JAMBI - Polemik kepemilikan tanah seluas 2 hektare antara mantan Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin (ZN)-Pemprov Jambi di Komplek Perumahan Telanai Indah, Telanaipura Kota Jambi, menjadi perhatian kalangan akademisi dan praktisi hukum. Umumnya, mereka menyarankan kedua belah pihak duduk bersama melakukan mediasi, atau ke pengadilan.
Guru Besar Universitas Jambi (Unja) Johni Najwan, menilai pemprov dalam kasus ini berada pada posisi yang lemah, sedangkan ZN berada pada posisi kuat. Alasannya, dari ketentuan undang-undang yang ada, kasus ini termasuk perdata.
Menurutnya, kebenaran perdata merupakan sesuatu yang formal, tidak materiil seperti pidana.
“Itu artinya, siapa yang pertama kali memiliki sertifikat, dialah yang paling kuat dari aspek hukum,” jelasnya kepada Jambi Independent, kemarin (3/7).
Karena itu, dia berpendapat kedua belah pihak yang bertikai hendaknya dapat membuktikan keabsahan dokumen yang dimiliki. Jangan saling klaim tanpa bukti fakta berupa dokumen (sertifikat).
“Nanti bisa dicek, mana yang lebih duluan. Kalau sertifikatnya duluan pemda, maka Pak Zul berada pada posisi lemah,” katanya.
Kalaupun berada pada posisi lemah, lanjut dia, peluang ZN atas tanah tersebut tetap ada. Sebab, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomnor 11 tahun 2011, disebutkan status terjadinya tanah terlantar merupakan kesalahan yang dilakukan oleh Pemda. Itu karena, pemda tak mampu mengelola asetnya sehingga dikelola pihak ketiga.
“Apalagi, tanah tersebut sudah dibagun sejumlah rumah. Itu artinya Pak Zul punya inisiatif mengelola, sedangkan pemprov menelantarkannya saja. Dalam hal ini, Pak Zul tetap berpeluang atas tanah itu,” jelasnya.
Faktor utama yang memperkuat posisi ZN atas tanah itu, kata Johni, adalah berdirinya sejumlah bangunan di atas tanah tersebut. Sedangkan untuk membangun sebuah perumahan, tentu harus menyiapkan berbagai persyaratan.
“Ada persyaratan administrasi yang harus dipenuhi developer, termasuk kejelasan kepemilikan tanah itu. Nah, artinya, secara mutlak menunjukkan Pak Zul memang kuat memiliki tanah itu,” katanya.
“Kalau memang bermasalah, tidak mungkin rumah itu bisa dibangun. Apa mungkin pembangunan rumah itu tanpa dokumen pendukung? Itu kan ilegal. Saya kira tidak mungkin. Apalagi Pak Zul mantan gubenur,” katanya.
Direktur Program Studi Pasca Sarjana Fakultas Hukum Unja ini menilai, pemprov selama ini memang lalai. Menurutnya, kisruh ini tidak akan terjadi bila pemprov jeli dan melakukan inventarisasi serta menjaga aset tanah dengan baik. Adanya tumpang tindih tanah ini menunjukkan lemahnya administrasi serta pengelolaan aset yang dilakukan pihak pemprov.
“
Saya heran, masih ada tanah terlantar di pusat kota. Kenapa selama ini pemprov tidak memasang merek sebagai tanah pemda. Kok, setelah jadi perumahan baru diributkan,” ujarnya. “Kenapa tidak dari dulu. Jangan-jangan ada nuansa politisnya,” imbuhnya.
Najwan mengatakan, sebagai pemilik usaha, ZN punya hak mempertahankan usahanya. Dia menyarankan ZN menyiapkan dokumen pendukung sehingga kebenaran formal bisa dibuktikan. Kemudian, dia menyarankan agar pemprov juga dapat membuktikan kepemilikannya meski berada pada posisi yang lemah.
“Solusi terbaiknya adalah mediasi.
Cari win-win solution. Kalaupun mediasi tidak bisa, ya masing-masing punya hak lain. Silahkan adu data di pengadilan. Tapi, saya sarankan lebih baik mediasi,” sarannya.
