25 Januari 2013

opini musri nauli : Memahami Logika Seksualitas di otak kaum lelaki




Pernyataan calon hakim agung Muhammad Daming Sanusi yang menyatakan, hukuman mati tidak layak diberlakukan bagi pelaku pemerkosaan. Alasannya, karena pelaku dan korban sama-sama enak seakan melengkapi “isi” otak kaum lelaki bias gender. Perempuan “diperlakukan” seperti “barang dagangan” tanpa memahami isi pikiran perempuan.

Pernyataan ini melengkapi pikiran “otak” lelaki yang harus “diberesin” setelah adanya wacana Perda “duduk ngangkang”, kasus Bupati Garut yang menceraikan “istri siri-nya” setelah 4 hari nikah melalui sms. Belum lagi wacana “poligami” yang selalu kontroversial dan menimbulkan polemik.

Berbagai peristiwa silih berganti memberikan “message” yang cukup serius. Di otak lelaki memang sudah harus “diberesin”. Terlepas dari perkembangan informasi dan pendidikan yang disampaikan para penutur, pikiran-pikiran yang disampaikan adalah persoalan serius yang tidak boleh enteng diselesaikan hanya “meminta maaf”.

Dalam berbagai paradigma melihat berbagai aspek, disadari, perkembangan pengetahuan dan cara pandang para penutur harus dipahami berangkat dari pandangan sosial, sistem sosial, cara pandang, pengalaman, pendidikan, pergaulan yang masih rendah memandang perempuan. Dalam paradigma yang salah kaprah, disadari, pemikiran para penutur kaum lelaki masih belum sensitif terhadap perempuan. Mereka masih “memposisikan” sebagai penguasa (dalam sistem sosial patrialkis), termasuk cara pandang terhadap perempuan. Mereka masih menganggap semua persoalan kejahatan kesusilaan disebabkan karena “adanya” godaan dari perempuan. Misalnya cara berpakaian, cara berjalan, cara bersikap yang “menurut mereka” karena perempuan yang menggoda. Perempuan yang memancing. Dalam pikiran itulah, mereka “seakan-akan” dibenarkan untuk melakukan kejahatan kesusilaan.

Bahkan negara yang seharusnya melindungi perempuan, malah memberikan kesempatan untuk “pikiran” kaum lelaki yang memandang konsepsi kesusilaan. UU Pornografi membenarkan. UU yang seharusnya bersifat universal, tidak boleh bias tafsiran, malah memberikan penegasan, pornografi karena “perempuan” harus diatur cara berpakaian. Bukan memberikan hukuman kepada para kejahatan kesusilaan. Tafsiran “porno” berangkat dari “otak”lelaki” yang memberikan tafsiran “membangkitkan nafsu berahi” berangkat dari otak lelaki yang “memandang” tubuh perempuan. Sehingga perempuan harus diatur berpakaian. Bukan “memberesin” otak lelaki yang memandang tubuh perempuan.

Berbagai peristiwa demi peristiwa silih berganti memberikan pekerjaan serius didalam memandang “tubuh” perempuan. Harus digunakan cara-cara radikal untuk “memberesin” otak lelaki didalam memandang “tubuh” perempuan. Dan dibutuhkan waktu yang tidak sebentar dari “pemberesin” otak lelaki.

Issu “poligami”, kasus Bupati Garut, Perda duduk ngangkang bahkan pernyataan calon Hakim Agung bukanlah akan akhir dari perdebatan dan polemik ini. Masih dibutuhkan waktu panjang untuk “memberesin” otak lelaki. Dan itu tidak mudah.