Sumatera, sebuah pulau yang kaya raya. Dari perut buminya mengalir minyak (seperti minyak mentah dan gas alam) yang menggerakkan industri dan ekonomi bangsa. Dari lahannya, alam menyumbangkan kekayaan hutan (menghasilkan kayu, rotan, berbagai hasil hutan non-kayu, dan jasa lingkungan) dan perkebunan sawit (menghasilkan minyak kelapa sawit/CPO dan inti sawit/kernel) yang menjanjikan kemakmuran. Data berbagai sumber menyebutkan rstusan trilyunan. Dan menghancurkan jutaan hektar hutan
Namun, di balik limpahan kekayaan itu, alampun dikeruk habis-habisan. Hutan digunduli, berganti wajah bopeng tak berbentuk. Pengeboran dan pertambangan mengubah bentang alam menjadi lubang-lubang raksasa, menghilangkan fungsi ekologis hutan sebagai penyangga kehidupan.
Hilangnya Paru-Paru Sumatera dalam 20 Tahun
Laju kerusakan ini terlihat jelas dari data tutupan hutan.
* Data tahun 2000: Tutupan hutan 3 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, diperkirakan mencapai sekitar 8,8 Juta Hektar (mengacu pada data tutupan hutan di awal tahun 2000-an). Angka ini merupakan hamparan hijau yang luas, menjadi paru-paru regional dan sumber daya air utama.
* Data tahun 2020: Tutupan hutan 3 provinsi tersebut ditaksir tersisa sekitar 6,5 Juta Hektar (merupakan estimasi berdasarkan tren deforestasi dan data yang tersedia). Ini menunjukkan penurunan signifikan, menyisakan kawasan hutan yang terfragmentasi dan menurun daya dukungnya.
* Artinya, hanya butuh 20 tahun, tutupan hutan hilang sekitar 2,3 Juta Hektar (merupakan selisih estimasi dari tahun 2000 ke 2020). Kehilangan jutaan hektar hutan ini setara dengan menghilangkan benteng alami dari bencana, mempercepat erosi, dan mengurangi kemampuan bumi menyerap air hujan.
Pelan tapi pasti, alam kemudian mengirimkan tidak hanya pesan, tapi alarm. Perubahan iklim lokal semakin ekstrem, musim kemarau lebih panjang, dan musim hujan membawa curah yang lebih intens. Bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor mulai rutin terjadi, menjadi pertanda daya dukung lingkungan telah melampaui batasnya.
Kisah Memuncak: Kemarahan di Akhir 2025
Kisah kemudian memuncak. Akhir tahun 2025, akhir November, di saat rakyat Indonesia bersiap menyambut akhir tahun, bumi kemudian menghentak. Alam kemudian mengamuk. Tanpa aba-aba. Menghajar rakyat 3 provinsi.
Bencana banjir bandang dan longsor masif menghantam.
* Kabupaten/Kota yang merasakan akibatnya di Aceh, Sumut, dan Sumbar, antara lain:
* Aceh: Aceh Tenggara, Aceh Utara, dan Aceh Tamiang.
* Sumatera Utara: Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Kota Sibolga, Padang Sidempuan, dan Mandailing Natal.
* Sumatera Barat: Kabupaten Agam, Padang Pariaman, dan Kabupaten Solok.
* Korban mencapai lebih dari 300 jiwa (berdasarkan data gabungan dari berbagai sumber pada 30 November 2025: Sumut 166 MD, Sumbar 90 MD, Aceh 47 MD. Total 303 Jiwa Meninggal Dunia, belum termasuk ratusan yang hilang). Angka ini adalah tragedi, melampaui batas kewajaran bencana alam, mencerminkan dampak akumulasi kerusakan lingkungan.
* Angka ini terus bertambah karena tim gabungan terus melakukan pencarian terhadap korban hilang yang tertimbun longsor atau hanyut terbawa banjir bandang/galodo. Kerugian material dan korban jiwa akan terus membayangi.
Hanya butuh 20 tahun, alam kemudian menunjukkan. Tidak hanya pesan, tapi kemarahan.
