Akhir-akhir ini kita disuguhkan berita tentang “saweran”
dan dukungan publik terhadap pembangunan gedung KPK. Makna “saweran”
pembangunan gedung KPK membuktikan, institusi KPK masih mendapatkan dukungan
dan simpati dari publik.
Sebagai bentuk dukungan kepada KPK, sudah semestinya
dukungan itu harus diletakkan dalam konteks prestasi dan kinerja untuk menangkap
kehendak publik didalam pemberantasan korupsi. Dukungan ini ini senantiasa
harus diberi ruang agar dukungan yang diberikan tidak semu apalagi tidak
menyentuh substansi dari dukungan yang diberikan.
Dukungan ini bermula, disaat KPK menghendaki pembangunan
gedung KPK untuk menunjang kinerja KPK yang memakan biaya sebesar Rp 225,7 miliar. Dalam pembahasannya,
kemudian terjadi tarik menarik antara KPK dan DPR yang bertugas membahas
anggaran. KPK sudah menyampaikannya sejak tahun 2008 namun DPR beralasan belum
menjadi prioritas dan masih berdebat untuk mendiskusikannya. KPK yang merasa
kurang mendapatkan respon dari DPR kemudian mendapatkan dukungan dari publik
yang menggalang dukungan publik mendukung rencana KPK membangun gedung baru
KPK.
Namun berbeda dukungan
yang diberikan publik kepada KPK dalam kasus Bibit –Chandra yang berhasil
mendapatkan dukungan sejuta fesbukkers, dukungan publik kepada KPK dalam pembangunan
gedung baru KPK masih “terkesan adem-adem
ayem”. Selain hanya dalam diskusi milist, dan dukungan yang digagas oleh
para aktivisis LSM, dukungan yang diberikan disebabkan faktor publik yang sudah
mulai kritis melihat kinerja KPK sebagai lembaga yang bertugas memberantas
korupsi. Dalam sudut pandang inilah, tulisan yang dipaparkan diharapkan dapat
menjawab berbagai persoalan yang terjadi di KPK.
Sebagai lembaga yang
bertugas “memberantas korupsi”, lembaga KPK sebenarnya sudah memiliki
kewenangan yang luar biasa. Sebagian menyebutkan sebagai lembaga super body. Didalam
UU No. 30 Tahun 2002 sebagaimana dalam pertimbanganya, ditegaskan “ lembaga pemerintah yang menangani perkara
tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam
memberantas tindak pidana korupsi”.
Sehingga diperlukan dan dibentuk Komisi Pemberantasan tindak pidana
korupsi yang independent dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Kewenangan yang superbody ditandai dengan tindakan melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Sebuah tindakan yang dilakukan oleh Kepolisian dan kejaksaan dalam satu wewenang institusi hukum yang dalam suatu negara. Kewenangan ini kemudian dirumuskan termasuk meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait, melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi, meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi (pasal 7 UU No. 30 Tahun 2002). Termasuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi (pasal 8), pengambil alihan penyidikan dan penuntutan apabila laporan korupsi tidak ditanggapi, proses yang berlarut-larut, bertujuan melindungi pelaku tindak pidana (pasal 9), melakukan penyadapan, meminta keterangan kepada bank tentang keuangan tersangka, memerintahkan kepada pimpinan untuk memberhentikan jabatan, menghentikan suatu transaksi, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan (pasal 12)
Secara subyektif, harus
diakui, prestasi KPK dalam menangkap basah pelaku tindak pidana lebih banyak “diskenariokan” dalam upaya penjebakan
yang sering terjadi dalam tindak pidana narkotika. Padahal “sebenarnya” pada
tingkat sektor kepolisian sering dan mudah dilakukan. Dalam pengusutan tindak
pidana korupsi, prestasi KPK tidak juga berbeda yang sering dilakukan oleh
Kejaksaan ataupun Kepolisian yang menyeret Kepala Daerah yang sering terjadi.
Dalam kurun tertentu,
hampir praktis, terhadap upaya pembongkaran yang sistematis dalam rangkaian tindak
pidana korupsi masih jauh dari harapan publik. Sampai sekarang, belum ada tindak
pidana korupsi yang melibatkan Menteri aktif, korupsi di sektor tentara,
korupsi sektor istana, korupsi yang sangat sistematis, korupsi dalam sumber
daya alam. Padahal sektor-sektor inilah yang sebenarnya menjadi target dan
sasaran dan beban yang harus dibebankan kepada KPK sesuai dengan “kewenangan”
superbody yang dimilikinya berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. Dengan melihat
fakta-fakta yang telah diterangkan, maka dapat dimengerti, mengapa tindak
pidana korupsi dalam upaya yang akan dilakukan KPK masih belum jalan dan masih
menjadi sebuah utopia yang terus diteriakkan.
Kehadiran KPK selama 10
tahun seharusnya sudah dapat membangun sistem dalam upaya pemberantasan
korupsi, sudah membangun stigma dan memberikan pelajaran penting tentang
korupsi dan akibat korupsi dalam bernegara, dan berhasil menjadikan perang melawan
korupsi yang mendapatkan dukungan dari publik.Dengan kata lain, kehadiran KPK
dapat memberikan warna dalam pemberantasan korupsi.
Namun apa yang terjadi. Bukan korupsi semakin berkurang, namun justru korupsi semakin menggila dan tidak pandang bulu. Korupsi dalam pengadaan kitab suci Al Qur’an sekedar gambaran, bagaimana korupsi sudah masuk ke berbagai sektor yang tidak lagi menjadi sebuah ketakutan, hilangnya rasa malu.
Dengan melihat kinerja
yang tidak berbeda jauh dari cara-cara “penjebakan”, kinerja yang tidak jauh
berbeda dengan Kejaksaan dan Kepolisian dalam pengusutan korupsi, maka harus
dibutuhkan energi total untuk tetap kritis dan terus mendesak kepada KPK agar
menjalankan tugas “superbody” dalam memberantas korupsi. Upaya ini harus terus
didukung dan menjadi prioritas bagi KPK untuk menjalankan tugasnya daripada
sekedar “merengek” meminta kantor dan segala hal yang justru akan menghilangkan
antipati publik untuk menutupi “ketidakmampuan” KPK menjalankan tugasnya.
Dimuat di Harian Posmetro, 5 Juli 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/6448-makna-saweran-gedung-kpk.html
Dimuat di Harian Posmetro, 5 Juli 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/6448-makna-saweran-gedung-kpk.html