28 September 2010

opini musri nauli : Memaknai Keperawanan dari sudut sistem sosial


Penulis kaget ketika Bambang Bayu Suseno (BBS), seorang anggota DPRD Propinsi Jambi mewacanakan “tes keperawanan” untuk murid melanjutkan Sekolah. 

Kekagetan penulis didasarkan kepada dua hal. Pertama, apa “rationalitas” wacana itu. Kedua, apa urgensi wacana. 

Berangkat dari dua hal itu, maka tulisan ini dipaparkan untuk menguak “kekagetan”. 

Persoalan pergaulan gaya bebas yang terjadi di kalangan remaja menimbulkan keprihatinan. Terlepas dari metologi yang digunakan, hasil survey yang menempatkan 62% anak sekolah “melakukan hubungan” sebelum perkawinan menimbulkan keprihatian yang mendalam. Keprihatinan mendalam didasarkan kepada “pergeseran” nilai dan moral di tengah masyarakat. 

Nilai yang mengagungkan lembaga perkawinan yang menempatkan nilai tidak “berhubungan “ sebelum perkawinan menempatkan Indonesia sebagai salah satu bangsa yang menghargai perempuan. 

Dari titik ini, kita sepakat keprihatinan yang sama melihat pergeseran nilai-nilai dan budaya. Nilai-nilai “menghargai” lembaga perkawinan sampai sekarang masih mendapatkan tempat dihormati masyarakat. 

Dalam tradisi masyarakat adat, tata cara menghormati perempuan ditandai dengan berbagai upacara menjelang perkawinan. 

Tata Cara seperti “melamar”, “tunangan” menempatkan penghargaan masyarakat yang menghargai perempuan. Tata cara hukum adat kemudian ditafsirkan sebagai “keperawanan”. 

Sebagian kalangan memberikan istilah “kegadisan”. Keperawanan atau kegadisan ditafsirkan kemudian disalahkaprah menjadi “selaput dara”. Selaput dara menjadi tanda dan ciri khas “keperawanan”. 

Persoalan “selaput dara” kemudian menjadi wacana yang salah kaprah. Dalam makna “keperawanan” harus ditafsirkan menghargai perempuan yang tidak melakukan perbuatan sebelum perkawinan dan menghargai lembaga perkawinan. 

Dari titik inilah, harus dirumuskan, keperawanan adalah bentuk menghargai perkawinan dengan tidak melakukan hubungan sebelum perkawinan. Dan itu tidak ada hubungan dengan “selaput dara”. 

Menghubungkan antara “keperawanan” dengan selaput dara merupakan sikap ambigu. “selaput dara” tidak berhubungan dengan hubungan suami istri. 

Pecahnya selaput dara tidak semata-mata disebabkan karena hubunngan suami istri, tapi bisa disebabkan olahraga, bersepeda atau olahraga berat lainnya. Atlet/olahragawan lebih besar berpotensi akan rusaknya selaput dara. Bahkan bersepeda juga dapat berpotensi. 

Dari titik inilah, keterkaitan antara “keperawanan” dengan selaput dara adalah menyesatkan. 

Menurut ilmu kesehatan “Selaput dara atau hymen adalah lipatan membran yang menutup sebagian luar vagina. 

Bentuk selaput dara paling umum adalah sabit. Setelah seorang wanita melahirkan, selaput dara yang tertinggal disebut carunculae myrtiformes. 

Selaput dara tidak memiliki fungsi anatomi yang diketahui. Selaput dara bisa rusak karena olahraga. Di saat seorang wanita mencapai usia pubertas, selaput dara menjadi elastis. Hanya 43% wanita melaporkan pendarahan ketika mereka pertama kali melakukan hubungan”. 

 Menghubungkan “keperawanan” dengan “selaput dara” berangkat dari sistem sosial yang berakar dari sistem kekerabatan Patrialisme. 

Patrialisme selama ini merupakan tipe legitimasi yang paling penting yang didasarkan pada tradisi. 