Alam menunjukkan bagaimana "daya dukung" (kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan) dan "daya tampung" (kemampuan lingkungan untuk menyerap limbah dan dampak aktivitas) tidak layak lagi. Air, galodo, air bah menghajar apapun yang dilewati. Tidak pandang bulu. Siapapun, apapun korban yang "bingung" dengan air bah yang mengalir kemudian memakan korban. Manusia, bangunan, infrastruktur, atau apapun langsung dihajar oleh debit air tak tertahankan yang tidak lagi memiliki "penghalang" berupa hutan.
Lalu mengapa akibat "keangkuhan" segelintir orang, kerakusan seupil manusia kemudian menimbulkan dampak luar biasa bagi "orang tidak bersalah"?
Menggugat Paradigma Antroposentrisme
"Keangkuhan". Manusia yang mau mengatur alam (antroposentris). Berbagai pemahaman ataupun pengetahuan menempatkan "manusia mewakili Tuhan" dan "bertindak mengatur alam".
* Term seperti "mengelola alam", "menjaga alam" adalah sikap sekaligus pengetahuan (epistemologi) yang diajarkan di kampus, dogma agama, bahkan praktek yang diperlihatkan manusia. Konsep "mengelola" dan "menjaga" sering kali disalahartikan sebagai "memanfaatkan semaksimal mungkin" atau "mendominasi". Pengetahuan yang diajarkan cenderung bersifat eksploitatif, menempatkan nilai ekonomi di atas nilai ekologi, mengabaikan fakta bahwa alam memiliki mekanisme kerjanya sendiri.
Padahal tanpa manusia, alam bekerja dengan caranya sendiri. Alam mengajarkan bagaimana manusia beradaptasi. Alam mengajarkan manusia bagaimana memperlakukan alam.
Pengetahuan manusia nusantara jauh telah menempatkan alam sebagai "ibu". Tempat manusia bergantung dari alam. Paradigma inilah yang harus menjadi "standing" sekaligus paradigma melihat alam.
* Lihatlah bagaimana manusia nusantara menjaga hutan dengan makna simbolik. Hutan keramat, hutan puyang adalah simbolik manusia nusantara mengagungkan simbolik hutan. Bagi masyarakat adat, hutan bukan sekadar kumpulan pohon, tetapi ruang hidup yang sakral. Konsep "keramat" atau "puyang" (leluhur) menciptakan tabu yang sangat kuat, melarang eksploitasi berlebihan. Ini adalah kearifan lokal yang efektif dalam konservasi.
* Di beberapa tradisi, bahkan sebuah pohon disarungi kain untuk tidak boleh diganggu. Di Jambi dikenal "sialang pendulangan". Bukan hanya "pohon yang dilarang untuk ditebang (sialang), tapi sekitar pohon tidak boleh diganggu/dikonversi (pendulangan).
* Belum lagi simbolik "teluk sakti rantau betuah gunung bedewo" atau "hutan sunyi siamang putih, tempat ungko berebut tangis". Bukan sekedar simbol, tapi terkandung nilai luhur yang mengajarkan manusia nusantara memperlakukan alam (ekosentris). Simbol-simbol ini meleburkan manusia dengan alam, menempatkan hutan dan isinya sebagai subjek yang dihormati, menciptakan etika lingkungan berbasis spiritualitas dan budaya, jauh dari sikap eksploitatif.
Alam sudah menunjukkan kemarahannya. Alam telah mengajarkan bagaimana alam bekerja. Sudah saatnya manusia harus belajar dari alam. Menyesuaikan dengan cara alam bekerja. Bukan manusia "sok tahu" mengatur alam".
Sembari memberikan dukungan semangat, memobilisasi dukungan emergency response untuk rakyat Sumatera, mari ubah seluruh kurikulum di kampus, dogma agama yang menyesatkan (yang mengarah pada antroposentrisme ekstrem). Dan kembali ke alam.
Mengubah standing dan paradigma kembali menuliskan. Dari nol. Bagaimana manusia belajar dari alam.
* Langkah ini harus dimulai dari revisi mendasar kurikulum pendidikan yang mengintegrasikan ekologi, kearifan lokal, dan etika lingkungan (ekosentrisme) ke dalam semua disiplin ilmu. Doktrin agama perlu dikaji ulang agar menekankan peran manusia sebagai penjaga, bukan penguasa mutlak. Intinya adalah membangun kembali hubungan "manusia-alam" yang harmonis, di mana manusia mengakui keterbatasan dan ketergantungan pada alam, bukan sebaliknya