Akademisi Unja lainnya, Slamet Sibagariang, justru menyalahkan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dia mempertanyakan kinerja BPN sehingga bisa terbit dua sertifkat berbeda untuk satu objek. Namun, dia mahfum bahwa nasi sudah jadi bubur. Karena itu, dosen Fakultas Hukum Unja ini berpendapat lebih baik diselesaikan lewat pengadilan.
“Keduanya punya bukti yang kuat. Nah, supaya ada kepastian hukum, lebih baik diajukan ke pengadilan,” ujarnya.
Menurut Slamet, kisruh ini takkan pernah berakhir jika tidak diselesaikan lewat pengadilan. Sebab, hanya pengadilan lah yang berhak menentukan siapa pemilik atas tanah itu. “
Kalau hanya saling klaim, semua orang juga bisa. Tapi, kalau sudah diputuskan lewat pengadilan, pemenangnya pasti satu dan jelas,” ujarnya.
Menurutnya, HBA sebagai Gubernur Jambi sah-sah saja ngotot dan mempertahankan aset pemda. Sebagai pemilik usaha, ZN juga punya hak untuk mempertahankan bisnisnya. Karena itu, solusi terbaik yang harus mereka tempuh tiada lain adalah musyawarah mufakat.
“Jangan sampai saling menyalahkan. Kalau memang tidak bisa, ya silahkan tempuh lewat pengadilan,” sarannya.
Praktisi hukum Jambi, Musri Nauli berpendapat momen ini harus menjadi kesempatan kedua belah pihak untuk membuktikan haknya.
“Saya justru sepakat pemda membentuk tim khusus guna melacak dimana kesalahan itu. Kenapa bisa terjadi,” ujarnya.
Menurut dia, hendaknya masing-masing dapat membuktikan kepemilikan lewat adu data. “Bentang peta masing-masing, dimana problem-nya. Silahkan berembug, karena duonyo berdampak secara politik. Satu sisi pemprov berkepentingan melindungi aset, satu sisi nama baik gubernur bisa jadi perosalan. Ditelusuri dimana benang kusutnya,” katanya.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua DPRD Provinsi Jambi Effendi Hatta secara tegas menyangkal adanya motif politik di balik kisruh ini. Dia juga membantah secara sengaja membuat recok ZN demi kepentingan politik 2013.
“Saya tegaskan tidak ada motif politik. Niatnya cuma ingin mengembalikan aset daerah yang dikuasai orang lain.
Apalagi, ini ada permintaan langsung dari gubernur. Saya disurati agar membahas masalah ini.
Ya wajar dong, jika saya teriak lantang. Bukannya sengaja mencari-cari kesalahan,” jelasnya kepada Jambi Independent di ruang Dir Reskrimsus Polda Jambi, kemarin.
Tidak sedikit yang menilai kasus ini sengaja dibuat blunder. Sebab, banyak kasus serupa tapi tidak diributkan.
“Loh, kami di DPRD cuma mendapatkan satu surat ini saja. Ya tentang (perumahan) Telanai Indah. Yang lain tidak ada. Wajarlah saya perintahkan komisi II untuk menindaklanjutinya,” ujarnya.
Politisi Partai Demokrat ini mengaku belum punya planning untuk menyelesaikan masalah ini. Namun, dia menginginkan agar masalah ini diselesaikan secara musyawarah.
“Tapi, kalau memang masih ngotot, ya kita tidak masalah membawanya ke pengadilan,” katanya.
Lalu, berapa sebenarnya nilai aset tersebut? “Kira-kira mencapai Rp 30 miliarlah,” ujarnya.
Di bagian lain, Tokoh Masyarakat Jambi Kemas Farouk meminta pemprov lebih tegas agar aset daerah tak gampang dikuasai orang lain. Dia meminta DPRD mendorong masalah ini ke tingkat pengadilan agar tidak terulang peristiwa perampokan aset daerah.
“Harus tegas. DPRD dan pemprov harus punya sikap. Jangan setengah-setengah,” katanya.
Jambi Independent, 4 Juli 2012