25 Januari 2013

opini musri nauli : Polemik candi muara takus




Pada suatu kesempatan, penulis diajak Hariansyah Usman (biasa dipanggil Kaka. Direktur Walhi Riau) mengunjungi situs Candi Budha di sebuah tempat kecil di Kampar, Riau.


Penulis kaget, ketika nama daerah itu “Muara Tapus”. Kekagetan penulis sebenarnya berangkat dari nama yang sama, Candi Muara Jambi yang juga bernama Candi Muara Tapus. Entah karena kebetulan mirip atau memang ada kesamaan sejarah, Nama Candi Muara Tapus mengganggu pikiran penulis. Di Jambi sendiri, memang ada Candi Muara Tapus. Candi Muara Tapus di Muara Jambi kemudian lebih dikenal dengna nama Candi Muara Jambi.

Selain nama yang sama, penasaran penulis “memaksa” selama kami melihat Candi Muara Tapus, kami berdiskusi hebat (tentu saja diskusi ala pengetahuan dan informasi yang pas-pasan).


Rasa penasaran disebabkan dua alasan. Alasan pertama mengenai nama. Alasan kedua. Apakah ada hubungan antara Candi Muara Jambi dengan Candi di Muara Tapus.

Mengenai nama yang sama, biarlah itu menjadi urusan para pakar sejarah. Penulis tidak mempunyai literatur yang cukup sedikit untuk menceritakannya. Asumsi-asumsi mentah hanya pradugaan, adanya sejarah yang panjang sejarah Melayu antara Kampar dengan Jambi. Selain itu, entahlah. Pertanyaan seperti apakah Kampar yang mempengaruhi Jambi, atau Jambi mempengaruhi Kampar. Belum dapat dipastikan.

Yang pasti, Di Jambi sendiri pernah dilaksanakan kegiatan “Seminar Sejarah Melayu Kuno tanggal 7 – 8 Desember 1992. Seminar bertujuan untuk memperoleh kejelasan tentang peran dan kedudukan Melayu Kuno dalam sejarah nasional sebagai mata rantai dalam perwujudan sejarah nusantara.

Pernik-pernik Muara Jambi

Nik Hassan Shuhaimi mengatakan, Jambi adalah tapak bagi kerajaan Malayu pada abad VII. Muara Jambi adalah perkampungan yang terletak lebih kurang 25 km timur laut Kota Jambi. Muara Jambi terletak di tebing utara Sungai Batanghari.

Situs Muara Jambi mempunyai luas sekitar 12 km2. Hingga saat ini di areal situs terdapat 33 buah sisa bangunan bata.



Dalam pembahasannya, disadari Sejarah Melayu Kuno masih dilliputi kegelapan. Selain dasar yang dipakai berita China yang sulit ditafsirkan. Dalam pembahasan di Seminar, menurut Dr. EE Mc KINNON dan DR. AB Lapian, Muara Jambi sebagai pusat agama dan pusat pemerintahan. Begitu juga disampaikan oleh Drs. Bambang B Utomo, Fachruddin Saudagar dan Prof. Dr. Jacob, Pusat Kerajaan Melayu diperkirakan berasal dari Jambi. Ini didukung oleh Prof. Dr. Nik Hassan Suhaimi dan Drs. MM. Soekarto K. Atmodjo yang berpendapat, Jambi adalah tapak Kerajaan Melayu yang diperkirakan keberadaannya sampai abad VII M.

Dari perdebatan mengenai kejelasan dan peran sentral kedudukan Melayu Kuno, maka S. Sartono kemudian mengemukakan pertanyaan menggugat. Pada abad VII di Sumatera Timur ada 2 Kerajaan kuno yaitu Moloyu (Malayu, Jambi) dan Sriwijaya (Palembang). Apakah memang ada hubungan antara dua kerajaan itu. Bagaimana menghubungkannya ?

Hipotesis yang disampaikan oleh Sartono kemudian menjelaskan, Bahwa semula Kerajaan Malayu Kuno berpusat di Muara Takus. Tempat kedudukan dipilih setelah Malayu (Jambi) dikuasai oleh Sriwijaya (Palembang). Dengan kata lain, Kerajaan Malayu Kuno seolah-olah didesak oleh Sriwijaya dari arah Jambi ke Barat sampai di Muara Takus. Dengan penjelasan ini, maka S. Sartono berpendapat, adanya dua kerajaan yakni Moloyu (Malayu) di Jambi dan Sriwijaya di Palembang.

Pernyataan dari Sutikno dkk, justru memaksakan kita harus berdebat hebat. Situs-situs di Muara Jambi membuktikan adanya keberadaan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu kuno. 


Candi Gumpung


Candi Gedung Satu


Bandingkan dengan A. B. Lapian yang menjelaskan, hipotesis pertama, Jambi merupakan Kerajaan Malayu Kuno namun masuk kedalam Sriwijaya (hipotesis ini didukung oleh Bambang Budi Utomo). Hipotesis kedua, Pusat kerajaan Sriwijaya dapat berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat tertentu.


Sebagai Pusat ritual umat Budhis

Menurut Teuku Jacob, penduduk awal Sumatera Tengah adalah ras Australomelanesid sampai tahun 40000 – 30000 tahun yang lalu dan kemudian diganti oleh Malayid. Dengan demikian, maka orang Malayu Kuno atau Melayu awal dapat dikatakan hidup antara 3000 – 1000 tahun yang lalu.

Sementara Bambang Budi Utomo menjelaskan Pusat Kerajaan Malayu pada mulanya berlokasi di sekitar di jambi di daerah hilir Batanghari. Kemudian pada sekitar abad ke -13 di sekitar Rambahan (Sumatera Barat). Kerajaan Malayu Jambi merupakan sebuah kerajaan yang cukup berperan dalam percaturan sejarah asia.

Fachruddin Saudagar memaparkan, Kerajaan Malayu yang berpusat di Muara Jambi merupakan inner core (wilayah inti) Kerajaan Sriwijaya. Dimana situs Muara Jambi merupakan fakta keberadaan Kerajaan Malayu Kuno di Jambi.

Dengan memperhatikan berbagai pendapat para ahli didalam merumuskan sejarah Malayu Jambi dan berbagai perdebatan tentang Sriwijaya dan Malayu Jambi maka yang pasti Candi Muara Jambi merupakan kerajaan besar. Ornamen-ornamen inilah yang tidak (belum) ditemukan di Candi Muara Takus, Kampar Riau.