Dunia
maya dikejutkan dengan ditangkapnya Yulianus Paonganan alias Ongen yang memuat
kalimat “Papa minta Lo***” dalam akun
twitternya @ypaonganan. Dengan mengutip kalimat “Papa minta Lo***” dan menyandingkan dengan photo Jokowi dengan
Nikita Mirzani sudah jelas menampakkan pesan maksud dari sang twitter. Jokowi
dituduh ingin minta Lo*** dan terus
retwitted sebanyak 200 x.
Melihat
profile dan kiprah Ongen, Ongen tidak sembarangan. Punya latar belakang
pendidikan di bidang kelautan, mempunyai lembaga riset yang dinamakan
Indonesian Maritim Institute, mempunyai majalah Kemaritiman, membuktikan Ongen
adalah manusia terpelajar bidang kelautan. Bidang yang ditekuni hingga mencapai
gelar akademik tertinggi. Doktoral. Sehingga penangkapan dan penahananya akibat
twitternya tidak dapat disamakan “pengekangan hak bicara (freedom of speech), sebuah cara untuk melepaskan tanggungajawab
Ongen dari proses hukum.
Kalimat
“Papa minta Lo***” dengan
menyandingkan photo Jokowi dengan Nikita Mirzani secara awan mudah dipahami
sebagai hujatan ataupun penghinaan terhadap karakter gambar yang ditampilkan.
Penggunaan kalimat dan melampirkan photo tidak mudah dikategorikan sebagai
bentuk kritikan ataupun sikap kritis terhadap jalannya Pemerintahan Jokowi.
Ongen tentu sadar bahwa cara ini mudah dibaca, dipahami bahkan oleh masyarakat
awan sekalipun sebagai bentuk hujatan, penghinaan terhadap Jokowi. Sehingga
ketika polisi kemudian menerapkan UU ITE, Ongen sadar dengan konsekwensi hukum
akibat perbuatannya.
Namun
upaya sistematis terus digalang untuk menghapus perbuatan Ongen. Berbagai
dukungan mulai digalang. Dengan alasan “kebebasan berbicara/menyampaikan
pendapat”, keinginan untuk membebaskan Ongen terus dilakukan. Namun
menyamaratakan antara kebebasan berpendapat (freedom of speech) dengan tujuan hujatan merupakan ranah yang
berbeda.
Dalam
term HAM, kebebasan berbicara/berpendapat (freedom
of speech) merupakan sebuah hak yang telah diatur di berbagai norma
konstitusi maupun UU HAM. Hak ini melekat dengan tanggungjawab terhadap sikap
untuk saling menghormati, tidak menghujat, SARA ataupun bertujuan yang berbeda
dari maksud freedom of speech. Berbagai putusan MK sudah menegaskan terhadap
pelaksanaan norma pasal 134 KUHP, pasal 160 KUHP yang menitikberatkan kepada
kepada perlindungan hak asasi dengan tujuan beritikad baik. Diluar daripada
tujuan beritikad baik maka merupakan wewenang penegak hukum untuk menerapkan
norma-norma seperti UU ITE.
Mengacu
putusan MK, maka diluar daripada sikap kritis dari rakyat untuk mengontrol
pemerintahannya, apalagi kemudian bertujuan untuk menghina, menghujat dapat diterapkan
UU ITE. UU ITE sudah jelas menggaransi perbuatan kritis dengan perbuatan
menghujat, menghasut yang bisa diterapkan terhada pelaku. Peringan Kapolri
sudah disampaikan beberapa waktu yang lalu dan menjadi wacana public dengan
issu “haters speech”.
Peristiwa
ini mengingatkan beberapa kejadian yang lalu. Ketika seseorang memajangkan
photo Jokowi tidak senonoh dengan Megawati. Proses hukum kemudian terus
bergulir. Sang Pelaku dan diproses.
Kembali
ke pembahasan Ongen. Melihat latar belakang pendidikan dan pekerjaan, maka
perbuatan Ongen sudah sepatutnya diproses hukum. Selain memberikan efek jera
kepada pelaku, juga mengajarkan kepada public, bahwa cara-cara ini tidak sesuai
dengan kaidah kebebasan berbicara/menyampaikan pendapat. Selain itu juga mendidik
masyarakat agar bersikap sepantasnya baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
Atau
dengan kata lain. Menulislah secara bebas. Menulislah dengan menghormati
norma-norma umum dan bertujuan baik. Namun menulis harus bertanggungjawab dan
tidak bertujuan dengan menghina, menghujat apalagi menulis dengan melampirkan
photo-photo yang tidak sewajarnya.