11 Oktober 2011

opini musri nauli : ADVOKAT DALAM PUSARAN ZAMAN





Penulis tersentak kaget ketika pertanyaan yang paling menggugat dipertanyakan “APA GUNA PENGACARA ?

Pertanyaan itu seakan mengisi relung hati dan paling menggugat setelah peran advokat (selanjutnya penulis menggunakan istilah advokat sebagaimana diatur didalam UU No. 18 Tahun 2003), dalam reformasi tenggelam dalam hiruk pikuk. Advokat kemudian larut menikmati suasana dan seakan-akan utopia menikmati kebebasan yang disuarakan oleh kaum reformis.

Padahal apabila mau melihat sejarah,  Sejarah Advokat dimulai ketika terbukanya kesempatan untuk menjadi advokat di Rechtskundigen tahun 1910-an dan akhir 1920-an di Belanda. Akann tetapi yang lebih penting adalah fakttor-faktor politik dan ideologi. Para mahasiswa meninggalkan Jawa pergi ke Leiden sekitar 1920-an bertepatan dengan menanjaknya kegiatan perjuangan nasional dan pertarungan politik di tanah jajahan seehingga berpengaruhi di kalangan Mahasiswa di negeri Belanda. Beberapa mahasiswa hukum kemudian terjun di dunia politik termasuk di antara para pendiri Perhimpunan Indonesia (PI) sebuah perhimpunan kaum nasionalis yang didirikan pada tahun 1922 dari sisa-sisa organisasi Indonesia yang lebih galak di negeri Belanda.

Mereka yang terlibat didalamnya di antaranya Rm Sartono, Iwa Kusumasumantri, Ali Sastroamodjoyo, dan R. Sastra Mulyono yang kesemuanya advokat. Advokat Indonesia yang pertama adalah Mr. Besar Martokusumo yang membantu advokat Indonesia lainnya untuk memulai karier sebagai advokat.
Langkah ini kemudian diikuti oleh Ali Sastroamidjojo, Sartono, Sastromulyono, Suyudi yang kembali ke Indonesia setealh menyelesaikan Sekolah hukum di Leiden. Kantor Advokat Mr. Besar di Tegal.

Hampir semua advokat pada mulnya terutama terdiri dari orang Jawa serta satu sama lain mengenal dengna baik serta bekerja sama di bidang pekerjaan maupun politik. Advokat keturunan Cina juga mulai muncul tahun 1920-an akhir. Hampir semua berasal dari keluargaa – peranakan yakni lahir di Indonesia.

Advokat ketika itu dihormati para hakim Belanda. Advokat memperoleh martabat yang tinggi dan derajat profesional. Advokat mempunyai tempat yang terhormat. Ali Sastroamidjojo kemudian menjadi Perdana Menteri dari PNI. Kekuatan advokat terletak selain daripada perlawanan menghadapi sikap perlakuan kolonial terhadap bangs Indonesia, advokat juga mempunyai tanggung jawab pribadi. Bahkan mereka menjadi nasionalis yang keras dengan tetap menghormati sistem hukum.

Advokat secara politis menaruh perhatina dan ikut berkiprah didalamnya. Seperti halnya wartawan dan para sastrawan, para advokat adalah kelompok yang giat. Pemimpin politik yang berasal dari advokat melebih perbandingan menurut jumlah mereka.

Politik nasionalis para advokat di masa sebelum perang berbentuk beraneka ragam . Semangat kebangsaan mereka tidak usah diragukan. Mr. Besar tidak pernah menjaddi anggota partai politik, tetapi sikap simbolis ia menolak mengenakan tutup kepala yang lazim dikenakan para advokat di landraad (baca Pengadilan – Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia). Suyudi dan Gatot Mangkupradja ditangkap tahun 1929 karena mengganggu ketenangan masyarakat dengan pidato yang disampaikannya dalam kunjungan keliling ke seluruh Jawa. Pembela Soekarno pada peradilannya yang terkenal di depan landraad Bandung 1930 terdiri dari Sartono, Sastromulyono serta Suyudi.
Bahkan sekitar 75 % dari advokat Indonesia terlibat secara organisasi dalam gerakan nasional sebelum perang. Organisasi utama yang dimasukinya adalah PNI. Ada nama-nama seperti Iskaq, Sartono, Budiarto, Ali Sastroamidjojo dan Sunaryo. M. Roem di Masyumi. Advokat kurang menyetujui corak tambahan ideologi yang radikal populis atau radikal nasionalis maupun kecendrungan keagamaan partai-partai Islam. Mereka cenderung melepaskan diri dari keterikatan dan pandangan lokal dan memasuki keterikatan dan nasiolis.

