JEMBATAN DAN KORUPSI
Runtuhnya
Jembatan Tenggarong di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur mengingatkan penulis
akan rusaknya jembatan yang menghubungkan perjalanan menuju Jambi. Tahun 2002,
rusaknya jembatan di Pijoan mengharuskan kendaraan yang menuju harus melewati
Jalan Ness. Jalan kecil yang selama ini hanya bisa dilewati kendaraan kecil. Sejak
Tahun 2002, praktis Jalan Ness yang lancar kemudian rusak dan hingga kini
perjalanan melewati Jalan Ness membuat waktu tempuh menjadi lama.
Tahun 2009, Jembatan di Desa Tebing Tinggi
membuat macet dan memaksa penulis sering harus menginap di jalan. Tahun 2009
kemudian menjadi tahun yang paling melelahkan akibat jembatan di Tebing Tinggi.
Tahun 2009 juga menjadi issu yang paling hangat, karena dalam periode waktu
satu tahun, jembatan di Desa Kamisan harus dua kali diperbaiki.
Tahun 2010, jembatan di Durian Luncuk
memaksa perjalanan harus memutar melewati Bungo untuk menuju Bangko. Waktu
tempuh semakin lama, karena pada saat bersamaan jalan Bungo- Jambi rusak parah. Waktu tempuh normal 5
jam, seringkali harus ditempuh dengan waktu 7 – 8 jam. Jembatan di Durian
Luncuk praktis selesai menjelang idul Fitri 2011.
Menjelang akhir Tahun 2011, jembatan Rengkiling memaksa penulis
harus menginap semalaman di Jalan. Jembatan di Rengkiling membuat jadwal
perjalanan menjadi kacau. Disatu sisi apabila menuju ke Bangko/Kerinci, disaat
melewati Muara Tembesi, kita harus memilih, apakah harus menempuh melewati
Rengkiling atau memutar melewati Bungo. Kebimbangan dan waktu tempuh yang lama
membuat perjalanan menuju ke Bangko/Kerinci menjadi membosankan.
Terlepas dari kajian teknis terhadap
rusaknya jembatan di Kalimantan dan rusaknya beberapa jembatan di daerah-daerah
tertentu (baik karena umur ataupun faktor-faktor lain), persoalan jembatan
menimbulkan persoalan serius dari penegakan hukum.
Aparat penegak hukum harus turun dan
melakukan penyidikan terhadap rusaknya jembatan. Harus dicari formula dan
akibat dibangunnya jembatan dilihat dari tindak pidana korupsi. Harus dilakukan
penyidikan, dilihat dari teknis baik karena umur jembatan maupun jalur yang
dilewati jembatan dilihat dari tender pelaksanaan proyek tersebut.
Hampir praktis, kasus-kasus yang terjadi
masih banyak berkutat terhadap proyek fisik jalan, proyek fisik lainnya. Sudah
seharusnya, persoalan jembatan yang rusak yang mengganggu jalur distribusi
sembako menjadi perhatian dan persoalan serius dilihat dari tindak pidana
korupsi.
Dari kejadian yang telah penulis
sampaikan, menjadi catatan penting bagi kita semua. Walaupun di Propinsi Jambi
belum ada jembatan yang putus seperti terjadi di Kalimantan, namun rusaknya
jembatan (walaupun disediakan jembatan alternatif), membuat perjalanan menjadi
mahal, baik waktu, ongkos perjalanan maupun stamina penumpang dan supir.
Selain itu juga mengganggu jalur
distribusi bahan pokok yang menyuplai kebutuhan Jambi.
Dari catatan panjang rusaknya jembatan,
meyakini penulis jalur utama (Sarolangun – Jambi, Bungo – Jambi) harus
diutamakan dan menjadi prioritas dalam menjaga distribusi bahan pokok dan
penyaluran hasil pertanian. Terlalu banyak Pilkada yang ada di Propinsi Jambi
(Baik Pemilihan Bupati maupun Gubernur Jambi), persoalan jembatan menjadi
perhatian Kepala Daerah terpilih semata-mata apabila terjadinya kemacetan dan
mulai mengganggu jalur distribusi. Sama sekali tidak ada design yang utuh
untuk mengatasi dan menyelesaikan persoalan.