15 Agustus 2018

opini musri nauli : PSIKOPAT


Akhir-akhir ini “gejala” bahkan kecenderungan terjadinya psikopat mulai marak menghinggapi pemikiran kelas menengah. Kelas menengah sebagai kelas struktur social yang menguasai perkembangan zaman justru menunjukkan pemikiran yang “salah tempat’. Bahkan semakin menjadi-jadi dan cenderung mencari pembenaran terhadap perbuatannya.
Dalam pengamatan ahli psikiater, Psikopat berarti sakit jiwa. “Psyche” artinya jiwa. “Pathos” artinya penyakit[1]. Biasa kemudian dikenal “gila’. Namun terjadi perkembangan. Tahun 1968 terminologi kepribadian sosiopatik berubah menjadi bentuk gangguan kepribadian anti social.

Sebagai “gejala” maka dilihat dari kegagalan menyesuaian dengan norma-norma social. Selain itu “egosentris” seolah-olah semua patokan untuk semua perbuatannya adalah diri sendiri.

Selain itu “psikopat” sebagai bentuk kekalutan mental (mental disorder) yang ditandai dengan tidak adanya pengorganisasian dan pengintegrasian pribadi sehingga seorang psikopat tidak pernah bisa bertanggungjawab secara moral dan terjadinya konflik dengna norma-norma social dan hukum.

Dengan demikian maka psikopat merupakan “kelainan” dan “gangguan jiwa” yang ciri utamanya yaitu ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri. Selain itu seorang psikopat juga tidak memiliki tanggungjawab dan social, berkepribadian labil serta emosi yang tidak stabil.

Dalam film-film Hollywood seperti Shining (1980), The Silence of the Lambs (1991), The Dark Knight (2008), Seven Psychopaths (2012) digambarkan pelaku yang menginap Psikopat. Mampu berwajah baik namun pada saat bersamaan menjadi pembunuh paling mengerikan.

Istilah “Musang berbulu domba”.

Dalam kehidupan gejala “psikopat” dapat dilihat dari beberapa tingkah laku para tindak pidana. Para psikiater sering menyoroti perilaku “kasus korupsi” (white crime collar) yang cengar-cengir keluar dari gedung KPK, melambaikan tangan. Persis artis yang ditunggu penggemarnya.

Bahkan dalam beberapa kasus, justru pelaku korupsinya justru sering “mengeluarkan” ayat-ayat agama untuk menunjukkan kesalehannya, meyakini pemilihnya untuk membangun citra “sebagai makhluk suci”.

Sama sekali tidak ada “Benturan” norma didalam hatinya ataupun nuraninya mampu menunjukkan “adem-adem” melakukan tindak pidana korupsi.

Begitu juga apabila kita lihat pelaku “travel first” sebagai skandal terbesar penipuan di Indonesia. Puluhan ribu jamaah yang hendak menunaikan umroh gagal berangkat. Sang pelaku justru menghabiskan duit hasil penipuan dengan keliling dunia. Termasuk mengadakan show hasil desainer di tingkat dunia.

Ditengah masyarakat maya, gejala bahkan kecenderungan psikopat juga terjadi. Sang pengirim kabar kadang-kadang saat bersamaan mengirimkan kabar dan peristiwa yang nyata. Namun pada saat bersamaan kemudian “memproduksi” kebencian terhadap seseorang, kelompok bahkan issu politik yang memerlukan klarifikasi, cek dan recheck.

Bahkan sudah berapa kali kita dengar, apakah seorang guru bahkan dosen dari kampus terkenal yang justru tersangkut UU ITE. Sebagai kaum terdidik yang kemudian menyebarkan hoax selain memalukan justru membuktikan adanya “gejala psikopat”.

Selain itu juga kita malah disodori “provokasi” issu poligami yang dipamerkan terbuka. Dengan wajah anak gadis muda yang teman-temannya masih sibuk urusan “selfie” di kafe.

Dengan tanpa beban memamerkan sembari mengutip sedikit satu-dua ayat untuk membenarkannya. Tidak perlu berdebat hukum negara dengannya.

Percuma.. Mau menang sendiri.

Kartini Kartono dalam bukunya “Psikologi Abnormal menyebutkan “Berbagai peristiwa diatas adalah gejala, perilaku psikopatik yang ditandai dengan tidak mempedulikan norma-norma social, pemberontak serta tidak mempedulikan aturan yang ada.

Perbuatan yang dilakukan tanpa berfikir panjang dan selalu berfikir negative. Didalam hatinya terbangun sifat pendendam dan cenderung mencari kesalahan orang setiap hari.

Selain itu selalu berargumentasi dengan meledak-ledak, proteksi diri, tidak pernah mendengarkan argumentasi lawan dan cenderung mengabaikan rasa kemanusiaan. Belum lagi tanda-tanda khusus seperti “histrionic (pandai bersandiwara)”, “narcistic’ (egois) dan memuja junjungannya sebagai satu-satu yang ada dalam hidupnya.

Apakah memang kita sedang mengalami gejala bangsa yang sakit.

Ah. Semoga zikir dapat membersihkan hati.



            [1] Ivana Sajogo, Didi Aryono Budiono, Kepribadian Antisosial: Fokus pada White-Coolar Crime,