Diibaratkan
pertandingan, Ahok sudah mendapatkan “kabar menyenangkan” tiket untuk ke
memimpin Jakarta kedua kali.
Satu
Tiket dari “Teman Ahok” yang sudah berhasil mendulang dukungan sejuta KTP dan
semakin banyak dukungan dari Partai (Partai Nasdem, Partai Hanura dan Partai
Golkar). Dengan “dua tiket” tinggal memilih, Ahok kemudian menjadi “Fenomenal”
tiket dalam sejarah republic. Bayangkan. Bisa mendapatkan dua tiket merupakan
prestasi pertama (mungkin akan sulit bisa diraih lagi) di negeri ini.
Disaat
bersamaan, nama-nama yang disebut sebagai “calon” untuk mengimbangi Ahok hingga
sekarang belum berani juga “mendeklarasikan dari partai. Para calon yang sudah
“mendeklarasikan” diri hingga sekarang belum mendapatkan kejelasan dari partai.
Partai sendiri hingga kini selalu “memberikan angin surge” kepada calon namun
hitungan partai harus juga disadari mengapa partai juga belum memberikan
dukungan.
Berbagai
“serangan” mulai menyasar kepada “kredibilitas” AHok. Ahok kemudian dituduh
“tidak konsisten” apabila menggunakan jalur partai. Namun disisi lain, serangan
kepada “Teman Ahok” dengan tuduhan serius “menerima” dana dari perusahaan
reklamasi sebesar Rp 30 milyar haruslah ditangkap sebagai strategi yang
menarik.
Pertama.
Hingga kini berbagai serangan kepada Ahok “seakan-akan” tidak mempan. Dari
berbagai penjuru baik dari ormas-ormas yang tiap hari demo, DPRD Jakarta, BPK
hingga pemeriksaan di KPK belum mampu “meruntuhkan Ahok”. Ahok tetap nyaman dan
terus melakukan kerjanya.
Dengan
melihat “kekokohan” Ahok, membuat serangan kemudian “bergeser. Kepada anak-anak
muda “ajaib” yang menginisiasi “Teman AHOK’ yang kemudian berhasil mendapatkan
dukungan sejuta KTP.
Serangan
kemudian bertubi-tubi. Dimulai dari “issu panas” Rp 30 milyar, pengakuan
“relawan Ahok” hingga bersatunya politisi partai untuk “menjungkalkan” Teman
Ahok.
Sebagai
pemain baru di kancah politik, Teman AHok mulai merasakan “gerahnya”. Upacara
istimewa “ketika “ meraih sejuta KTP kemudian “dinodai” dengan issu panas Rp 30
milyar. Dalam posisi ini, Teman Ahok mulai merasakan “atmosfir” perlawanan yang
semakin massif.
Kedua.
Dengan semakin kuatnya dukungan dari berbagai kalangan, Ahok mulai mendapatkan
Teman AHok yang lain terutama dari partai-partai yang sudah resmi memberikan dukungan
kepada Ahok. Partai Nasdem, partai Hanura dan Partai Golkar.
Dukungan
dari Partai “merupakan amunisi” tambahan disaat peluru sudah kehabisan.
Teman
Ahok sebagai mitra Ahok “dianggap” kurang kuat menghadapi gempuran yang semakin
massif. Sehingga partai-partai dapat menahan gempuran yang semakin kuat
menjelang pilkada.
Ketiga.
Dari hitungan politik AHok, Ahok mulai mengkalkulasi tiket mana yang hendak
diambil.
Tiket
“independent” yang disiapkan oleh Teman AHOK merupakan bentuk baru “perlawanan”
dari masyarakat Jakarta yang sudah jenuh dengan berbagai maneuver dari Partai.
Tiket yang disiapkan “gratis” merupakan bentuk dukungna nyata dari rakyat yang
masih menginginkan AHok untuk menjadi Gubernur Jakarta.
Tiket
ini sudah disiapkan dan tinggal digunakan Ahok didalam pendaftaran di KPU.
Keempat.
Namun terhadap “tiket” yang disiapkan oleh Partai merupakan salah satu “bentuk”
lain yang bisa digunakan oleh Ahok untuk “memastikan” pendaftaran di KPU.
Tiket
ini tentu saja bisa ditangkap sebagai bentuk ketidakkonsistenan Ahok dalam
pernyataannya selama ini.
Partai
“Haters Ahok” kemudian akan bersuara kencang dan kita bisa menyaksikan “media
massa abal-abal” akan “berkoor panjang” dari subuh hari hingga dini hari.
Namun
dalam perhitungan politik, memandang “tidak konsisten” dengan “konsisten”
adalah wajah yang sulit ditangkap dengan sederhana.
Pengalaman
PDIP yang mencalonkan Jokowi dalam Pilpres 2014 “kemudian” ditangkap dengan
sikap “tidak amanah”.
Yang
aneh justru yang paling kencang suaranya partai “Haters Jokowi”. Bukan partai
yang ditinggalkan oleh PDIP.
Namun
pelan tapi pasti, partai “haters Jokowi” kemudian menjadi bagian dari partai
Pemerintah. Baik secara resmi ataupun “malu-malu”. Baik terang-terangan maupun
“tidak terbuka”.
Kelima.
Dalam simulasi “tiket” yang hendak digunakan Ahok, Ahok bisa menggunakan
insting politik apakah menggunakan “tiket” independent atau “tiket” partai yang
disiapkan. Ahok tentu saja berhitung dengan kalkulasi yang matang untuk
menggunakan tiketnya.
Tanpa
mendahului keputusan Ahok untuk menggunakan tiketnya, kemenangan besar yang
diraih oleh Ahok, Ahok telah membuat sejarah dengan menyiapkan dua tiket untuk
Pilkada. Sebuah “prestasi” yang membuat para calon lain menjadi keki dan
geleng-geleng kepala sambil beringsut pergi.
‘APAKAH
SIH KELEBIHAN AHOK” ?
Baca :