Pernyataan
calon hakim agung Muhammad Daming Sanusi yang
menyatakan, hukuman mati tidak layak diberlakukan bagi pelaku
pemerkosaan. Alasannya, karena pelaku dan korban sama-sama enak
seakan melengkapi “isi” otak kaum lelaki bias gender. Perempuan
“diperlakukan” seperti “barang dagangan” tanpa memahami isi
pikiran perempuan.
Pernyataan
ini melengkapi pikiran “otak” lelaki yang harus “diberesin”
setelah adanya wacana Perda “duduk ngangkang”, kasus Bupati Garut
yang menceraikan “istri siri-nya” setelah 4 hari nikah melalui
sms. Belum lagi wacana “poligami” yang selalu kontroversial dan
menimbulkan polemik.
Berbagai
peristiwa silih berganti memberikan “message” yang cukup serius.
Di otak lelaki memang sudah harus “diberesin”. Terlepas dari
perkembangan informasi dan pendidikan yang disampaikan para penutur,
pikiran-pikiran yang disampaikan adalah persoalan serius yang tidak
boleh enteng diselesaikan hanya “meminta maaf”.
Dalam
berbagai paradigma melihat berbagai aspek, disadari, perkembangan
pengetahuan dan cara pandang para penutur harus dipahami berangkat
dari pandangan sosial, sistem sosial, cara pandang, pengalaman,
pendidikan, pergaulan yang masih rendah memandang perempuan. Dalam
paradigma yang salah kaprah, disadari, pemikiran para penutur kaum
lelaki masih belum sensitif terhadap perempuan. Mereka masih
“memposisikan” sebagai penguasa (dalam sistem sosial patrialkis),
termasuk cara pandang terhadap perempuan. Mereka masih menganggap
semua persoalan kejahatan kesusilaan disebabkan karena “adanya”
godaan dari perempuan. Misalnya cara berpakaian, cara berjalan, cara
bersikap yang “menurut mereka” karena perempuan yang menggoda.
Perempuan yang memancing. Dalam pikiran itulah, mereka “seakan-akan”
dibenarkan untuk melakukan kejahatan kesusilaan.
Bahkan
negara yang seharusnya melindungi perempuan, malah memberikan
kesempatan untuk “pikiran” kaum lelaki yang memandang konsepsi
kesusilaan. UU Pornografi membenarkan. UU yang seharusnya bersifat
universal, tidak boleh bias tafsiran, malah memberikan penegasan,
pornografi karena “perempuan” harus diatur cara berpakaian. Bukan
memberikan hukuman kepada para kejahatan kesusilaan. Tafsiran “porno”
berangkat dari “otak”lelaki” yang memberikan tafsiran
“membangkitkan nafsu berahi” berangkat dari otak lelaki yang
“memandang” tubuh perempuan. Sehingga perempuan harus diatur
berpakaian. Bukan “memberesin” otak lelaki yang memandang tubuh
perempuan.
Berbagai
peristiwa demi peristiwa silih berganti memberikan pekerjaan serius
didalam memandang “tubuh” perempuan. Harus digunakan cara-cara
radikal untuk “memberesin” otak lelaki didalam memandang “tubuh”
perempuan. Dan dibutuhkan waktu yang tidak sebentar dari “pemberesin”
otak lelaki.
Issu
“poligami”, kasus Bupati Garut, Perda duduk ngangkang bahkan
pernyataan calon Hakim Agung bukanlah akan akhir dari perdebatan dan
polemik ini. Masih dibutuhkan waktu panjang untuk “memberesin”
otak lelaki. Dan itu tidak mudah.
Baca : RUU Pornografi