Menjaga
aras nalar agar tetap dapat berfikir wajar ditengah “serbuan” hoax, provokasi
hingga penalaran “ngaco’ adalah sebuah “kemewahan’. Entah memang “bertujuan’
untuk provokasi, mengganggu nalar sehat atau ada “hidden agenda’ dizaman
sekarang ini.
Nalar
merupakan “sebuah perbedaan” manusia dengan makhluk lain. Nalar merupakan “identitas’
dan pembeda masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Merupakan “pembeda”
antara satu komunitas dengan kerumuman. Antara satu kelompok dengan kelompok
yang lain. Yang membedakan antara masyarakat “barbar’ dengan masyarakat
berbudaya.
Entah
memang sudah pada titik nadir, nalar kemudian tenggelam dengan hiruk pikuk yang
“dikemas” dengan riuh gemuruh, pesona bahkan serbuan “bertubi-tubi” dari “akal
pendek”.
Sebagai
sebuah “ciptaan” Tuhan Yang Maha Esa, nalar kemudian ditempatkan pada derajat
paling tinggi. Islam sendiri menempatkan “belajar” dari ungkapan “Iqra” sebagai
bentuk “membaca” untuk memahami agama. Sebuah symbol menggambarkan, bahwa untuk
memahami agama “diperlukan” berbagai perangkat pengetahuan untuk menangkap
pesan-pesan agama melalui seruannya (Wahyu). Berbagai perangkat ilmu agama baik dengan
memahami Bahasa Arab, sebab turun ayat, makna ayat sehingga dapat memahami ayat
dengan baik. Belum lagi ditambah membaca berbagai Kitab-kitab Klasik yang
diajarkan para ulama sehingga dapat memahami dengan baik.
Jangankan
Agama. Untuk memahami “Sebuah pasal” didalam peraturan perundang-undangan yang
jelas mencantumkan Bahasa Indonesia bahkan diperlukan 12 penafsiran. Entah
penafsiran gramatikal (letterlijk), sejarah (historical), pendekatan
nilai-nilai (filosofi), kenyataan dan problema social (sosiologi) dan berbagai
perangkat perundang-undangan. Belum lagi melihat hakekat dari sebuah peraturan
perundang-undangan (Kajian yuridis).
Akhir-akhir
ini berbagai penalaran yang sering disampaikan “kurang tepat” ternyata
menemukan relevansi dengan perkembangan zaman. Penalaran yang disodorkan
ternyata “bertentangan” dengan fakta yang kemudian terbukti keliru.
Dalam
lapangna ilmu Alam seperti bentuk bumi, masih banyak yang percaya “bumi datar
(flat earth)”. Sebuah teori yang 5000 tahun yang lalu sudah dibantah zaman
Yunani. Ilmu pengetahuan yang sudah tidak terbantahkan bentuk bumi yang dapat
dilihat. Baik menggunakan ilmu pengetahuan modern maupun pengetahuan sederhana.
Bukalah
google earth. Disana digambarkan bagaimana letak bumi dan bentuk bumi dengan
mengelilinginya.
Di
bidang matematika adalah satu bidang yang paling parah. Matematika sebagai ibu
ilmu pengetahuan kemudian “diteror” dari sekolah. Matematika adalah pelajaran “paling
momok” menakutkan. Matematika menjadi alergi sehingga kemudian enggan
dipelajari.
Namun
yang lucu. Matematika kemudian dijadikan “mainan” dan membohongi publik. Tentu
saja dibumbuhi berbagai retorika dan teriakan histeris.
Tentu
kita masih ingat “skandal” paling memalukan ketika lembaga survey ‘abal-abal’
mengabarkan “LSN yang mencatatkan kemenangan Prabowo – Hatta 50,56% vs Jokowi –
JK 49,74. Bila dijumlahkan, maka total suaranya mencapai 100,35%.
Sebagian
kemudian “berjingkrak-jingkrak’ sembari sujud mencium tanah. Namun angka “100,35
% adalah “kecacatan” paling memalukan dalam skandal. Publik kemudian “sempat gamang’ dan mulai
meragukan hasil penghitungan KPU. Sejarah kemudian mencatat, angka 100,35% paling
memalukan dicatat sebagai nalar paling tolol.
Atau
paling teranyar. Ketika Museum Rekor Dunia mencatat jumlah penari poco-poco
sebanyak 65 ribu. Area yang digunakan memenuhi ruang di silang Monas sampai ke
Thamrin. Areal yang sama pernah “diklaim” mencapai 7 juta orang.
Padahal
sudah pasat dimata. Rumusnya gampang. 1 m2 cuma bisa dihadiri 2 orang. Kalaupun
harus didesakkan maka 4 m2 termasuk kedalam antrian yang padat.
Sekarang
tinggal kita kalikan saja seluruh kawasan Monas. Kawasan Monas (Thamrin, Patung
Kuda 78 ribu m2), Bundaran Thamrin, Budi Kemuliaan – Thamrin, Dubes AS (38 ribu
m2), Dua arah silang Monas Tenggara (14 ribu m2), Silang Monas Barat laut (19
ribu m2), Medan Merdeka utara (10 ribu m2), Silang monas Timur Laut, Medan
Merdeka Timur (12 ribu m2) dan Medan Merdeka Timur - Gambir (32 ribu m2). Totalnya 200 ribu m2.
Jadi kalaupun dikalikan 2 (sesuai dengan rumus 1 m2) maka paling-paling banter
400 ribu orang.
Sehingga
tidak mungkin dengan luasnya kawasan Monas dapat menampung 7 juta orang. Atau
dengan kata lain, 1 m2 harus menampung 35 orang.
Lagi-lagi
nalar kita kemudian “tidak nyambung’. Dibidang agama kemudian kita dikecohkan
dengan aksi penipuan paling besar sejagat bumi Indonesia. Dengan modus “umroh murah’,
First Travel menipu 63 ribu orang dan meraup Rp 905,33 miliar. Begitu
juga Abu Tours yang menipu 86 ribu orang dan meraup 1,8 trilyun.
Dibidang seni, kreatifitas malah
sering mengganggu nalar. Aksi “heroic” Jokowi memasuki Gedung Bung Karno menaiki
Sepeda motor kemudian “dinyinyirin” oleh kelompok oposisi.
Entah memang “belum sampai nalarnya’ atau memang “kurang jauh mainnya’, berbagai teriakan kemudian meminta “siapa stuntman’. Sebuah kenafikan yang
paling memalukan.
Padahal ketika pembukaan Olimpiade
di Inggeris tahun 2012, Ed Miliband sebagai pemimpim oposisi tidak pernah “teriak”
dan meminta “siapa stuntman” ketika Ratu Elizabeth turun dari helicopter menggunakan
parasut terjun payung.
Atau kita tidak pernah “ngamuk”
siapa ‘stuntmant’ Nobita atau Doraemon yang kemudian digantikan oleh Dewi
Sartika dan Nurhasana.
Bahkan kita sendiri tidak pernah
protes dengan robot yang menggantikan didalam Jurassic Park atau Transformers.
Berbagai nalar diberbagai ilmu
pengetahuan seperti Ilmu alam, matematika, kesenian membuat bangsa kita
kemudian pada titik nadir sudah memalukan. Kita ketinggalan dengan
bangsa-bangsa lain.
Yang paling sulit bukanlah mengejar
ketertinggalan dari bangsa lain. Namun menjaga nalar agar tetap waras ditengah
gempuran hoax, provokasi dan hasutan yang justru meminggirkan nalar kewarasan
kita.
Baca : PSIKOPAT