26 Juni 2016

opini musri nauli : DUA TIKET AHOK


Diibaratkan pertandingan, Ahok sudah mendapatkan “kabar menyenangkan” tiket untuk ke memimpin Jakarta kedua kali.


Satu Tiket dari “Teman Ahok” yang sudah berhasil mendulang dukungan sejuta KTP dan semakin banyak dukungan dari Partai (Partai Nasdem, Partai Hanura dan Partai Golkar). Dengan “dua tiket” tinggal memilih, Ahok kemudian menjadi “Fenomenal” tiket dalam sejarah republic. Bayangkan. Bisa mendapatkan dua tiket merupakan prestasi pertama (mungkin akan sulit bisa diraih lagi) di negeri ini.
Disaat bersamaan, nama-nama yang disebut sebagai “calon” untuk mengimbangi Ahok hingga sekarang belum berani juga “mendeklarasikan dari partai. Para calon yang sudah “mendeklarasikan” diri hingga sekarang belum mendapatkan kejelasan dari partai. Partai sendiri hingga kini selalu “memberikan angin surge” kepada calon namun hitungan partai harus juga disadari mengapa partai juga belum memberikan dukungan.

Berbagai “serangan” mulai menyasar kepada “kredibilitas” AHok. Ahok kemudian dituduh “tidak konsisten” apabila menggunakan jalur partai. Namun disisi lain, serangan kepada “Teman Ahok” dengan tuduhan serius “menerima” dana dari perusahaan reklamasi sebesar Rp 30 milyar haruslah ditangkap sebagai strategi yang menarik.

Pertama. Hingga kini berbagai serangan kepada Ahok “seakan-akan” tidak mempan. Dari berbagai penjuru baik dari ormas-ormas yang tiap hari demo, DPRD Jakarta, BPK hingga pemeriksaan di KPK belum mampu “meruntuhkan Ahok”. Ahok tetap nyaman dan terus melakukan kerjanya.

Dengan melihat “kekokohan” Ahok, membuat serangan kemudian “bergeser. Kepada anak-anak muda “ajaib” yang menginisiasi “Teman AHOK’ yang kemudian berhasil mendapatkan dukungan sejuta KTP.

Serangan kemudian bertubi-tubi. Dimulai dari “issu panas” Rp 30 milyar, pengakuan “relawan Ahok” hingga bersatunya politisi partai untuk “menjungkalkan” Teman Ahok.

Sebagai pemain baru di kancah politik, Teman AHok mulai merasakan “gerahnya”. Upacara istimewa “ketika “ meraih sejuta KTP kemudian “dinodai” dengan issu panas Rp 30 milyar. Dalam posisi ini, Teman Ahok mulai merasakan “atmosfir” perlawanan yang semakin massif.

Kedua. Dengan semakin kuatnya dukungan dari berbagai kalangan, Ahok mulai mendapatkan Teman AHok yang lain terutama dari partai-partai yang sudah resmi memberikan dukungan kepada Ahok. Partai Nasdem, partai Hanura dan Partai Golkar.

Dukungan dari Partai “merupakan amunisi” tambahan disaat peluru sudah kehabisan.

Teman Ahok sebagai mitra Ahok “dianggap” kurang kuat menghadapi gempuran yang semakin massif. Sehingga partai-partai dapat menahan gempuran yang semakin kuat menjelang pilkada.

Ketiga. Dari hitungan politik AHok, Ahok mulai mengkalkulasi tiket mana yang hendak diambil.

Tiket “independent” yang disiapkan oleh Teman AHOK merupakan bentuk baru “perlawanan” dari masyarakat Jakarta yang sudah jenuh dengan berbagai maneuver dari Partai. Tiket yang disiapkan “gratis” merupakan bentuk dukungna nyata dari rakyat yang masih menginginkan AHok untuk menjadi Gubernur Jakarta.

Tiket ini sudah disiapkan dan tinggal digunakan Ahok didalam pendaftaran di KPU.

Keempat. Namun terhadap “tiket” yang disiapkan oleh Partai merupakan salah satu “bentuk” lain yang bisa digunakan oleh Ahok untuk “memastikan” pendaftaran di KPU.

Tiket ini tentu saja bisa ditangkap sebagai bentuk ketidakkonsistenan Ahok dalam pernyataannya selama ini.

Partai “Haters Ahok” kemudian akan bersuara kencang dan kita bisa menyaksikan “media massa abal-abal” akan “berkoor panjang” dari subuh hari hingga dini hari.

Namun dalam perhitungan politik, memandang “tidak konsisten” dengan “konsisten” adalah wajah yang sulit ditangkap dengan sederhana.

Pengalaman PDIP yang mencalonkan Jokowi dalam Pilpres 2014 “kemudian” ditangkap dengan sikap “tidak amanah”.

Yang aneh justru yang paling kencang suaranya partai “Haters Jokowi”. Bukan partai yang ditinggalkan oleh PDIP.

Namun pelan tapi pasti, partai “haters Jokowi” kemudian menjadi bagian dari partai Pemerintah. Baik secara resmi ataupun “malu-malu”. Baik terang-terangan maupun “tidak terbuka”.

Kelima. Dalam simulasi “tiket” yang hendak digunakan Ahok, Ahok bisa menggunakan insting politik apakah menggunakan “tiket” independent atau “tiket” partai yang disiapkan. Ahok tentu saja berhitung dengan kalkulasi yang matang untuk menggunakan tiketnya.

Tanpa mendahului keputusan Ahok untuk menggunakan tiketnya, kemenangan besar yang diraih oleh Ahok, Ahok telah membuat sejarah dengan menyiapkan dua tiket untuk Pilkada. Sebuah “prestasi” yang membuat para calon lain menjadi keki dan geleng-geleng kepala sambil beringsut pergi.

‘APAKAH SIH KELEBIHAN AHOK” ?

Baca : 

Ahok - Sang Penghancur Mitos