Patrialisme berarti kekuasaan seorang ayah, suami, orang tertua dalam rumah, saudara yang lebih tua daripada anggota keluarga dan saudara yang lain; penguasaan seorang majikan atau tuan tanah terhadap para budak dan petani; penguasaan seorang bangsawan terhadap pelayan-pelayan dan pegawai-pegawai rumah tangga; penguasaan seorang pangeran terhadap pegawai negeri maupun pengadilan, pejabat-pejabat pemerintahan, pedagang dan raja-raja kecil; penguasaan bangsawan patrimonial dan raja berdaulat terhadap “warga negaranya”. 

Dengan demikian, menghubungkan “keperawanan” dengan “selaput dara” yang berangkat dari sistem sosial patrialisme yang menempatkan legitimasi kekuasaan laki-laki membuat persoalan “keperawanan” dan “selaput darah” menyesatkan. 

Dalam perdebatan kaum feminisme, membicarakan perempuan dengan alat tubuh menjadi wacana diskusi publik. 

Tubuh perempuan dikonotasikan dengan persoalan seksualitas, pornografi. Tubuh perempuan dibicarakan di ranah publik dengan pemikiran tubuh perempuan sebagai penyebab terjadinya seksualitas dan pornografi. 

Publik dengan mudah mempersoalkan didalam pornografi dengan tubuh perempuan. 

Padahal tubuh perempuan sebagai penyebab pornografi berangkat dari konsepsi pemikiran “otak” kaum lelaki yang berfikir porno. “otak porno” lelaki yang berfikir “porno” kemudian menggeser menjadi tubuh perempuan sebagai “pornografi’. 

Wacana pembahasan pornografi dalam wacana publik menjawab asumsi yang sudah “porno”. Tubuh perempuan kemudian menjadi wacana publik. Koalisi Perempuan yang mengkritik, tubuh perempuan yang menjadi wacana sosial, agama bahkan politik sebagaimana diwacanakan BBS. 

Wacana BBS harus juga dilihat bagaimana tubuh perempuan menjadi komoditi politik. Tubuh perempuan diajarkan dari kecil dirahasiakan, dihormati, dilindungi kemudian menjadi konsumsi terbuka untuk dibicarakan tanpa memandang essensi tubuh perempuan. 

BBS kemudian dengan "kurang ajar" menelanjangi dan memamerkan terbuka. "kekurangajaran" BBS menggeser penghormatan tubuh perempuan. 

RASIONALITAS DAN URGENSI 

Dengan menguraikan dan menghubungkan “keperawanan” dengan “selaput dara” membuat rasionalitas wacana yang dikembangkan menjadi “tidak pantas”. 

Wacana yang didasarkan dari sistem sosial patrialisme membuat rasionalitas wacana “sulit diterima”. 

Wacana yang berangkat dari nilai-nilai yang ditafsirkan salah kaprah, membuat wacana BBS menjadi tidak tepat. 

Dengan menggunakan nilai yang salah kaprah, BBS mewacanakan dan menempatkan perempuan subkoordinat dari bagian tafsir BBS. 

Dari titik inilah, rasionalitas BBS diletakkan sebagai “persoalan serius” didalam memaknai perempuan sebagai tafsir sempit BBS. 

Selain itu, menjadi persoalan lain yang harus ditangkap publik mewacanakan BBS. Pertanyaan serius yang disampaikan, apa urgensi membicarakan pendidikan dengan persoalan “keperawanan” dengan menghubungkan “selaput dara” ? apakah seseorang yang tidak “perawan” akan menimbulkan masalah di Pendidikan. 

Apakah tidak melanggar HAM, hak mendapat pendidikan atau peraturan pendidikan, “hak mendapat pendidikan – sebuah hak yang diatur didalam konstitusi” kemudian berangkat karena kesalahan “tafsir” sempit dari legislasi yang membatasi hak itu. 

Apakah urgensi dengan keberhasilan pendidikan dengan “keperawanan” ? Apakah ada hasil riset yang berkorelasi dengan “tafsir” sempit dari wacana yang ditawarkan BBS. 


Dimuat di Harian jambi Ekspress, 30 September 2010 http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/15984-memaknai-keperawanan-dari-sudut-sistem-sosial.html