20 November 2025

opini musri nauli : Hak Anak Pasca Perceraian

 

Perceraian adalah peristiwa yang mengguncang dan mengubah kehidupan, tidak hanya bagi pasangan yang berpisah, tetapi terutama bagi anak-anak. Meskipun ikatan pernikahan terputus, hubungan antara orang tua dan anak tidak pernah terputus. Oleh karena itu, memastikan bahwa hak-hak anak tetap terlindungi dan terpenuhi pasca perceraian adalah tanggung jawab mutlak kedua orang tua dan sistem hukum.

Di Indonesia, perlindungan hak anak pasca perceraian diatur secara tegas dalam berbagai undang-undang, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan perubahannya, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan perubahannya.

opini musri nauli : Makna Akar Menurut Epistemologi: Fondasi Pengetahuan Lokal dan Universal

Setiap masyarakat, dalam interaksinya dengan alam dan sesama, tidak hanya sekadar bertahan hidup, tetapi juga membangun sebuah sistem pengetahuan yang khas—sebuah epistemologi. Epistemologi, atau teori pengetahuan, adalah fondasi bagaimana suatu komunitas memahami realitas, membedakan yang benar dan salah, serta merumuskan cara terbaik untuk hidup berkelanjutan. Dalam konteks ini, kita dapat memandang ‘Akar’ bukan hanya sebagai organ biologis tumbuhan, tetapi sebagai sebuah metafora epistemologis yang mendalam.

1. Akar sebagai Sumber dan Batas Pengetahuan

17 November 2025

opini musri nauli : Hak Anak Paska Perceraian: Melindungi Masa Depan Mereka

 


Perceraian sering kali menjadi babak yang paling menantang dalam kehidupan orang dewasa. Namun, di tengah hiruk pikuk proses hukum dan emosi yang bergejolak, kita harus ingat bahwa pihak yang paling merasakan dampaknya adalah anak-anak. 


Bagi seorang anak, perceraian orang tua bukanlah akhir dari sebuah keluarga, melainkan perubahan drastis pada struktur kehidupannya. Seringkali fokus orang tua terlalu tertuju pada pembagian harta atau hak asuh. Padahal yang utama adalah memastikan bahwa hak-hak dasar anak tetap terpenuhi seutuhnya, tanpa terkurangi sedikit pun oleh perpisahan ini.


Setelah perceraian kehidupan anak harus tetap berjalan senormal mungkin. Negara melalui perangkat hukumnya, hadir untuk memastikan hal ini. 


Hukum tidak hanya mengatur siapa yang akan menjadi wali. Tapi juga menjamin setiap kebutuhan anak—mulai dari kasih sayang hingga pendidikan—tetap terpenuhi oleh kedua orang tua. 

Nilai Agung Seloko Jambi

 


Dalam hiruk-pikuk wacana pembangunan dan konservasi yang seringkali didominasi oleh pendekatan teknis-ilmiah, kita kerap melupakan bahwa setiap masyarakat memiliki sistem pengetahuannya sendiri—sebuah epistemologi yang terbentuk melalui interaksi panjang dengan alam dan sesama (Soelaiman, 2019). 


Bagi masyarakat Gambut Jambi, sistem pengetahuan ini terangkum rapi dalam Seloko. Bukan sekadar pepatah. Tetapi fondasi cara mereka memahami realitas, membedakan benar-salah dan merumuskan kehidupan yang berkelanjutan.


Memahami Seloko bukanlah romantisme masa lalu, melainkan sebuah keharusan intelektual dan praktis (Soelaiman, 2019). 


Jembatan untuk menyelami logika pengetahuan komunitas yang telah terbukti efektif menjaga keseimbangan ekosistem gambut selama berabad-abad.

