Marga IX Koto
terletak berbatas dengan Marga VIII Koto, Marga Sumay, Marga Batin II Babeko
dan Marga Batin III Ilir. Pusat Marga IX Koto terletak di Teluk Kuali.
Didalam Peta
Belanda disebutkan, daerah yang disebutkan adalah Teluk Kuali dan Dusun
Djamboe.
Sebagai Tembo,
dalam tutur di Desa Teluk Kuali[1],
batas-batas ini kemudian arah barat ditandai dengan Sungai Rami/Cermin alam,
Pulau Tedung. Berbatasan dengan Marga VII Koto. Arah Timur ditandai dengan Tanjung
Alur. Sebelah Utara dengan Sumay. Sedangkan arah selatan dengan Sungai Alai
dekat Rimbo Bujang).
Menurut Tembo
di Marga Sumay, Batas antara Marga Sumay dengan Marga IX Koto ditandai dengan “Rimbo
Bulian”[2].
Sehingga batas Marga IX Koto dengan Marga Sumay menjadi persesuaian.
Makna “Koto”
adalah Kota. Kota dimaksudkan bukanlah makna kota. Tapi dusun atau kampong yang
dihuni oleh penduduk.
Untuk menjaga
keamanan didusun, sebagaimana tutur di Teluk Kuali, maka dibuatkan parit yang
mengelilingi Dusun. Parit yang dibangun selain lebar juga cukup lebar. Dengan
dibangunnya parit yang mengelilingi dusun, sehingga binatang buas tidak dapat
memasuki dusun. “Maklumlah. Negeri harus aman”. Istilahnya “harus aman dari
musuh alam”.
Disebut dengan
IX merujuk kepada 9 orang yang pertama kali mendatangi daerah Marga IX Koto.
Berasal dari Banten, kemudian 9 orang kemudian mendiami 9 dusun.
Dusun-dusun
yang termasuk kedalam Marga IX Koto yaitu Dusun Teluk Kuali, Dusun Kebung,
Dusun Pulau Puro, Dusun Tanjung Aur, Dusun Rantau Langkap, Dusun Rambahan,
Dusun Jambu, Dusun Pagar Puding, Dusun Sungai Rambai.
Diluar dari Sembilan
Dusun, dikenal juga “Pulau Temiang” sebagai dusun bagian dari Marga IX Koto.
Masing-masing
Dusun dipimpin oleh seorang Depati.
Dusun Teluk
Kuali berawal kisah dari cerita rakyat. Sebelum masuk zaman modern, maka
kehidupan masyarakat tidak terlepas dari pertanian tradisional, bercocok tanam.
Di sela-sela waktu kemudian memancing ikan.
Di sebuah
teluk, seorang penduduk kemudian memancing ikan. Namun kailnya kemudian
tersangkut dengan kuali yang didalam perahu.
Di kuali
terdapat rantai yang mirip terbuat dari emas. Seorang penduduk kemudian
berusaha untuk menariknya. Namun tarikan pancingan terus menerus mengeluarkan
emas. Bahkan diujung pancing terdapat bayangan kuning keemasan.
Upaya ini terus
menerus dilakukan sehingga perahu menjadi terbalik. Tempat terbaliknya perahu
di teluk kemudian disebut “Dusun Teluk Kuali.
Hingga kini
kepercayaan masih kuat di tengah masyarakat.
Setiap
peristiwa penting, di teluk terdapat cahaya keemasan. Peristiwa ini berkaitan
dengan adanya musibah besar yang akan datang. Atau bisa juga apabila “panen
raya” hasil pertanian yang melimpah.
Dusun Pulau
Puro dikenal sebagai Dusun Kecil. Sedangkan Dusun Tanjung Aur berasal dari
istilah “Aur”. Aur artinya “bamboo”. Memang Dusun ini memiliki banyak bamboo.
Bambu yang banyak terletak di Tanjung. Sehingga
dikenal sebagai “Dusun Tanjung Aur.
