03 Desember 2011

opini musri nauli : JEMBATAN DAN KORUPSI


JEMBATAN DAN KORUPSI


Runtuhnya Jembatan Tenggarong di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur mengingatkan penulis akan rusaknya jembatan yang menghubungkan perjalanan menuju Jambi. Tahun 2002, rusaknya jembatan di Pijoan mengharuskan kendaraan yang menuju harus melewati Jalan Ness. Jalan kecil yang selama ini hanya bisa dilewati kendaraan kecil. Sejak Tahun 2002, praktis Jalan Ness yang lancar kemudian rusak dan hingga kini perjalanan melewati Jalan Ness membuat waktu tempuh menjadi lama.


Tahun 2009, Jembatan di Desa Tebing Tinggi membuat macet dan memaksa penulis sering harus menginap di jalan. Tahun 2009 kemudian menjadi tahun yang paling melelahkan akibat jembatan di Tebing Tinggi. Tahun 2009 juga menjadi issu yang paling hangat, karena dalam periode waktu satu tahun, jembatan di Desa Kamisan harus dua kali diperbaiki.

Tahun 2010, jembatan di Durian Luncuk memaksa perjalanan harus memutar melewati Bungo untuk menuju Bangko. Waktu tempuh semakin lama, karena pada saat bersamaan jalan Bungo-  Jambi rusak parah. Waktu tempuh normal 5 jam, seringkali harus ditempuh dengan waktu 7 – 8 jam. Jembatan di Durian Luncuk praktis selesai menjelang idul Fitri 2011.

Menjelang akhir Tahun  2011, jembatan Rengkiling memaksa penulis harus menginap semalaman di Jalan. Jembatan di Rengkiling membuat jadwal perjalanan menjadi kacau. Disatu sisi apabila menuju ke Bangko/Kerinci, disaat melewati Muara Tembesi, kita harus memilih, apakah harus menempuh melewati Rengkiling atau memutar melewati Bungo. Kebimbangan dan waktu tempuh yang lama membuat perjalanan menuju ke Bangko/Kerinci menjadi membosankan.

Terlepas dari kajian teknis terhadap rusaknya jembatan di Kalimantan dan rusaknya beberapa jembatan di daerah-daerah tertentu (baik karena umur ataupun faktor-faktor lain), persoalan jembatan menimbulkan persoalan serius dari penegakan hukum.

Aparat penegak hukum harus turun dan melakukan penyidikan terhadap rusaknya jembatan. Harus dicari formula dan akibat dibangunnya jembatan dilihat dari tindak pidana korupsi. Harus dilakukan penyidikan, dilihat dari teknis baik karena umur jembatan maupun jalur yang dilewati jembatan dilihat dari tender pelaksanaan proyek tersebut.

Hampir praktis, kasus-kasus yang terjadi masih banyak berkutat terhadap proyek fisik jalan, proyek fisik lainnya. Sudah seharusnya, persoalan jembatan yang rusak yang mengganggu jalur distribusi sembako menjadi perhatian dan persoalan serius dilihat dari tindak pidana korupsi.

Dari kejadian yang telah penulis sampaikan, menjadi catatan penting bagi kita semua. Walaupun di Propinsi Jambi belum ada jembatan yang putus seperti terjadi di Kalimantan, namun rusaknya jembatan (walaupun disediakan jembatan alternatif), membuat perjalanan menjadi mahal, baik waktu, ongkos perjalanan maupun stamina penumpang dan supir.

Selain itu juga mengganggu jalur distribusi bahan pokok yang menyuplai kebutuhan Jambi.

Dari catatan panjang rusaknya jembatan, meyakini penulis jalur utama (Sarolangun – Jambi, Bungo – Jambi) harus diutamakan dan menjadi prioritas dalam menjaga distribusi bahan pokok dan penyaluran hasil pertanian. Terlalu banyak Pilkada yang ada di Propinsi Jambi (Baik Pemilihan Bupati maupun Gubernur Jambi), persoalan jembatan menjadi perhatian Kepala Daerah terpilih semata-mata apabila terjadinya kemacetan dan mulai mengganggu jalur distribusi. Sama sekali tidak ada design yang utuh untuk mengatasi dan menyelesaikan persoalan.