02 November 2025

opini musri nauli : Peran Negara dalam Asuransi Kesehatan: Mengurai Defisit dan Prinsip Gotong Royong JKN di Jambi

 

Kontribusi ASN dan Gambaran Keuangan Daerah


Pemerintah Provinsi Jambi memainkan peran besar dalam pendanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui iuran para Aparatur Sipil Negara (ASN), yang mencakup Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan PPPK. Berdasarkan data jumlah ASN Pemprov Jambi yang mencapai 13.045 orang, kontribusi iuran wajib 5% dari gaji pokok mereka diperkirakan mencapai sekitar Rp2.282.875.000,00 (Dua Miliar Dua Ratus Delapan Puluh Dua Juta Rupiah) setiap bulannya. Meskipun angka ini merupakan sumbangan yang signifikan dari sektor Pekerja Penerima Upah (PPU) Pemerintah, total penerimaan iuran BPJS Kesehatan dari seluruh segmen peserta di Provinsi Jambi jauh lebih besar. Secara total, BPJS Kesehatan Cabang Jambi diperkirakan menerima iuran sekitar Rp75 Miliar per bulan, atau sekitar Rp900 Miliar dalam setahun.


Ketika Beban Klaim Melebihi Iuran


Namun, tingginya partisipasi dan pendapatan iuran tersebut tidak serta merta menjamin kesehatan finansial program di tingkat regional. Data menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara dana yang masuk dengan dana yang harus dikeluarkan. Jika pendapatan iuran BPJS Kesehatan di Jambi mencapai estimasi Rp75 Miliar per bulan, beban klaim (pengeluaran untuk pelayanan kesehatan) yang harus dibayarkan kepada fasilitas kesehatan rata-rata mencapai sekitar Rp91,67 Miliar di periode yang sama. Selisih pengeluaran yang lebih besar dari pendapatan ini menciptakan defisit bulanan sekitar Rp16,67 Miliar. Dalam skala tahunan, dengan total pendapatan iuran Rp900 Miliar, BPJS Kesehatan Jambi harus menanggung beban klaim sebesar Rp1,1 Triliun, sehingga menghasilkan defisit operasional tahunan yang mencapai sekitar Rp200 Miliar.

Defisit Regional dan Amanat Konstitusi Negara


Kondisi regional di Jambi, di mana beban klaim melebihi pendapatan iuran, mencerminkan tantangan yang kerap dihadapi Program JKN secara nasional. Defisit ini timbul karena biaya pelayanan kesehatan, terutama untuk penyakit katastropik dan layanan lanjutan, tumbuh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan pendapatan iuran. Dalam konteks ini, negara (Pemerintah Pusat) memegang peranan krusial sebagai penjamin akhir.


Sesuai Amanat Konstitusi, negara wajib menjamin kesehatan seluruh rakyat. Oleh karena itu, kekurangan dana (defisit) yang terjadi di BPJS Kesehatan, termasuk di tingkat regional seperti Jambi, ditanggulangi oleh Pemerintah Pusat melalui suntikan dana dari APBN. Defisit ini bukanlah kerugian bisnis murni, melainkan cerminan dari kewajiban sosial negara untuk memastikan bahwa setiap warga negara—terlepas dari besaran iuran yang dibayarkan—tetap mendapatkan hak pelayanan kesehatan yang sama.


Prinsip Gotong Royong sebagai Pilar JKN


Mekanisme penanggulangan defisit ini dijalankan berdasarkan prinsip inti JKN, yaitu Gotong Royong. Dalam prinsip ini, peserta yang sehat membantu peserta yang sakit, dan iuran dari daerah yang surplus (pendapatan melebihi klaim) digunakan untuk menutup defisit yang terjadi di daerah lain (seperti Jambi) yang tingkat pemanfaatan layanan kesehatannya tinggi.

Dalam konteks JKN, gotong royong berarti bahwa peserta yang sehat membantu yang sakit, yang kaya membantu yang miskin. Iuran yang dibayarkan oleh seluruh peserta dikumpulkan dalam Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, yang kemudian digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan bagi mereka yang membutuhkan.


Aspek-aspek Utama Prinsip Gotong Royong

1. Kewajiban Kepesertaan: Kepesertaan JKN bersifat wajib bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk orang asing yang telah bekerja minimal 6 bulan di Indonesia. Hal ini memastikan bahwa semua orang berkontribusi sesuai dengan kemampuannya, menciptakan basis pendanaan yang kuat dan berkelanjutan.

2. Pembayaran Iuran Berdasarkan Kemampuan: Peserta JKN membayar iuran sesuai dengan kategori kepesertaan mereka. Bagi peserta mampu, mereka membayar iuran secara mandiri. Pekerja formal (PPU) iurannya dibayar bersama antara pekerja (1%) dan pemberi kerja (4%). Bagi masyarakat miskin, iuran mereka ditanggung oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).