Sedangkan
Sungai Rambai dikenal “Muko-muko”. Muko-muko berarti “pangkal Dusun” Marga IX
Koto. Sebagai daerah terdepan, maka Dusun ini memang dusun yang pertama kali
ditemukan di Marga IX Koto dari arah Padang. Masyarakat sering menyebutkan sebagai
“jalan Padang Lamo”.
Sebagai daerah
“Muko-muko” maka di Dusun Rambai kemudian ditetapkan sebagai Pamuncak.
Setelah Sembilan
dusun yang terdapat didalam Marga IX Koto dikenal juga Dusun Pulau Temiang. Temiang
artinya “artinya bamboo”. Namun “temiang” disini berbeda dengan aur. Temiang
merupakan “pipih berwarna kecoklatan” yang sering terdapat di bamboo. Sebelum
mengambil bamboo, maka temiang biasanya dibersihkan. Selain akan mengganggu
kulit menyebabkan gatal-gatal, temiang dihindarkan apabila hendak mengambil bamboo.
Nah. Cerita
rakyat “Pulau Temiang” ketika mengambil bamboo maka terkena “pipih yang coklat.
Temiang ini banyak terdapat di Pulau sehingga cerita tentang “Pulau Temiang”
berarti ketika hendak mengambil bamboo terkena “pipih” bamboo yang terletak di
sebuah Pulau.
Wilayah Pulau
Temiang terletak didalam Dusun Teluk Kuali. Pulau Temiang terdiri dari Dusun
Muara Danau, Sungai Kecil, Pemuataan, Kotojayo dan Teluk Loyang.
Pengaruh
Pagaruyung begitu terasa. Maka struktur social kemudian menggunakan sistem
matrilineal. Garis keturunan dari Ibu.
Struktur social
di Marga IX Koto terdapat “ninik mamak”. Ninik mamak merupakan struktur social
yang ditunjuk oleh masyarakat.
Dalam kerapatan
adat, ninik mamak terdiri dari Kepala Dusun, orang tua yang bijaksana yang
kemudian disebut “tuo tau”, pemangku agama yang terdiri dari Imam, Khatib dan
bilal. Selain itu terdapat “Debalang Batin”. Debalang Batin merupakan tokoh
Pemuda yang bisa bersifat bijaksana mengikuti pertemuan di Ninik Mamak
sekaligus sebagai “orang yang lincah” untuk mengurusi urusan Dusun.
Debalang Batin
berbeda dengan “kepak rambai hulubalang”. Apabila “kepak Rambai hulubalang
bertugas “memanggil rapat”, menjemput ninik mamak atau pembesar negeri yang
belum datang namun tidak bisa menjadi bagian dari rapat pemangku adat.
Namun Debalang
Batin memang mempunyai fungsi khusus. Selain memastikan seluruh pemangku adat
telah hadir, Debalang Batin juga menjadi bagian dari rapat pemangku adat.
Posisinya sama dengan pemangku adat yang lain.
Begitu
pentingnya posisi Debalang Batin, selain akan melaksanakan putusan rapat adat
juga sebagai “orang kuat gawe” untuk melaksanakan pekerjaan yang membutuhkan
tenaga orang mudo. Debalang Batin bisa menggerakkan untuk meringankan pekerjaan
di dusun.
Selain itu,
Debalang Batin juga bisa berfikir bijaksana didalam rapat pemangku adat.
Dengan
mengikuti sistem kekerabatan matrilineal, maka “urusan keluarga besar”
diserahkan kepada Mamak. Mamak adalah “saudara lelaki dari Ibu” yang kemudian
mengurusi urusan keluarga besar.
Pemangku
keluarga atau “kepala keluarga “sedatuk” dikenal sebagai Tengganai. “Urusan
sedatuk” ini biasa dikenal Di daerah hulu, kaum biasa disebut juga
“kalbu”. Sedangkan di sebagian daerah hilir Jambi, biasa disebut juga “guguk”..
Sebuah komunitas dari keturunan Ibu. Sebagaimana menjadi seloko “Anak sekato
Bapak. Kemenakan sekato Mamak”.
Setiap
perselisihan di dusun, maka diselesaikan dahulu antara Tengganai. Fungsi
Tengganai sering disebut didalam seloko “rumah betengganai”.
