah kebijakan jangka panjang, melainkan napas kehidupan: kebutuhan logistik, air bersih, makanan, dan selimut.

Sang Gubernur, dengan gerak cepat yang terinspirasi oleh cinta kepada negerinya, memastikan setiap tetes air, setiap butir nasi, dan setiap paket obat sampai ke tangan yang membutuhkan. Ia tidak menunggu birokrasi berputar. Ia adalah poros respon cepat itu sendiri, memimpin distribusi, memastikan posko berfungsi, dan mendengarkan langsung jeritan warga.

Jeritan Hati yang Diam: Tangisan di Wawancara Najwa Shihab

Sambil memanggul beban fisik dan psikologis ini, dunia menyaksikan kebesaran jiwanya. Dia tidak pernah mengeluh. Mulutnya terkunci rapat dari kata-kata yang menyalahkan atau menuntut. Namun, ada satu momen di mana benteng ketenangan itu runtuh.

Di sebuah wawancara ikonik bersama Najwa Shihab, sang jurnalis, yang biasanya disapa dengan senyum tulus, tiba-tiba melihat bahu tempat rakyat bersandar itu bergetar. 

Tangisan Sang Gubernur pecah, bukan karena ia lelah, bukan karena ia putus asa akan kekurangannya, melainkan karena ia merasakan jeritan hati yang merasa diabaikan. Itu adalah tangisan seorang ayah yang melihat anak-anaknya terluka dan kesulitan mencari bantuan untuk mereka. Itu adalah tangisan yang memuat seluruh beban rakyatnya: rasa sakit, kehilangan, dan harapan yang samar-samar.

Namun, tangisan itu bukanlah keluhan. Apalagi makian. Itu adalah deklarasi cinta yang paling jujur. Itu adalah validasi emosional bagi setiap warga Aceh yang menangis dalam diam.

Sikap Tenang dan Diplomasi Cerdas

Alih-alih menyuarakan kemarahan, beliau memilih jalur yang elegan namun kuat. Dia tetap tenang, memusatkan energi untuk tindakan. Ia mengirimkan surat-surat diplomatis memohon dukungan kemanusiaan kepada lembaga-lembaga internasional seperti UNDP (Program Pembangunan PBB) dan organisasi kemanusiaan lainnya. Sikapnya yang terukur dan profesional, tanpa sedikitpun nada mengeluh, justru memberikan kekuatan dahsyat kepada rakyatnya.

Sikap tenang, tanpa mengeluh, adalah jangkar yang menahan badai kepanikan. Kehadirannya, yang selalu berada di garis depan, meyakinkan setiap warga: kita akan melewati ini bersama.

Keteladanan,  kepemimpinan Sejati

Keteladanan, ketenangan, dan ketiadaan keluhan—inilah sikap kepemimpinan sejati. Kepemimpinan yang memancarkan daya juang bukan melalui orasi yang menggelegar, tetapi melalui peluh yang menetes di samping rakyatnya. Ini adalah romansa kepemimpinan: sebuah janji setia untuk mencintai dan melindungi, baik saat senang maupun saat badai.

Kita pun teringat pada kata-kata bijak seorang sahabat yang berbunyi:

 “Pemimpin sejati lahir dari bau keringat rakyatnya, dan ia memimpin bukan dengan jubah kehormatan, melainkan dengan lumpur dan luka yang sama.”

Sang Gubernur Aceh telah membuktikan kata-kata ini. Ia berdiri, tidak sebagai penguasa, melainkan sebagai hamba yang paling setia. Ia memimpin dari hati ke hati, menukar kemewahan dengan lumpur, dan mengganti keluh kesah dengan kerja keras penuh cinta. Dalam setiap puing, dalam setiap tangisan sunyi, ia adalah Sang Penjaga, yang cintanya pada rakyatnya adalah bahan bakar bagi pemulihan Aceh yang abadi.