3. Solidaritas dalam Pembiayaan: Dana yang terkumpul dari iuran seluruh peserta digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan bagi siapa saja yang membutuhkan, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Ini berarti bahwa peserta yang sehat membantu membiayai pelayanan kesehatan bagi peserta yang sakit, dan peserta yang mampu membantu membiayai pelayanan kesehatan bagi peserta yang kurang mampu.

4. Redistribusi Dana Antar Daerah: Dalam sistem JKN, dana dari daerah yang surplus (pendapatan iuran melebihi klaim) dapat digunakan untuk menutup defisit di daerah lain yang tingkat pemanfaatan layanan kesehatannya tinggi. Hal ini memastikan bahwa semua peserta JKN di seluruh Indonesia memiliki akses yang sama terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Manfaat Prinsip Gotong Royong

- Keadilan dan Pemerataan: Prinsip gotong royong memastikan bahwa semua warga negara Indonesia memiliki akses yang sama terhadap pelayanan kesehatan, tanpa memandang status sosial atau ekonomi mereka.

- Keberlanjutan Program: Dengan melibatkan seluruh masyarakat dalam pembiayaan kesehatan, prinsip gotong royong menciptakan basis pendanaan yang kuat dan berkelanjutan untuk program JKN.

- Solidaritas Sosial: Prinsip gotong royong memperkuat ikatan sosial dan solidaritas antar warga negara, dengan menumbuhkan kesadaran bahwa kesehatan adalah tanggung jawab bersama.


Melalui sistem keuangan nasional yang terintegrasi, iuran dari seluruh peserta JKN di seluruh Indonesia disatukan dalam Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Ketika Jambi menghadapi defisit Rp200 Miliar, dana tersebut ditarik dari DJS Kesehatan yang dikelola pusat. Jika DJS Kesehatan secara keseluruhan defisit, barulah peran Pemerintah melalui APBN masuk sebagai 'back-up' utama. Prinsip ini memastikan bahwa defisit operasional di tingkat regional tidak akan mengganggu atau menghentikan layanan kesehatan bagi 3,5 juta penduduk Jambi yang telah menjadi peserta JKN. Ini adalah perwujudan nyata dari peran negara sebagai penjamin utama kesehatan rakyatnya. Dengan demikian, prinsip gotong royong bukan hanya sekadar mekanisme pembiayaan, tetapi juga merupakan perwujudan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dalam mewujudkan keadilan sosial di bidang kesehatan.


01 November 2025

opini musri nauli : Konsep Purbaya: Mengupas Masalah Ekonomi Indonesi

 


Ekonomi Indonesia itu seperti mesin yang kompleks. Supaya mesin ini berjalan lancar, ada banyak hal yang perlu diperhatikan, mulai dari uang yang beredar, kebijakan pemerintah, sampai pandangan para ahli ekonomi. Artikel ini mencoba mengupas beberapa masalah penting yang sedang dihadapi ekonomi kita.

Uang yang Mampet, Ekonomi yang Tersendat? Salah satu masalah yang dibahas adalah soal “likuiditas”. Gampangnya, likuiditas itu ketersediaan uang tunai. Bayangkan kalau darah tidak mengalir lancar di tubuh kita, pasti badan jadi lemas. 


Begitu juga dengan ekonomi. Kalau uang susah beredar, bisnis jadi susah berkembang. Isu ini mencuat ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengkritik kebijakan sebelumnya. Beliau bilang, kalau pemerintah terlalu banyak menyimpan uang di Bank Indonesia (BI), itu seperti “dua dosa” bagi ekonomi. Akibatnya, uang jadi tidak beredar di masyarakat, dan bisnis kesulitan mendapatkan pinjaman (seperti yang pernah beliau sampaikan di KompasTV Lampung). Pemerintah yang baru sekarang mencoba mengubah kebijakan ini dengan mengalirkan lebih banyak uang ke bank-bank, supaya bisnis bisa lebih mudah mendapatkan modal.


