29 Desember 2015

opini musri nauli : MENULIS BEBAS NAMUN BERTANGGUNGJAWAB


Dunia maya dikejutkan dengan ditangkapnya Yulianus Paonganan alias Ongen yang memuat kalimat “Papa minta Lo***” dalam akun twitternya @ypaonganan. Dengan mengutip kalimat “Papa minta Lo***” dan menyandingkan dengan photo Jokowi dengan Nikita Mirzani sudah jelas menampakkan pesan maksud dari sang twitter. Jokowi dituduh ingin minta Lo*** dan terus retwitted sebanyak 200 x.


Melihat profile dan kiprah Ongen, Ongen tidak sembarangan. Punya latar belakang pendidikan di bidang kelautan, mempunyai lembaga riset yang dinamakan Indonesian Maritim Institute, mempunyai majalah Kemaritiman, membuktikan Ongen adalah manusia terpelajar bidang kelautan. Bidang yang ditekuni hingga mencapai gelar akademik tertinggi. Doktoral. Sehingga penangkapan dan penahananya akibat twitternya tidak dapat disamakan “pengekangan hak bicara (freedom of speech), sebuah cara untuk melepaskan tanggungajawab Ongen dari proses hukum.

Kalimat “Papa minta Lo***” dengan menyandingkan photo Jokowi dengan Nikita Mirzani secara awan mudah dipahami sebagai hujatan ataupun penghinaan terhadap karakter gambar yang ditampilkan. Penggunaan kalimat dan melampirkan photo tidak mudah dikategorikan sebagai bentuk kritikan ataupun sikap kritis terhadap jalannya Pemerintahan Jokowi. Ongen tentu sadar bahwa cara ini mudah dibaca, dipahami bahkan oleh masyarakat awan sekalipun sebagai bentuk hujatan, penghinaan terhadap Jokowi. Sehingga ketika polisi kemudian menerapkan UU ITE, Ongen sadar dengan konsekwensi hukum akibat perbuatannya.

Namun upaya sistematis terus digalang untuk menghapus perbuatan Ongen. Berbagai dukungan mulai digalang. Dengan alasan “kebebasan berbicara/menyampaikan pendapat”, keinginan untuk membebaskan Ongen terus dilakukan. Namun menyamaratakan antara kebebasan berpendapat (freedom of speech) dengan tujuan hujatan merupakan ranah yang berbeda.

Dalam term HAM, kebebasan berbicara/berpendapat (freedom of speech) merupakan sebuah hak yang telah diatur di berbagai norma konstitusi maupun UU HAM. Hak ini melekat dengan tanggungjawab terhadap sikap untuk saling menghormati, tidak menghujat, SARA ataupun bertujuan yang berbeda dari maksud freedom of speech. Berbagai putusan MK sudah menegaskan terhadap pelaksanaan norma pasal 134 KUHP, pasal 160 KUHP yang menitikberatkan kepada kepada perlindungan hak asasi dengan tujuan beritikad baik. Diluar daripada tujuan beritikad baik maka merupakan wewenang penegak hukum untuk menerapkan norma-norma seperti UU ITE.

Mengacu putusan MK, maka diluar daripada sikap kritis dari rakyat untuk mengontrol pemerintahannya, apalagi kemudian bertujuan untuk menghina, menghujat dapat diterapkan UU ITE. UU ITE sudah jelas menggaransi perbuatan kritis dengan perbuatan menghujat, menghasut yang bisa diterapkan terhada pelaku. Peringan Kapolri sudah disampaikan beberapa waktu yang lalu dan menjadi wacana public dengan issu “haters speech”. 

Peristiwa ini mengingatkan beberapa kejadian yang lalu. Ketika seseorang memajangkan photo Jokowi tidak senonoh dengan Megawati. Proses hukum kemudian terus bergulir. Sang Pelaku dan diproses.

Kembali ke pembahasan Ongen. Melihat latar belakang pendidikan dan pekerjaan, maka perbuatan Ongen sudah sepatutnya diproses hukum. Selain memberikan efek jera kepada pelaku, juga mengajarkan kepada public, bahwa cara-cara ini tidak sesuai dengan kaidah kebebasan berbicara/menyampaikan pendapat. Selain itu juga mendidik masyarakat agar bersikap sepantasnya baik di dunia maya maupun di dunia nyata.

Atau dengan kata lain. Menulislah secara bebas. Menulislah dengan menghormati norma-norma umum dan bertujuan baik. Namun menulis harus bertanggungjawab dan tidak bertujuan dengan menghina, menghujat apalagi menulis dengan melampirkan photo-photo yang tidak sewajarnya.