Mendapatkan kabar dari Istana tentang pengangkatan
Johan Budi sebagai Jurubicara istana mengingatkan saya dengan tulisan setahun
yang lalu, ADU STRATEGI JOHAN BUDI DAN BOY AMAR.
Tulisan setahun lalu ditujukan
terhadap kedua orang sebagai jurubicara dari kedua lembaga yang sedang
hot-hotnya (Johan Budi/KPK dan Boy
Amar/Mabes Polri) bertikai.
Persetuan KPK vs Polri setelah penetapan Komjen
Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK. Terlepas dari polemic, kedua peran
sentral memang tidak bisa dipisahkan dari keduanya. Keduanya “sedikit adem” meladeni wartawan sehingga
konflik KPK vs Polri kemudian berhasil dilewati.
Di tengah “gagapnya”
berbagai Kementerian dibawah Jokowi didalam menyampaikan gagasan tentang
pembangunan yang tengah dilakukan Jokowi, “kepiawaian”
Johan Budi “diharapkan” dapat
mewarnai setelah masuknya Teten Masduki dalam jajaran lingkaran inti Presiden.
Setelah Andrianof Chaniago, Andi Widjajanto yang
kemudian “terpental” dalam pusaran
inti Jokowi, hampir praktis, sentral komunikasi menjadi “tersebar”. Jusuf Kalla dengan berbagai komentarnya, Menko Maritim
Rizal Ramli yang terkenal dengan “saya
kepret”, Menteri Susi yang lebih banyak berkata “saya tenggelamkan kapal”, berbagai kegiatan Jokowi “kurang menarik” dari bacaan public.
Selain tentu saja Menteri-menteri yang “gagal”
menyampaikan berbagai ide-ide Jokowi.
Dalam kondisi seperti ini, Jokowi “perlu orang” yang telaten menjawab
pertanyaan public terhadap rencana pembangunan Nawacita Jokowi. Jokowi “memerlukan” speaker yang “tenang”, tuntas namun tetap “menggigigit” dari sang speaker.
Berbagai “keseleo”
dari Jokowi yang membuat Jokowi “sempat”
menjadi masalah dalam berkomunikasi. Masih ingat ketika Jokowi “terlibat” polemic dalam persoalan “tempat kelahiran Soekarno”, “sikap
garang dari Jokowi ketika melihat persidangan MKD dalam kasus “papa minta saham” maupun berbagai issu
yang sempat menarik perhatian public.
Dalam berbagai kesempatan, “corong” lebih banyak “disuarakan”
oleh pemangku istana yang berkompeten. Dalam persoalan BBM, sempat tarik
menarik “siapa yang harus mengumumkan
kenaikan bbm”. Begitu juga dalam persoalan “eksekusi hukuman mati”. Termasuk dalam persoalan kebakaran yang
membuat informasi menjadi simpang siur antara lembaga Negara. Kesemuanya “kendali informasi” tidak terpusat dan
sentral komunikasi kemudian tersebar.
Jokowi kemudian menyadari berbagai informasi
penting, “harus” dikendalikan dalam
satu pintu. Pintunya harus terpusat sehingga tidak menimbulkan polemic.
Sehingga terhadap kebutuhan ‘satu pintu” membuat Jokowi “menarik”
Johan Budi ke istana. Sebuah pengujian dari kapasitas Johan Budi setelah 10
tahun berhasil membawa KPK sebagai salah satu lembaga yang kredibel dimata
public.