Dua Kubu, Satu Tujuan? Dalam dunia ekonomi, ada banyak pandangan yang berbeda tentang cara terbaik untuk mengatasi masalah. Perbedaan pandangan ini sering disebut sebagai “mazhab ekonomi”. Nah, artikel ini menyoroti adanya perbedaan pandangan antara menteri keuangan yang baru dengan presiden sebelumnya, Joko Widodo. Beberapa media bahkan menyebutkan adanya “perseteruan” antara keduanya (seperti yang ramai dibicarakan di Twitter oleh akun duniaharini17). Menteri keuangan yang baru ini punya gaya yang lebih terbuka dan kritis. Dia tidak ragu mengkritik kebijakan yang dianggap menghambat peredaran uang. 


Sementara itu, presiden sebelumnya punya pandangan yang sedikit berbeda, namun tetap memberikan respons positif terhadap pendekatan yang diambil (seperti yang dilansir oleh Kompas.com dan Detik.com). Presiden yang sekarang, Prabowo Subianto, juga memuji Jokowi sebagai “Peracik Taktik Jitu soal Teknik Pengendalian Inflasi” (seperti yang dilaporkan oleh CNN Indonesia dan Tempo). Meski ada perbedaan pandangan, tujuannya tetap sama, yaitu membuat ekonomi Indonesia semakin maju. Presiden yang sekarang pun berusaha menjembatani perbedaan ini dan mencari solusi terbaik.

PR Besar di Depan Mata. Selain masalah likuiditas, pemerintah juga punya PR besar lainnya, yaitu bagaimana caranya memenuhi janji-janji kampanye, seperti program makan siang dan susu gratis


Program-program ini tentu membutuhkan banyak uang. Pemerintah harus pintar-pintar mengatur keuangan negara supaya program-program ini bisa berjalan tanpa membuat utang negara semakin menumpuk. Selain itu, pemerintah juga harus menjaga supaya harga-harga tidak melonjak (inflasi).


Jadi, Apa Artinya Buat Kita? Masalah-masalah ekonomi ini mungkin terdengar rumit, tapi sebenarnya sangat memengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Kalau ekonomi berjalan baik, bisnis bisa berkembang, lapangan kerja bertambah, dan kita semua bisa hidup lebih sejahtera. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami isu-isu ekonomi yang sedang dihadapi negara kita. Dengan begitu, kita bisa memberikan dukungan dan masukan yang konstruktif kepada pemerintah.

Beberapa Hal yang Perlu Diingat:

- Likuiditas: Ketersediaan uang tunai yang cukup sangat penting untuk menjaga roda ekonomi tetap berputar.

- Mazhab Ekonomi: Perbedaan pandangan tentang kebijakan ekonomi adalah hal yang wajar, asalkan tujuannya tetap sama.

- Keuangan Negara: Pemerintah harus bijak dalam mengelola keuangan negara supaya program-program penting bisa berjalan tanpa menimbulkan masalah baru.

 

28 Oktober 2025

opini musri nauli : Perkembangan Regulasi Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan di Indonesia

 


Regulasi perdagangan karbon di sektor kehutanan Indonesia terus berkembang. Perubahan signifikan terlihat dari digantikannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Nomor 7 Tahun 2023 dengan sebuah Rancangan Peraturan Menteri Kehutanan (Perubahan PermenLHK 7/2023). Perkembangan ini mencerminkan upaya pemerintah untuk menyesuaikan kerangka hukum dengan regulasi payung yang lebih baru dan komprehensif, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). 


Perbandingan dan Analisis Regulasi Secara fundamental, Rancangan Peraturan Menteri Kehutanan yang baru mengadopsi regulasi payung NEK yang lebih baru dan komprehensif, yaitu Perpres Nomor 110 Tahun 2025, sebagai dasar hukum utama, menggantikan PermenLHK No. 7 Tahun 2023 yang mengacu pada Perpres Nomor 98 Tahun 2021. 

opini musri nauli : Kerbau dalam Adat Melayu Jambi: Simbol, Tugas, dan Prosesi

 


Kerbau memiliki peran dan makna simbolik yang signifikan dalam adat dan kebudayaan masyarakat Melayu Jambi, terutama yang terekam dalam Seloko (peribahasa adat). Hewan ini tidak hanya berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga melambangkan kekuatan, kemakmuran, dan merupakan bagian penting dari berbagai prosesi adat.