Untuk suatu kurun waktu tertentu, advokat sangat berpengaruh di bidang politik. Sistem parlementer paling cocok buat mereka. Advokat terlibat didalamnya. Sartono menjadi ketua parlementer, Ishaq menjadi Menteri Keuangan, Ali Sastroamidjoho dua kali menjadi Perdana Menteri, Besar menjadi Sekretaris Jenderal Kementerian Kehakiman yang dua orang menterinya Lukman Wiriadinata (PNI) dan Jodi Gondokusuma (PRN). Sementara Sunardjo menjadi Menteri Luar Negeri.

Catatan tentang perkembangan dan Politik Advokat di Indonesia kemudian dapat ditelusuri lebih lengkap dari berbagai perkembangan politik dan hukum di Indonesia. Namun perkembangan terakhir, posisi yang strategis baik di Komisi DPR dan berbagai lembaga negara lainnya, masih ditemukan pejabat yang berlatar belakang advokat. Nama-nama seperti Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ifdam Kasim, Trimulya Panjaitan, A. Teras Narang, adalah nama-nama yang terbukti sukses dan mampu mewarnai kancah politik nasional. Belum lagi Pimpinan NGO/LSM yang kritis terhadap kebijakan Pemerintah. Bahkan tokoh HAM yang paling terkenal, Munir merupakan advokat dari Surabaya yang terbukti sukses dan dinobatkan sebagai Tokoh Muda yang akan mempengaruhi Asia. Sungguh prestasi ini merupakan bukti nyata dari perjuangan advokat dalam kiprahnya secara nasional.

Dalam periodik sekarang, menurut penulis, fungsi dan peran advokat sangat strategis. Ditangan seorang advokat, kemarahan, ketidakadilan, kegundahan para pencari keadilan kemudian dirumuskan dalam bentuk formal melalui gugatan pengadilan ataupun membuat laporan ke pihak yang berwenang. Di tangan seorang advokat, kemarahan, kegundahan, ketidakadilan kemudian disuarakan kemudian diperiksa di muka persidangan. Disisi lain, hukum nasional yang cenderung positivisme, legalitas, rumit dengna pembuktian berbagai asas, norma, dan nilai kemudian digugat melalui ”ketidakadilan” berdasarkan rasa keadilan rakyat. 

Advokat memainkan peran sehingga suara rakyat menggugat ”ketidakadilan” diperjuangkan.

Dari ulasan yang telah penulis sampaikan, ada beberapa catatan penting dari paparan tersebut. Pertama, sudah saatnya, para advokat membangun kerja yang kongkrit (relationship) dengan berbagai kekuatan politik yang mempengaruhi kebijakan. 

Kedua. Argumentasi yang dipaparkan dan menjadi konsumsi publik, harus berangkat dari nilai-nilai yang paling hakiki yaitu keadilan yang berpihak kepada kepentingan rakyat. 

Bukan kepentingan sesaat dan kepentingan kelompok. 

Ketiga. Sudah saatnya, posisi yang penting harus dikuasai sehingga hukum tidak dijadikan alat represif bagi rezim yang berkuasa. 

Keempat, sudah saatnya hukum dikembalikan kepada fungsi hukum sebagaimana dinyatakan oleh Satipto Rahardjo, Hukum harus kita bicarakan “hic et nunc”, “sekarang dan disini”. 

Dengan demikian, cara-cara yang digunakan oleh politisi menggunakan hukum sebagai alat kepentingan, tidaklah dilakukan oleh anggota parlemen yang berlatar belakang advokat. 

Kelima, didalam memberikan pendapat hukum (legal opinion), advokat harus konsisten menggunakan asas dan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan sikap yang selama ini dilaksanakan. 

Tidaklah boleh advokat melakukan tafsiran hukum sebuah produk perundang-undangan dengan tidak merujuk kepada ketentuan yang mengaturnya. 

Keenam. Sudah saatnya advokat mematangkan ilmu dan pemahaman hukumnya dan mengikuti perkembangan ilmu hukum. Menjadi ironi apabila advokat berbicara sebuah norma ataupun aturan yang berlaku, ternyata norma dan aturan yang digunakan tidak berlaku lagi. 

Ketujuh. Advokat harus menguasai istilah hukum yang digunakan dalam produk perundang-undangan. 

Janganlah advokat menggunakan istilah yang sering digunakan dalam kalangan masyarakat awan sehingga publik mendapat pelajaran penting dan pendidikan hukum dari pernyataan advokat. 

Kedelapan. Advokat menghormati pendapat yang berbeda dengan tetap menggunakan akal sehat dalam melihat persoalan hukum.