Statusnya boleh janda. Namun, sekarang penyanyi dangdut Dewi Perssik merasa terlahir lagi sebagai seorang gadis. Pedangdut "Goyang Gergaji" ini mengaku telah menjalani operasi keperawanan.
Hal itu dilakukannya seusai menjalani ibadah umrah. Demikian kabar dari kompas.com dan berbagai media online lainnhya.
Berita tersebut menggemparkan jagat infotainment dan mampu mengalihkan persoalan “kaburnya Nazaruddin ke Singapura”.
Publik berdegup kencang dan menunggu pemberitaan tentang Dewi Persik. Terlepas dari substansi berita yang disampaikan, persoalan “keperawanan” merupakan tema klasik dari sistem sosial Patriarkisme.
Masih ingat peristiwa Perceraian Farid Harja - penyanyi lagu hit Ini Rindu dengan istri barunya, Nur Muslimah (Enay)- yang diumumkannya tak perawan, dan dicerai hanya tiga hari setelah pernikahan. Kasus unik perkawinan Farid-Enay bermula pada 6 Juni 1991. Farid, 42 tahun, yang baru empat hari menikahi guru TK asal Sukabumi itu, malam itu, mendatangi wali yang menikahkannya, Abdur Razaq. Ikut hadir Enay dan kedua orangtuanya.
Di hadapan mereka, Farid tiba-tiba meminta fasakh (pembatalan perkawinan). Alasannya, istrinya yang berusia 21 tahun itu telah menipu. Jelasnya, pada malam ketiga perkawinannya, Farid menemukan sepercik darah pada ranjang pengantin mereka sebelum Farid sempat "menggauli".
Menurut Farid, Enay mau menjebaknya dengan darah hasil Enay melukai anggota badannya, agar dikira darah perawan wanita itu. (media online Tempointeraktif). Menurut ilmu kesehatan “Selaput dara atau hymen adalah lipatan membran yang menutup sebagian luar vagina. Bentuk selaput dara paling umum adalah sabit. Setelah seorang wanita melahirkan, selaput dara yang tertinggal disebut carunculae myrtiformes. Selaput dara tidak memiliki fungsi anatomi yang diketahui. Selaput dara bisa rusak karena olahraga. Di saat seorang wanita mencapai usia pubertas, selaput dara menjadi elastis. Hanya 43% wanita melaporkan pendarahan ketika mereka pertama kali melakukan hubungan”.
Menghubungkan “keperawanan” dengan “selaput dara” berangkat dari sistem sosial yang berakar dari sistem kekerabatan Patrialisme. Patrialisme selama ini merupakan tipe legitimasi yang paling penting yang didasarkan pada tradisi. Patriarkisme berarti kekuasaan seorang ayah, suami, orang tertua dalam rumah, saudara yang lebih tua daripada anggota keluarga dan saudara yang lain; penguasaan seorang majikan atau tuan tanah terhadap para budak dan petani; penguasaan seorang bangsawan terhadap pelayan-pelayan dan pegawai-pegawai rumah tangga; penguasaan seorang pangeran terhadap pegawai negeri maupun pengadilan, pejabat-pejabat pemerintahan, pedagang dan raja-raja kecil; penguasaan bangsawan patrimonial dan raja berdaulat terhadap “warga negaranya”.
Dengan demikian, menghubungkan “keperawanan” dengan “selaput dara” yang berangkat dari sistem sosial patriarkisme yang menempatkan legitimasi kekuasaan laki-laki membuat persoalan “keperawanan” dan “selaput darah” menyesatkan.
Dalam perdebatan kaum feminisme, membicarakan perempuan dengan alat tubuh menjadi wacana diskusi publik. Tubuh perempuan dikonotasikan dengan persoalan seksualitas, pornografi. Tubuh perempuan dibicarakan di ranah publik dengan pemikiran tubuh perempuan sebagai penyebab terjadinya seksualitas dan pornografi. Publik dengan mudah mempersoalkan didalam pornografi dengan tubuh perempuan.
Padahal tubuh perempuan sebagai penyebab pornografi berangkat dari konsepsi pemikiran “otak” kaum lelaki yang berfikir porno. “otak porno” lelaki yang berfikir “porno” kemudian menggeser menjadi tubuh perempuan sebagai “pornografi’.
Wacana pembahasan pornografi dalam wacana publik menjawab asumsi yang sudah “porno”. Dalam tradisi masyarakat adat, tata cara menghormati perempuan ditandai dengan berbagai upacara menjelang perkawinan. Tata Cara seperti “melamar”, “tunangan” menempatkan penghargaan masyarakat yang menghargai perempuan. Tata cara hukum adat kemudian ditafsirkan sebagai “keperawanan”. Sebagian kalangan memberikan istilah “kegadisan”.
Keperawanan atau kegadisan ditafsirkan kemudian disalahkaprah menjadi “selaput dara”. Selaput dara menjadi tanda dan ciri khas “keperawanan”.
Persoalan “selaput dara” kemudian menjadi wacana yang salah kaprah. Dalam makna “keperawanan” harus ditafsirkan menghargai perempuan yang tidak melakukan perbuatan sebelum perkawinan dan menghargai lembaga perkawinan. Dari titik inilah, harus dirumuskan, keperawanan adalah bentuk menghargai perkawinan dengan tidak melakukan hubungan sebelum perkawinan. Dan itu tidak ada hubungan dengan “selaput dara”.
Baca : RUU Pornografi