Makna dan Simbolisme Kerbau


​Dalam konteks adat Melayu Jambi, kerbau melambangkan beberapa hal esensial. Kerbau disebut dalam seloko yang menggambarkan pemimpin yang direstui oleh alam semesta.

​"Alam menjadi. Padi menguning. Rumput hijau. Kerbo gepuk. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugu”.

Kehadiran "Kerbo gepuk" (Kerbau gemuk) bersama dengan padi menguning dan durian gugur merupakan tanda bahwa ekosistem berjalan baik dan alam merestui kelahiran serta kepemimpinan di daerah tersebut. Secara umum, kerbau merupakan simbol yang berarti kokoh atau kuat. Simbol ini melambangkan bahwa penegakan hukum adat harus tegas dan kuat pendirian tanpa pandang bulu dan tidak dapat dipengaruhi.


​Kepala kerbau juga digunakan dalam prosesi adat besar. 


Di Kota Jambi, pengukuhan gelar adat besar melalui serangkaian prosesi adat, termasuk menginjak kepala kerbau sebelum naik ke Balai Adat. Kepala kerbau merupakan tanda pemberian gelar atau prosesi adat yang penting.

Peran dan Tugas Adat yang Melibatkan Kerbau


​Kerbau juga terkait langsung dengan tugas dan kewajiban dari salah satu suku dalam Kerajaan Nan Dua Belas Bangsa/Perisai Rajo. Salah satu tugas Perisai (Suku) Pemas Pemayung—yang keturunannya adalah Rangga Emas dengan gelar Puspo Wijoyo/Pangeran Keramo Yudho dan menjabat Temenggung—adalah pengadaan kerbau. Tugas pengadaan kerbau ini dilakukan jikai ada sedekah atau penobatan Raja. Mereka juga bertugas menyediakan Kelapa Seratus, beras serratus gantang, dan asam garamnya.


​Sanksi Adat dan Kerbau


​Kerbau sebagai hewan bernilai tinggi, juga dijadikan tolok ukur atau bagian dari pembayaran sanksi adat yang berat. Sanksi adat tertinggi dan terberat yaitu Mati di bangun (membunuh orang lain) dihukum membayar bangun bampa satu ekor kerbau, seratus gantang beras, dan sekayu kain putih.

Pelanggaran terhadap larangan adat untuk menebang pohon sialang yang dianggap keramat atau melakukan "membuka pebalaian" di Marga Sumay dikenakan sanksi berat yang mencakup: kerbau sekok (satu ekor kerbau), kain putih 100 kayu, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam segaram, dan ditambah denda Rp 30 juta.

20 Oktober 2025

Andaikata 13 Triliun: Membangun Peradaban dengan Keseimbangan

 

Bayangkan sebuah negara dengan SDM gemilang, layanan kesehatan merata, dan fasilitas pendidikan mumpuni. Impian ini bisa menjadi kenyataan jika kita mampu mengelola dana sebesar Rp13 triliun secara bijaksana. Dana ini bukan sekadar angka, melainkan kunci untuk membuka potensi bangsa dan membangun peradaban yang berkelanjutan. Keputusan strategis mengenai alokasi dana ini akan menentukan hasil pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dan infrastruktur dasar bangsa. Alokasi yang bijaksana akan menciptakan efek domino positif, memperkuat fondasi negara, sementara keputusan yang kurang tepat dapat menghambat kemajuan dan memperlebar kesenjangan. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan berbagai skenario alokasi dana dan dampaknya secara komprehensif.

Skenario Rp13 T

Sebelum menentukan alokasi optimal, penting untuk memahami dampak dari fokus tunggal. 

Rp13 Triliun Khusus untuk LPDP: Investasi SDM yang Tidak Seimbang

18 Oktober 2025

opini musri nauli : Seloko Gajah: Mengurai Kekuatan, Sanksi, dan Kebersamaan dalam Kearifan Lokal Melayu Jambi


Di tengah hijaunya rimba yang memeluknya, kisah tentang Gajah bukan hanya sekadar catatan fauna, melainkan sebuah epik filosofis yang tersemat dalam denyut nadi masyarakat Melayu: Seloko Adat.


