Website Hukumonline memberitakan, upaya kejaksaan
sering menemui kesulitan untuk mengeksekusi barang bukti perkara pidana. (Kejaksaan Sering Kesulitan Merampas Barang
Kejahatan, hukumonline, 1 Juni 2012)
Dengan lugas, Jaksa Agung Muda Pidana Umum
(Jampidum) Hamzah Tadja, memberikan contoh Pasal 101 ayat (1) UU Narkotika dan
Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan. Menurut Jampidum, terhadap pengedar narkoba yang menyewa sebuah rumah
untuk memproduksi narkoba maka rumah itu di rampas oleh negara. Begitu juga
alat atau barang, seperti kapal atau truk, yang digunakan untuk kejahatan
kehutanan harus dirampas oleh negara.
Alasan Jampidum, apabila adanya keberatan pihak
ketiga, Kalau urusan antara mereka (pemilik kapal dan penyewa) itu urusan
perdata. Bisa pakai 1365 BW (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,-red),”
Kesesatan berfikir (mistake) dari Jampidum harus
diluruskan.
ALAT BUKTI
Mencampur-adukkan istilah ”alat bukti”, “barang bukti” dan pembuktian didalam
lapangan hukum acara pidana menyesatkan.
Didalam praktek hukum acara pidana, pasal 184 KUHAP menegaskan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai “alat bukti”. Alat bukti itu terdiri dari saksi, saksi ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Bandingkan dengan istilah “barang bukti”. Yang dimaksudkan dengan barang bukti yaitu barang mengenai delik dilakukan (obyek) delik dan barang dengan mana delik dilakukan, yaitu alat yang dipakai melakukan delik. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik (Andi Hamzah, Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981).
Untuk menjadi barang bukti dalam suatu perkara
pidana tidak disyarat¬kan bahwa barang itu disebut dalam surat tuduhan. Barang
bukti harus diperlihatkan kepada saksi (Putusan
MA 125 K/Kr/1960 tanggal 13 November 1960. Lihat juga115 Kr/K/1972. 23 Mei 1973),
juga terdakwa dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenai benda itu. Tentunya
juga diperlihatkan bukti diam (silent
evidence) seperti jejak jari, benda-benda yang menjadi barang bukti. Alasan
yang disampaikan oleh saksi untuk memberi keterangan. Apakah keterangan itu
dapat atau tidaknya dipercaya berdasarkan pasal 302 R.I.B terserah kepada
kebijaksanan hakim. Dan hakim berwenang untuk tidak usah mendengar semua saksi
apabila pengadilan negeri berpendapat, bahwa dalam pemeriksaan di persidangan
telah terdapat cukup alat-alat pembuktian untuk menghukum terdakwa. Namun yang
harus Penasehat Hukum perhatikan tentang barang bukti yang dihadirkan oleh Jaksa
penuntut umum ditentukan haruslah sesuai dengan fakta-fakta persidangan.
Di KUHAP sendiri, status barang bukti dan Persoalan kepada siapa barang bukti harus dikembalikan adalah termasuk kebijaksanaan judex facti kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. (Putusan Mahkamah Agung No. 100 K/Kr/1974 Tanggal 6 Mei 1975).
Apakah diserahkan kepada pihak yang paling berhak
(saksi korban atau pihak ketiga),
dilampirkan dalam berkas perkara yang terpisah atau dirampas untuk negara. UU
No. 7 Tahun 1955 dan pasal 39 KUHP perampasan tidaklah diharuskan (Putusan Mahkamah Agung No. 22 K/Kr/1964
tanggal 22 Desember 1964).
Namun Barang bukti yang terdiri dari barang yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi harus dirampas untuk negara (Putusan Mahkamah Agung No. 20 K/Kr/1976
Tanggal 1 Juli 1978). Putusan pengadilan tentang status barang bukti
merupakan wewenang judex facti majelis hakim. (Putusan Mahkamah Agung No. 107 K/Kr/1977 Tanggal 16 Oktober 1978)
Dalam hal terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum, maka semua barang bukti harus dikembalikan kepada terdakwa. (Putusan Mahkamah Agung No. 87 K/Kr/1970 Tanggal 3 Maret 1972). Untuk menjadi barang bukti dalam suatu perkara pidana tidak disyaratkan bahwa barang itu disebut dalam surat tuduhan. (Putusan Mahkamah Agung No. 125 K/Kr/1960 Tanggal 13 November 1962).
