Pada suatu kesempatan,
penulis diajak Hariansyah Usman (biasa dipanggil Kaka. Direktur Walhi
Riau) mengunjungi situs Candi Budha di sebuah tempat kecil di Kampar,
Riau.
Penulis kaget, ketika
nama daerah itu “Muara Tapus”. Kekagetan penulis sebenarnya
berangkat dari nama yang sama, Candi Muara Jambi yang juga bernama
Candi Muara Tapus. Entah karena kebetulan mirip atau memang ada
kesamaan sejarah, Nama Candi Muara Tapus mengganggu pikiran penulis.
Di Jambi sendiri, memang ada Candi Muara Tapus. Candi Muara Tapus di
Muara Jambi kemudian lebih dikenal dengna nama Candi Muara Jambi.
Selain nama yang sama,
penasaran penulis “memaksa” selama kami melihat Candi Muara
Tapus, kami berdiskusi hebat (tentu saja diskusi ala pengetahuan dan
informasi yang pas-pasan).
Rasa penasaran disebabkan
dua alasan. Alasan pertama mengenai nama. Alasan kedua. Apakah ada
hubungan antara Candi Muara Jambi dengan Candi di Muara Tapus.
Mengenai nama yang sama,
biarlah itu menjadi urusan para pakar sejarah. Penulis tidak
mempunyai literatur yang cukup sedikit untuk menceritakannya.
Asumsi-asumsi mentah hanya pradugaan, adanya sejarah yang panjang
sejarah Melayu antara Kampar dengan Jambi. Selain itu, entahlah.
Pertanyaan seperti apakah Kampar yang mempengaruhi Jambi, atau Jambi
mempengaruhi Kampar. Belum dapat dipastikan.
Yang pasti, Di Jambi
sendiri pernah dilaksanakan kegiatan “Seminar Sejarah Melayu Kuno
tanggal 7 – 8 Desember 1992. Seminar bertujuan untuk memperoleh
kejelasan tentang peran dan kedudukan Melayu Kuno dalam sejarah
nasional sebagai mata rantai dalam perwujudan sejarah nusantara.
Pernik-pernik Muara Jambi
Nik Hassan Shuhaimi
mengatakan, Jambi adalah tapak bagi kerajaan Malayu pada abad VII.
Muara Jambi adalah perkampungan yang terletak lebih kurang 25 km
timur laut Kota Jambi. Muara Jambi terletak di tebing utara Sungai
Batanghari.
Situs Muara Jambi
mempunyai luas sekitar 12 km2. Hingga saat ini di areal situs
terdapat 33 buah sisa bangunan bata.
Dalam pembahasannya,
disadari Sejarah Melayu Kuno masih dilliputi kegelapan. Selain dasar
yang dipakai berita China yang sulit ditafsirkan. Dalam pembahasan di
Seminar, menurut Dr. EE Mc KINNON dan DR. AB Lapian, Muara Jambi
sebagai pusat agama dan pusat pemerintahan. Begitu juga disampaikan
oleh Drs. Bambang B Utomo, Fachruddin Saudagar dan Prof. Dr. Jacob,
Pusat Kerajaan Melayu diperkirakan berasal dari Jambi. Ini didukung
oleh Prof. Dr. Nik Hassan Suhaimi dan Drs. MM. Soekarto K. Atmodjo
yang berpendapat, Jambi adalah tapak Kerajaan Melayu yang
diperkirakan keberadaannya sampai abad VII M.
Dari perdebatan mengenai
kejelasan dan peran sentral kedudukan Melayu Kuno, maka S. Sartono
kemudian mengemukakan pertanyaan menggugat. Pada abad VII di Sumatera
Timur ada 2 Kerajaan kuno yaitu Moloyu (Malayu, Jambi) dan Sriwijaya
(Palembang). Apakah memang ada hubungan antara dua kerajaan itu.
Bagaimana menghubungkannya ?
Hipotesis yang
disampaikan oleh Sartono kemudian menjelaskan, Bahwa semula Kerajaan
Malayu Kuno berpusat di Muara Takus. Tempat kedudukan dipilih setelah
Malayu (Jambi) dikuasai oleh Sriwijaya (Palembang). Dengan kata lain,
Kerajaan Malayu Kuno seolah-olah didesak oleh Sriwijaya dari arah
Jambi ke Barat sampai di Muara Takus. Dengan penjelasan ini, maka S.
Sartono berpendapat, adanya dua kerajaan yakni Moloyu (Malayu) di
Jambi dan Sriwijaya di Palembang.
Pernyataan dari Sutikno
dkk, justru memaksakan kita harus berdebat hebat. Situs-situs di
Muara Jambi membuktikan adanya keberadaan Kerajaan Sriwijaya dan
Kerajaan Malayu kuno.
Candi Gumpung
Candi Gedung Satu
Bandingkan dengan A. B.
Lapian yang menjelaskan, hipotesis pertama, Jambi merupakan Kerajaan
Malayu Kuno namun masuk kedalam Sriwijaya (hipotesis ini didukung
oleh Bambang Budi Utomo). Hipotesis kedua, Pusat kerajaan Sriwijaya
dapat berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat
tertentu.
Sebagai Pusat ritual
umat Budhis
Menurut Teuku Jacob,
penduduk awal Sumatera Tengah adalah ras Australomelanesid sampai
tahun 40000 – 30000 tahun yang lalu dan kemudian diganti oleh
Malayid. Dengan demikian, maka orang Malayu Kuno atau Melayu awal
dapat dikatakan hidup antara 3000 – 1000 tahun yang lalu.
Sementara Bambang Budi
Utomo menjelaskan Pusat Kerajaan Malayu pada mulanya berlokasi di
sekitar di jambi di daerah hilir Batanghari. Kemudian pada sekitar
abad ke -13 di sekitar Rambahan (Sumatera Barat). Kerajaan Malayu
Jambi merupakan sebuah kerajaan yang cukup berperan dalam percaturan
sejarah asia.
Fachruddin Saudagar
memaparkan, Kerajaan Malayu yang berpusat di Muara Jambi merupakan
inner core (wilayah inti) Kerajaan Sriwijaya. Dimana situs Muara
Jambi merupakan fakta keberadaan Kerajaan Malayu Kuno di Jambi.
Dengan memperhatikan
berbagai pendapat para ahli didalam merumuskan sejarah Malayu Jambi
dan berbagai perdebatan tentang Sriwijaya dan Malayu Jambi maka yang
pasti Candi Muara Jambi merupakan kerajaan besar. Ornamen-ornamen
inilah yang tidak (belum) ditemukan di Candi Muara Takus, Kampar
Riau.