Gajah, dengan tubuhnya yang menjulang dan kekuatannya yang tak terbantahkan, telah diangkat dari sekadar penghuni hutan menjadi metafora hidup yang memegang peran sentral dalam sistem sosial, hukum, dan etika masyarakat Jambi. Bersama Harimau, ia berdiri sebagai simbol dwi-tunggal merepresentasikan kekuatan alam yang menjadi acuan bagi tata tertib manusia.

Ketika Gajah Menjadi Bayangan Hukuman


Dalam tradisi lisan Melayu Jambi, simbol Gajah memiliki wajah yang keras, mewakili ujung tombak sanksi adat. Puncak dari hukuman sosial tergambar jelas dalam seloko yang menusuk: Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah..."

 

Seloko ini bukan sekadar larangan, melainkan sebuah proklamasi pengucilan. Ia merujuk pada hukuman plali—penolakan untuk mematuhi putusan denda adat. Seseorang yang menerima hukuman ini secara harfiah dianggap "orang buangan". Mereka kehilangan seluruh perlindungan sosial, terputus dari jaring-jaring kekeluargaan dan kemasyarakatan.


Metafora "mencari perlindungan pada hewan buas" menggambarkan betapa gentingnya situasi ini. Tanpa pegangan adat, hidup seseorang menjadi sama berbahayanya dengan berjalan tanpa arah di rimba, perlindungannya kini hanya bisa dicari pada 'ayah' dan 'ibu' metaforis yang buas: Harimau dan Gajah. Inilah cerminan kekuatan hukum adat yang absolut: melanggarnya berarti memilih hidup tanpa kemanusiaan yang terorganisir.


Dari Kekuatan Menjadi Solidaritas: Hati Gajah dan Hati Tungau


Namun, keagungan Gajah tidak berhenti pada intimidasi hukum. Simbol ini juga membimbing masyarakat pada nilai-nilai kebersamaan dan keadilan yang paling fundamental. Seloko berikut menyingkap sisi Gajah yang penuh hikmah: "Hati gajah samo dilapah, hati tungau samo dicecah."


Sungguh sebuah pernyataan etika sosial yang mendalam. 'Hati gajah' melambangkan hasil yang besar dan melimpah, sementara 'hati tungau' mewakili rezeki atau usaha sekecil apa pun. Pesan ini tegas: baik hasil panen yang melimpah maupun rezeki yang seujung kuku, semuanya harus dibagi rata dan dinikmati bersama-sama (samo dilapah/dicecah).


Seloko ini adalah landasan filosofis bagi gotong royong dan kesetaraan dalam masyarakat Melayu Jambi. Ia menekankan solidaritas tidak mengenal ukuran materi; keadilan berarti pembagian yang merata, memastikan tidak ada yang merasa terlalu besar atau terlalu kecil di hadapan rezeki bersama.


Panggilan Kehormatan Sang "Datuk Gedang"


Kekuatan Gajah dan peranannya dalam menopang tatanan sosial diabadikan dalam panggilan penghormatan khusus: "Datuk Gedang".


Penggunaan gelar "Datuk" adalah sebuah tabu, sebuah pengakuan suci terhadap kedudukan Gajah dalam hierarki spiritual dan alam. Sama halnya dengan Harimau yang dipanggil "Datuk Belang", Gajah dihormati bukan hanya sebagai hewan, melainkan sebagai entitas memegang kekuatan alam—sebuah kekuatan yang diakui, dihormati, dan dijadikan patokan moral.


Cermin Filosofi Hidup


Secara keseluruhan, simbol Gajah dalam Seloko Adat Melayu Jambi bukan sekadar ornamen budaya. Ia adalah cermin multidimensi dari filosofi hidup masyarakatnya. Gajah mencerminkan:

 * Kekuasaan (Adat): Kekuatan tak tertandingi yang menjadi landasan sanksi dan tata hukum.

 * Keadilan dan Solidaritas: Prinsip fundamental pembagian hasil yang merata.

 * Kehormatan: Pengakuan spiritual terhadap kekuatan alam.


Melalui Seloko Gajah, kita disajikan sebuah kearifan lokal yang abadi: kekuatan terbesar harus selalu tunduk pada keadilan, dan kebersamaan adalah fondasi yang jauh lebih kokoh daripada kekuasaan individual semata. Di Jambi, Gajah mengajarkan kita hidup bermasyarakat adalah tarian abadi antara hukum yang keras dan hati yang lapang.