Dari paparan diatas, maka terhadap barang bukti yang ternyata dipergunakan terhadap kejahatan dapat dilihat didalam Pasal 39 KUHP telah memberikan ruang untuk mengatasi pertanyaan itu. Barang bukti yang merupakan “Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas”. (Harian Jambi Ekspress, Agustus 2010)
Didalam berbagai pendapat ahli, pasal 39 KUHP
memberikan tafsiran “benda atau tagihan
tersangka/terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak
pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana. Atau benda yang telah
dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau
mempersiapkannya. Benda yang dipergunakan untuk menghalangi penyidikan tinda
pidana. Benda yang khusus dibuat atau dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan.
Dengan melihat berbagai ketentuan yang berkaitan dengan “barang bukti” dan “alat bukti” dalam praktek peradilan pidana tentu saja mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda. Pasal 184 KUHAP yang menegaskan “alat bukti” adalah sebagai alat untuk melihat apakah telah terbukti melakukan tindak pidana atau tidak. Bahkan sebagai bahan bagi hakim untuk menentukan kesalahan atau tidak terhadap pelaku. Didalam pasal 183 KUHAP secara tegas dinyatakan, bahwa hakim harus memutuskan berdasarkan kepada dua alat bukti yang sah. Begitu pula putusan, harus menjelaskan putusan itu dijatuhkan yang berdasarkan alat bukti yang sah.
BARANG
BUKTI DIRAMPAS
Lalu, bagaimana dengan kekuatan “barang bukti”. Dalam praktek pidana,
barang bukti mempunyai kekuatan pembuktian apabila telah diterangkan para
saksi, ahli dan surat, keterangan tersangka yang menerangkan tentang barang
bukti tersebut. “barang bukti” tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
apabila tidak ada saksi, ahli, atau surat atau keterangan tersangka yang
menerangkan tentang “barang bukti” tersebut. Didalam KUHAP, mencantumkan “barang
bukti dapat dihadirkan… “
Dengan
mengikuti penjelasan yang telah disampaikan, maka terhadap kesesatan berfikir (mistake) harus diluruskan.
Walaupun adanya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia No 01 Tahun 2008 Tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tindak
Pidana Kehutanan dengan tegas menyatakan agar memperhatikan dengan sungguh- sungguh
yang dinyatakan pada point 3, Pasal 78 ayat (15) Undang- Undang Nomor : 41
Tahun 1999 Kehutanan yang dengan tegas menentukan bahwa semua hasil hutan dari
hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat - alat termasuk alat angkutnya
yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini di rampas untuk negara. (PUTUSAN MA No. 186 PK/Pid/2010)
MK sudah mempertimbangkan. Perampasan hak milik
dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, terlebih
lagi terhadap hak milik yang lahir karena konstruksi hukum (legal construction) (Putusan MK No. 21/PUU-III/2005 tanggal 1 Maret 2006)
Namun apabila pemilik barang (rumah atau alat-alat yang digunakan dalam
tindak pidana) bisa membuktikan barang bukti yang digunakan dalam tindak
kejahatan (baik rumah dalam kasus narkoba
atau alat-alat yang dipergunakan kejahatan kehutanan) tidak adanya ”persetujuan/mufakat jahat dari pemilik
barang, maka terhadap pemilik barang haruslah dilindungi oleh hukum.
Didalam Putusan MK No. 21/PUU-III/2005 sudah
tegas menyatakan, adanya perlindungan hukum terhadap pemilik barang berdasarkan
pasal 39 KUHP. Hak milik harus dilindungi selain sudah dipertimbangkan oleh MK
didalam putusannya, hak milik (dalam hal
ini pemilik barang) tidak dapat dirampas.
Mekanismenya adalah mengajukan menjadi pihak
intervensi dalam perkara pidana sehingga pemilik barang berkepentingan terhadap
perkara ini. Berdasarkan fakta persidangan, maka hakim dapat menetapkan status barang
bukti tidak dirampas dan dapat dikembalikan kepada pemilik barang.
Praktek ini sudah jamak terjadi dan sudah menjadi
yurisprudensi didalam berbagai putusan Mahkamah Agung.
Kepentingan pemilik barang menjadi pihak
intervensi dalam perkara pidana selain melindungi hak miliknya terhadap barang,
juga dapat melepaskan tanggung jawab terhadap perbuatan penyertaan (deelneming).
Sehingga pemilik barang tidak dapat dikenakan perbuatan penyertaan
(deelneming). Kepentingan ini sekaligus membantah pernyataan sebagaimana
disampaikan oleh Anggota Komisi III dari PKS TB Soenmandjaja.
Dimuat di Harian Posmetro, 9 Juni 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/4744-kekeliruan-menafsirkan-alat-bukti-barang-bukti-dalam-perkara-pidana.html?device=xhtml
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/4744-kekeliruan-menafsirkan-alat-bukti-barang-bukti-dalam-perkara-pidana.html?device=xhtml