Ada
peribahasa yang biasa dikenal waktu belajar di Sekolah Dasar. “Muka
buruk. Cermin dibelah”. Atau “Awak tidak bisa menari.
Dikatakan Lantai yang tidak bisa berjungkit”. Demikianlah
pandangan penulis ketika mengamati disahkan RUU PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN (RUU P3H)
Mengapa
peribahasa ini disampaikan ?. Marilah kita perhatikan satu persatu
pasal-pasal yang tercantum didalam RUU P3H.
Menilik
satu persatu kalimat didalam pasal 12, maka dengan mudah kita dapat
mengingatkannya didalam pasal-pasal sebagaimana diatur didalam UU
Kehutanan. Misalnya pasal 12 huruf a RUU dapat kita lihat didalam
pasal 50 ayat (3) huruf c UU Kehutanan.
Didalam
pasal 12 huruf a RUU P3 H dijelaskan “setiap orang dilarang
melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Padahal kalimat ini
dapat kita temukan didalam pasal 50 ayat (3) huruf c UU Kehutanan
“setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan...”
Begitu
juga kalimat “mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan
kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya
hasil hutan” dapat kita temukan didalam pasal 50 ayat (3) huruf
h UU Kehutanan.
Sehingga
hampir praktis, seluruh ketentuan yang dilarang didalam RUU P3H
“sebenarnya” sudah dicantumkan didalam pasal 50 ayat (3)
UU Kehutanan.
Padahal
semula Pemerintaha ngotot mendorong RUU P3H karena melihat semakin
maraknya illegal loging dan mulai tergerusnya hutan-hutan tropis
Indonesia.
Berbagai
data mencatat, laju deforestrasi menurut dari 104.747.566 hektare
pada 2000, menjadi 98.242.002 hektar pada 2011 (Kementerian
Kehutanan). Belum lagi berbagai indikator semakin rusaknya dan
beralihnya fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit hingga
mencapai 20 juta hektar, pertambangan maupun alih fungsi lainnya.
Dengan angka-angka itulah, kemudian Pemerintah berkeinginan agar
hutan tetap dapat dijaga.
Padahal
apakah memang itu persoalannnya atau memang RUU P3H merupakan solusi
terhadap persoalan diatas ?
Menggunakan
UU Kehutanan terhadap para “pengrusak hutan” sebenarnya
cukup kuat. Ancaman UU Kehutanan cukup baik dan pasal-pasal UU
Kehutanan dapat menjangkau berbagai tindak pidana berkaitan dengan
aksi para “pengrusak hutan”. UU Kehutanan dapat memberikan
effek jera kepada para pelaku.
Tapi
ternyata, dari sudut penegakkan hukum, UU Kehutanan mengalami
persoalan yang cukup serius. Selain kesulitan untuk menjaga hutan,
Pemerintah tidak mau dipersalahkan sehingga dengan argumentasi yang
tidak mempunyai dasar yang kuat, maka Pemerintah mendorong lahirnya
RUU P3H yang kemudian disahkan. Pemerintah “ingin” cuci
tangan. Pemerintah ingin membangun citra dan bertindak sebagai
“hero”.
Dan
ketika RUU P3H disahkan, Pemerintah sudah “menjalankan”
tanggung jawabnya dan kemudian mengalihkan persoalan kehutanan
menjadi urusan yang lain.
Bagaimana
? Apakah pembaca setuju dengan ungkapan peribahasa yang disampaikan
oleh penulis ?
Baca : MK dan hutan adat
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 13 Juli 2013
http://jambiupdate.com/artikel-mempersoalkan-ruu-p3h.html