Setelah itu,
maka antara masing-masing pihak yang berselisih kemudian mempertemukan “mamak”
yang kemudian diselesaikan dengan cara “ninik mamak’.
Hubungan
struktur social antara ninik mamak yang didalamnya terdapat “tuo Tau”, Tengganai,
pegawai syarak dengan Debalang batin begitu erat.
Di daerah hulu
Sungai Batanghari seperti di Marga Sungai Tenang, Marga Batin Pengambang
dikenal dengan seloko “elok negeri dengan
yang tuo. ramai Negeri oleh yang mudo”.
Dalam
perkawinan, Marga IX Koto sesuai dengan “syara’ agama’. Tidak mengenal “purbo
sesso”. Istilah “purbo sesso” atau dengan dialek berbeda disebutkan “purbo
sikso dikenal di Marga Pelawan. Dimana seloko ini mengandung ajaran “perkawinan
dilarang” antara kedua mempelai merupakan terdapat hubungan kekerabatan sesama
perempuan.
Di Minangkabau juga dikenal
perkawinan dilarang. Terutama perkawinan sesuku. Begitu juga dengan perkawinan
yang dilarang “sasuku-saparuik”. Begitu juga perkawinan yang dilarang
“sapasuan”.
Sebagai negeri
Tuo, bakti kepada Negeri tidak perlu diragukan.
Menurut
Zakaria, Asnawi didalam bukunya Rimbo Bujang Dalam
Angka, Di
saat program Transmigrasi tahun 1975[3]
mulai dibuka, maka membutuhkan areal seluas 100.000 hektar. Semula ditempatkan di daerah Rantau Ikil.
Namun wilayah dibutuhkan tidak mencukupi sehingga dipindahkan ke daerah Rimbo
Bujang sekarang. Cerita tentang “Rimbo
Bujang” akan disajikan dalam cerita yang terpisah.
Secara spontan maka
Marga IX Koto kemudian memberikan wilayahnya yang dikenal daerah “Sungai Alai”.
Daerah ini kemudian dikenal sebagai daerah yang terletak Rimbo Bujang Unit 1,
Unit 3, Unit 8 dan Unit 13. Kemudian menyusul Marga Tanah Sepenggal memberikan tanahnya
yang kemudian dikenal Rimbo Bujang Unit 11, Marga Batin III yang kemudian
dikenal daerah Rimbo Bujang Unit 7, Marga Bilangan V Tanah Tumbuh yang dikenal
Rimbo Bujang unit 12 dan Marga Batin II Babeko di daerah Sungai Alai dan Alai
ilir.
Pertemuan Batas
Marga IX Koto dengan Marga II Babeko kemudian ditandai dengan penyebutan “Sungai
Alai” di Marga IX Koto dan di Marga II Babeko di daerah “Alai Ilir”. Sungai
Alai juga merupakan batas administrasi wilayah Kabupaten Tebo dan Kabupaten
Bungo.
Sumbangan dari
Marga IX Koto ini kemudian “koto yang ramai”. Menampakkan kemajuan yang besar.
Bahkan Transmigrasi Rimbo Bujang merupakan pilot project transmigrasi yang
sukses di Indonesia.
Sumbangsih dari
Marga IX Koto dan kemudian diikuti dengan Marga Tanah Sepenggal, Marga Bilangan
V, Marga Batin III, Marga Batin II
Babeko memberikan kemajuan di wilayah Rimbo Bujang sehingga memberikan income yang
cukup besar terhadap Kabupaten Tebo.
Sehingga tidak
salah kemudian Marga IX Koto sebagai negeri tua yang memberikan wilayah kepada
negeri untuk kemakmuran rakyat di Rimbo Bujang.
Andil pertama
Marga IX Koto dan kemudian diikuti oleh Marga-marga lain didalam Kabupaten
Bungo dan Kabupaten Tebo haruslah dimaknai sebagai “bakti” kepada Negara Indonesia.
Sebagai kecintaan kepada Indonesia.
Sebuah
pengorbanan yang tidak boleh diabaikan.
Baca : Istilah Marga di Jambi