Akhir-akhir
ini “gejala” bahkan kecenderungan terjadinya psikopat mulai marak menghinggapi
pemikiran kelas menengah. Kelas menengah sebagai kelas struktur social yang
menguasai perkembangan zaman justru menunjukkan pemikiran yang “salah tempat’. Bahkan
semakin menjadi-jadi dan cenderung mencari pembenaran terhadap perbuatannya.
Dalam
pengamatan ahli psikiater, Psikopat berarti sakit jiwa. “Psyche” artinya jiwa. “Pathos”
artinya penyakit[1]. Biasa
kemudian dikenal “gila’. Namun terjadi perkembangan. Tahun 1968 terminologi kepribadian
sosiopatik berubah menjadi bentuk gangguan kepribadian anti social.
Sebagai
“gejala” maka dilihat dari kegagalan menyesuaian dengan norma-norma social. Selain
itu “egosentris” seolah-olah semua patokan untuk semua perbuatannya adalah diri
sendiri.
Selain
itu “psikopat” sebagai bentuk kekalutan mental (mental disorder) yang ditandai
dengan tidak adanya pengorganisasian dan pengintegrasian pribadi sehingga seorang
psikopat tidak pernah bisa bertanggungjawab secara moral dan terjadinya konflik
dengna norma-norma social dan hukum.
Dengan
demikian maka psikopat merupakan “kelainan” dan “gangguan jiwa” yang ciri
utamanya yaitu ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri. Selain itu seorang
psikopat juga tidak memiliki tanggungjawab dan social, berkepribadian labil
serta emosi yang tidak stabil.
Dalam
film-film Hollywood seperti Shining (1980), The Silence of the Lambs (1991),
The Dark Knight (2008), Seven Psychopaths (2012) digambarkan pelaku yang
menginap Psikopat. Mampu berwajah baik namun pada saat bersamaan menjadi
pembunuh paling mengerikan.
Istilah
“Musang berbulu domba”.
Dalam
kehidupan gejala “psikopat” dapat dilihat dari beberapa tingkah laku para
tindak pidana. Para psikiater sering menyoroti perilaku “kasus korupsi” (white
crime collar) yang cengar-cengir keluar dari gedung KPK, melambaikan tangan.
Persis artis yang ditunggu penggemarnya.
Bahkan
dalam beberapa kasus, justru pelaku korupsinya justru sering “mengeluarkan”
ayat-ayat agama untuk menunjukkan kesalehannya, meyakini pemilihnya untuk
membangun citra “sebagai makhluk suci”.
Sama
sekali tidak ada “Benturan” norma didalam hatinya ataupun nuraninya mampu menunjukkan
“adem-adem” melakukan tindak pidana korupsi.
Begitu
juga apabila kita lihat pelaku “travel first” sebagai skandal terbesar penipuan
di Indonesia. Puluhan ribu jamaah yang hendak menunaikan umroh gagal berangkat.
Sang pelaku justru menghabiskan duit hasil penipuan dengan keliling dunia.
Termasuk mengadakan show hasil desainer di tingkat dunia.
Ditengah
masyarakat maya, gejala bahkan kecenderungan psikopat juga terjadi. Sang pengirim
kabar kadang-kadang saat bersamaan mengirimkan kabar dan peristiwa yang nyata. Namun
pada saat bersamaan kemudian “memproduksi” kebencian terhadap seseorang,
kelompok bahkan issu politik yang memerlukan klarifikasi, cek dan recheck.
Bahkan
sudah berapa kali kita dengar, apakah seorang guru bahkan dosen dari kampus
terkenal yang justru tersangkut UU ITE. Sebagai kaum terdidik yang kemudian menyebarkan
hoax selain memalukan justru membuktikan adanya “gejala psikopat”.
Selain
itu juga kita malah disodori “provokasi” issu poligami yang dipamerkan terbuka.
Dengan wajah anak gadis muda yang teman-temannya masih sibuk urusan “selfie” di
kafe.
Dengan
tanpa beban memamerkan sembari mengutip sedikit satu-dua ayat untuk
membenarkannya. Tidak perlu berdebat hukum negara dengannya.
Percuma..
Mau menang sendiri.
Kartini
Kartono dalam bukunya “Psikologi Abnormal
menyebutkan “Berbagai peristiwa diatas adalah gejala, perilaku psikopatik yang
ditandai dengan tidak mempedulikan norma-norma social, pemberontak serta tidak
mempedulikan aturan yang ada.
Perbuatan
yang dilakukan tanpa berfikir panjang dan selalu berfikir negative. Didalam
hatinya terbangun sifat pendendam dan cenderung mencari kesalahan orang setiap
hari.
Selain
itu selalu berargumentasi dengan meledak-ledak, proteksi diri, tidak pernah
mendengarkan argumentasi lawan dan cenderung mengabaikan rasa kemanusiaan. Belum
lagi tanda-tanda khusus seperti “histrionic (pandai bersandiwara)”, “narcistic’
(egois) dan memuja junjungannya sebagai satu-satu yang ada dalam hidupnya.
Apakah
memang kita sedang mengalami gejala bangsa yang sakit.
Ah.
Semoga zikir dapat membersihkan hati.